Festival Dawai Nusantara kembali digelar di Gedung Kesenian Gajayana, Malang, Jawa Timur, Jumat (20/10). Mengambil tema ”Merajut Kebhinnekaan dengan Bunyi Dawai” festival yang memasuki tahun ketiga itu digadang-gadang menjadi kanal eksistensi penggiat dawai di Tanah Air.
Di hadapan ratusan pasang mata, kelompok Unen-unen Rengel asal Tuban didaulat menjadi penampil pembuka setelah untaian kata sambutan dari tuan rumah dan tari kontemporer ”Bicara pada Puing” berlalu. Perpaduan resonansi alat musik bambu berupa rinding, bakbeng, dan ongkek dawai, plus bokor kuningan, yang mereka bawakan, memunculkan bebunyian khas berupa gema yang apik.
Dua komposisi ditampilkan oleh Unen-unen Rengel, yakni ”Tilar Dunyo” (meninggalkan dunia) dan ”Gayenge Centakku” (keakraban gelas bambuku). Unen-unen sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti bunyi-bunyian. Sementara kata Rengel merupakan nama daerah asal penggiatnya.
Usai Unen-unen Rengel beraksi, irama yang lebih dinamis tampil. Syech Razie berkolaborasi dengan Arabian Music Community Bekasi. Mereka membawakan instrumentalia, lagu religi, dan lagu cinta dengan nuansa khas Timur Tengah. Gerak lincah jemari Syech Razie dalam memetik dawai-dawai oud (gambus) ”memaksa” sebagian penonton ikut menggoyangkan kepala.
Nuansa religi kembali hadir saat Mustafa Daood bersama sejumlah personel grup Debu dan juga Arabian Music Community membawakan beberapa komposisi yang tidak asing di telinga. Diwarnai tarian sufi oleh Pemuda Kampung Jabung, Malang, Mustafa sempat mengingatkan penonton bahwa Indonesia sebenarnya sangat kaya akan seni budaya tetapi sayang apresiasi dari masyarakatnya sendiri masih kurang.
Tak kalah menarik perhatian penonton tatkala permainan sape tunggal arek Malang, Aziz Franklin, mengisi panggung seorang diri. Musikalisasi puisi singkat dipadu dengan beberapa lagu daerah dari Madura hingga Papua yang dibawakan secara medley enak didengar.
Di luar mereka yang memainkan instrumen musik secara konvensional, festival kali ini juga mengakomodasi mereka yang mengawinkan alat musik tradisional dengan peranti modern. Hadir antara lain Ali Gardy dari Situbondo, Jawa Timur, dan Gregorius Argo dari Kalimantan Barat.
Ditemani alat musik petik karmawibangga yang dicomot dari relief Candi Borobudur, flute, dan seruling etnik, Ali Gardy membawakan beberapa komposisi, di antaranya ”Cut Nyak Dien” dan ”Anyer Panarukan”. Sementara Gregorius Argo dengan sapenya membawakan dua komposisi, salah satunya ”Langit Senja”.
Meski pentas dawai hanya berlangsung satu malam—karena sore harinya hanya diisi lokakarya (workshop) dan pengenalan alat musik kepada ratusan siswa—kehausan penggemar alat musik dawai terpuaskan. Total ada 13 penggiat dawai, baik individu maupun kelompok, yang menyemarakkan acara kali ini. Perhelatan ditutup dengan tampil bersama dawai crossover.
Penggiat dawai lainnya di Tanah Air yang ikut menyemarakkan adalah Etlabora Poni dari Subang, Nusa Tuak dari Nusa Tenggara Timur (NTT), Gazer Lana Sasandois dari NTT, Joko Porong dari Surabaya, Miho Bawang dari Yogyakarta, Sri Mara dari Surakarta, Topa dari Tenggarong, dan Saung Swara dari Salatiga.
Penggagas Festival Dawai Nusantara, Redy Eko Prastyo, mengatakan, durasi festival kali ini lebih singkat dibandingkan dua acara sebelumnya yang masing-masing berlangsung selama tiga hari. Festival Dawai Nusantara 2017 dilakukan satu hari karena pihaknya ingin lebih fokus.
”Acara kali ini lebih pada menjaga konsistensi penggiat dawai. Misinya bagaimana secara ruang menjadi kanal bersama bagi para penggiat dawai. Kami tidak ingin terikat pada kuantitas (durasi), tetapi pada eksistensi bahwa kanal ini selalu ada setiap tahun,” ujarnya.
Selama ini penggiat dawai di Tanah Air memang banyak, tetapi panggung spesifik yang khusus untuk ajang unjuk gigi khusus dawai belum ada. Festival tahunan dawai yang masih berumur muda ini diharapkan bisa menjadi stasioner bagi penggiat dawai sehingga ada nilai lebih yang menjadi hasil akhir (output) nantinya.
Digandengnya Museum Musik Indonesia—pergelaran festival satu tempat dengan Museum Musik Indonesia di Gedung Kesenian Gajayana, bukan seperti acara #1 dan #2 yang berada di Taman Budaya Jawa Timur—diharapkan bisa mendukung langkah di atas. Bagaimanapun Museum Musik Indonesia menjadi pusat data (database) musik di Indonesia.
Adapun tema ”Merajut Kebhinnekaan dengan Bunyi Dawai” memiliki makna bahwa kegiatan ini diharapkan bisa memberikan kontribusi strategis, bukan hanya di ruang musik, melainkan juga menjadi gerakan untuk menyikapi ruang-ruang kebangsaan. Bagaimana musik yang beraneka ragam bisa bersatu dan membentuk harmoni bisa mengilhami kondisi kontekstual yang ada sekarang.
Menurut Redy, di dalam darah masyarakat Nusantara mengalir sifat berkesenian. Hal itu bisa dilihat dari instrumen yang mereka tinggalkan dan bisa bertahan sampai saat ini, termasuk dawai. Dalam fungsinya, instrumen itu bukan hanya sekadar alat hiburan, melainkan menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari.
Optimisme juga disampaikan Pemerintah Kota Malang. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang Ida Ayu Made Wahyuni mengatakan, saling silang bunyi dan kebinekaan bisa menjadi perekat menuju bangsa yang bermartabat.