Waktu menunjukkan pukul 09.30. Sembari mengunyah camilan, Rusohartono (55), yang duduk bersila di lantai keramik, terus memperhatikan ratusan orang mengantre masuk poli penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Dr M Soewandhie, Surabaya.
”Saya sudah mengantre sejak pukul 07.30. Nomor antre saya 158,” ujar Rusohartono, warga Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Tegalsari, Surabaya, Jumat (27/10).
Pagi itu, suasana di lorong tempat tunggu poli penyakit dalam di rumah sakit tersebut memang dipenuhi ratusan orang. Tempat duduk yang tersedia di ruang tunggu tak cukup untuk menampung semua pasien. Sebagian pasien atau keluarga yang mengantar memilih duduk di lantai atau menunggu di luar. Beberapa lainnya tampak lelah menunggu hingga tertidur lelap di tempat duduknya.
Rusohartono mengidap diabetes sehingga harus menemui dokter poli penyakit sebulan sekali. Dalam sekali kunjungan, peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) itu bisa menunggu sekitar lima jam hingga memperoleh obat yang dibutuhkan. ”Pelayanan kesehatan, sih, sudah bagus. Cuma memang pasien harus sabar menunggu lama karena selalu ramai orang,” ujar pegawai negeri sipil itu.
Agung (30), warga Kelurahan Pacar Keling, Kecamatan Tambaksari, juga demikian. Meski sejak Senin (23/10) sudah mendaftar melalui pendaftaran pasien secara daring di ehealth.surabaya.go.id, nyatanya dia tetap mendapat nomor antrean 142.
Dalam sekali kunjungan, segala urusan Agung tuntas dalam waktu 5-6 jam, bergantung jumlah pasien. ”Yang paling lama itu menunggu obat racikan dibagikan, bisa 1 hingga 2 jam. Padahal, di dinding tempat pengambilan obat tertulis hanya butuh waktu sekitar 30 menit,” ujar Agung.
Mengantre berjam-jam untuk dilayani seolah menjadi keniscayaan peserta JKN-KIS di banyak tempat. Faktor biaya yang dahulu menjadi kendala pasien tidak mampu ketika akan berobat kini tak ada lagi. Akses pun semakin terbuka.
Seorang tukang pijat urut di Jakarta Timur, Renny Shafitri (52), pun kini berani berobat. Anggapan berobat ke rumah sakit itu mahal pudar dengan adanya program JKN-KIS.
Sebelum menjadi peserta JKN-KIS kelas III, Renny takut berobat sekalipun memegang uang Rp 500.000. ”Sekarang biarpun di dompet hanya ada Rp 50.000 atau Rp 100.000, saya berani datang berobat ke rumah sakit,” katanya di sela-sela antre pemeriksaan dokter spesialis jantung untuk mendapatkan persetujuan endoskopi.
Meski hanya bertemu dokter ahli jantung kurang dari lima menit, Renny tidak mengeluh. Baginya yang terpenting adalah mendapatkan persetujuan untuk endoskopi.
Semakin banyak peserta JKN-KIS, pemanfaatan program ini pun kian tinggi. Akibatnya, rumah sakit kini penuh oleh pasien JKN-KIS. Antrean pasien tak terelakkan lagi terlebih ketika sistem rujukan berjenjang belum berjalan optimal.
M Ishak (65), warga Lenteng Agung, Jakarta Selatan, harus menghabiskan waktu rata-rata sembilan jam ketika berobat ke RSUP Fatmawati. Teman-temannya pun menyarankan untuk sabar mengantre setiap kali berobat karena itu memang risiko peserta JKN-KIS.
Selain harus sabar mengantre, kesabaran Ishak yang merupakan pasien penyakit jantung itu harus diuji lagi ketika obat yang seharusnya ia dapatkan di rumah sakit kosong. Ia terpaksa membeli di tempat lain.
Layanan terbatas
Di sisi lain, fasilitas kesehatan juga kewalahan melayani tingginya kunjungan pasien. Kepala Satuan Pemasaran RSUD Pasar Rebo, Jakarta, S Prabowo, menyampaikan, jumlah tenaga dan layanan yang terbatas menyebabkan terjadinya penumpukan pasien, terutama untuk rawat inap. ”Saat ini ada enam pasien yang menunggu ketersediaan ruang rawat inap,” ujarnya.
Mengatasi itu, RSUD Pasar Rebo kerap merujuk pasien rawat inapnya ke RSUD Budhi Asih atau RSUD Pasar Minggu. Namun, terkadang pasien menolak karena lokasinya jauh dari tempat tinggal mereka.
Salah seorang pasien yang menunggu ruang rawat inap siap adalah Ekson Hasiholan (30), peserta JKN-KIS kelas II. Sejak dua minggu lalu ia dijadwalkan menjalani bedah otot 27 Oktober 2017. Namun, hingga Kamis (26/10) pukul 17.00, ia masih menunggu ketersediaan ruang perawatan kelas III karena kamar kelas II penuh. ”Sebenarnya saya kecewa karena tidak mendapatkan kamar sesuai kelas saya, tapi yang penting saya segera dioperasi,” katanya.
Masalah tak hanya muncul di rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan rujukan. Layanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) juga belum optimal. Yanuar (35), warga Yogyakarta, terpaksa membawa anaknya yang diduga terkena demam dengue ke laboratorium di Sleman yang jaraknya 20 kilometer karena fasilitas di FKTP tempat anaknya terdaftar tidak lengkap.
Selain jauh, Yanuar juga harus menanggung sendiri biaya pemeriksaan karena tidak ditanggung FKTP. Ia kembali kecewa saat akan mengonsultasikan hasil tes dengan dokter di FKTP. Dokternya sudah pulang.
Di tengah akses ke fasilitas kesehatan yang kian terbuka melalui program JKN-KIS, di sejumlah daerah masih banyak warga yang belum terdaftar sebagai peserta. Di Sukabumi, Aep Saepudin (60) di Kecamatan Ciemas terpaksa meminjam kartu Jaminan Kesehatan Daerah milik tetangganya ketika membawa cucunya berobat ke RSUD Jampang Kulon. Adapun di Banten, 2,6 juta warga belum menjadi peserta JKN-KIS karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan membayar iuran.
(ADY/HRS/BKY/BAY/ADH/DD09/DD13)