Mutu Layanan JKN Tak Merata
Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daniel Budi Wibowo, Jumat (27/10), di Jakarta, mengatakan, secara nasional ketentuan rasio ketersediaan tempat tidur 1 tempat tidur untuk 1.000 penduduk sudah terpenuhi. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, tempat tidur berbagai kelas dan tipe perawatan di rumah sakit berjumlah 336.000 unit.
Namun, yang jadi masalah adalah sebarannya belum merata. Akibatnya, terjadi ketidakadilan layanan dalam jaminan kesehatan. ”Peserta memiliki hak sama. Namun, dengan situasi sekarang, hak yang diperoleh peserta tidak sama,” kata Daniel.
Peserta JKN-KIS di Pulau Jawa, misalnya, umumnya relatif lebih mudah mengakses layanan kesehatan dibandingkan dengan peserta di luar Jawa, terutama di kawasan timur Indonesia. Miranto (42), warga Desa Air Naningan, Kecamatan Air Naningan, Kabupaten Tanggamus, Lampung, misalnya, sejak Oktober 2016, harus bolak-balik ke RS Umum Daerah Abdul Moeloek di Bandar Lampung sejauh 80 kilometer, mengantar kakaknya, Sulastri (45), pasien kanker payudara, berobat.
Setiap kali akan berobat, mereka pergi sebelum pukul 06.00 dengan angkutan umum. Mereka tiba di RSUD Abdul Moeloek sekitar pukul 08.30. Saat mendampingi kakaknya berobat, Miranto terpaksa tidak bekerja. Sebagai buruh lepas, ia harus memutar otak agar mendapat uang Rp 50.000 sehari. Karena itu, ia berharap ada rumah sakit di dekat rumahnya yang melayani kemoterapi.
Berobat ke rumah sakit di kota besar pun tak menjamin peserta JKN-KIS mendapat tindakan sesuai diagnosis penyakitnya. Yosias Apitula (14), yang terkena gangguan saluran kemih, misalnya. Diantar ayahnya, Yacob Apitula (53), Yosias berobat ke RSUD Haulussy, Ambon, Maluku, dari rumahnya, di Desa Abubu, Kabupaten Maluku Tengah, dengan menyewa perahu cepat Rp 1 juta dan mikrolet Rp 100.000.
Di RSUD Haulussy, Yosias ditangani ahli bedah. Di rumah sakit yang berdiri sejak tahun 1954 itu belum ada dokter spesialis urologi. Saat ditemui Jumat pekan lalu Yosias ditempatkan bersama sembilan pasien lain di ruang berukuran 9 meter x 6 meter. Suhu ruangan itu panas karena penyejuk udara tak berfungsi.
Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Maya Amiarny Rusady mengakui, penambahan peserta yang pesat tak diimbangi dengan ketersediaan dan distribusi fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Itu merupakan salah satu tantangan implementasi program JKN-KIS.
Peta jalan
Kondisi itu mengakibatkan mutu layanan yang diterima peserta JKN-KIS tak merata. ”Untuk kepesertaan, ada peta jalannya. Namun, untuk fasilitas kesehatan, tak ada. BPJS Kesehatan sudah mengusulkan pemetaan rumah sakit,” ucap Maya.
Saat ini sekitar 182 juta penduduk Indonesia telah menjadi peserta JKN-KIS. Dari jumlah itu, sebanyak 92,2 juta merupakan peserta penerima bantuan iuran yang iurannya ditanggung negara.
Seiring dengan bertambahnya peserta, tingkat pemanfaatan program JKN-KIS pun dari tahun ke tahun naik. Kunjungan di poliklinik rawat jalan rumah sakit yang tahun 2014 sebanyak 21,3 juta kunjungan naik menjadi 49,3 juta kunjungan tahun 2016. Begitu juga kasus rawat inap yang di tahun 2014 sebanyak 4,2 juta naik jadi 7,6 juta tahun 2016.
Namun, tingginya kunjungan peserta itu tak diimbangi ketersediaan ruang perawatan yang memadai. Padahal, 2.156 dari sekitar 2.700 rumah sakit bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyatakan, peta jalan fasilitas kesehatan sebaiknya tak hanya memuat kuantitas tempat tidur. Jaminan kesehatan universal atau universal health coverage (UHC) tak cuma mencakup peserta, tapi juga fasilitas kesehatan yang siap memberikan layanan berkualitas.
Pihak BPJS Kesehatan berharap ada sebanyak-banyaknya fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Namun, fasilitas kesehatan harus memenuhi kriteria seleksi. Ini bertujuan menjamin kualitas layanan yang akan diberikan kepada peserta.
Konsultan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Prof Hasbullah Thabrany menyebutkan, kendala terbesar JKN-KIS adalah pelayanan. Penolakan pasien JKN, penerapan kuota pasien JKN yang dilayani per hari oleh rumah sakit, atau pembatasan jam layanan pasien JKN adalah sejumlah contoh belum optimalnya layanan bagi peserta JKN.
Kondisi itu, menurut Hasbullah, terjadi karena tarif rumah sakit yang belum memadai.
Hasbullah menilai, keberhasilan JKN-KIS baru 65 persen. Itu terutama karena warga tak mampu yang sakit kronis kini bisa mengakses pelayanan kesehatan. ”Ada perbaikan, tetapi belum sepenuhnya. Sukses tidaknya JKN bukan pada BPJS Kesehatan, tapi layanan kesehatan,” ujarnya.
Salah satu fasilitas yang paling dibutuhkan adalah ruang perawatan intensif. Ketentuan lama ketersediaan ruang perawatan intensif 1 persen dari total tempat tidur kini mungkin harus diubah jadi 3-5 persen dari total tempat tidur yang ada. Pemerintah sebaiknya memberikan insentif bagi rumah sakit swasta untuk membangun ruang perawatan intensif. Rumah sakit swasta akan enggan membangun karena biayanya sangat tinggi, sedangkan tarif tidak dibayar layak.
Memang, sejak akhir tahun lalu tarif Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) atau sistem pembayaran dengan sistem paket berdasarkan penyakit yang diderita pasien, bagi rumah sakit swasta lebih tinggi daripada rumah sakit pemerintah. Namun, perbedaan itu dinilai belum terlalu signifikan. ”Idealnya, perbedaan tarif INA-CBGs antara rumah sakit swasta dan rumah sakit pemerintah mencapai 30 persen,” kata Hasbullah.
(FRN/VIO/ADH/MZW)