Tarif JKN Menjadi Masalah
Hasbullah mengatakan, peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) berhak atas layanan kesehatan bermutu dan tidak diskriminatif. Kenyataan di lapangan, masih ada rumah sakit yang menerapkan kuota pelayanan bagi pasien JKN, membatasi waktu layanan JKN, menyuruh pasien datang berulang yang tak perlu, dan bahkan meminta uang muka lebih dulu kepada pasien JKN.
Mutu pelayanan yang diterima peserta JKN-KIS pun kurang bermutu. Dalam jangka panjang, hal itu akan menggerogoti kepercayaan publik terhadap JKN-KIS. Namun, RS tak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab, perilaku buruk itu muncul akibat besaran tarif dalam Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs)—sistem tarif layanan yang dikelompokkan berdasarkan kesamaan diagnosis—belum memadai. Perilaku buruk itu dilakukan RS agar tidak menanggung kerugian yang besar.
Menurut Hasbullah, saat ini perbedaan tarif layanan antara RS pemerintah dan RS swasta hanya 3-5 persen. Padahal, RS pemerintah tak membayar sendiri gaji pegawai, sedangkan RS swasta harus membayar gaji pegawai, investasi alat kesehatan, dan Pajak Penghasilan.
Agar RS swasta semakin terpacu memberikan layanan bermutu, seharusnya tarif layanan lebih tinggi setidaknya 30 persen dibandingkan RS pemerintah. ”Kalau bayarannya memadai, RS swasta pasti mau menjadi mitra BPJS Kesehatan,” ucapnya.
Belum bekerja sama
Tarif yang dinilai kurang memadai itu menjadi salah satu penyebab sekitar 500 dari 2.700 RS belum bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tarif layanan JKN belum bisa dipakai untuk menutup investasi fasilitas yang mewah, kebutuhan gaji, dan operasional yang relatif tinggi.
Oleh karena itu, menurut Daniel, tarif yang memadai akan memacu investasi tumbuhnya fasilitas kesehatan di daerah yang belum terlayani dengan baik.
Sebelum era JKN, RS menerapkan tarif layanan berdasarkan sistem pembayaran per unit layanan (fee for service). Pada sistem retrospektif ini, pembayaran ditetapkan setelah layanan diberikan. Dengan sistem ini, penyedia layanan bisa mendapat keuntungan tak terbatas. Semua layanan ditawarkan kepada pasien dan tak ada standar tarif.
Sementara program JKN menerapkan pola pembayaran prospektif, yakni tarif ditetapkan sebelum layanan diberikan. Ada standar tarif yang ditetapkan.
Di sisi lain, penerapan sistem rujukan berjenjang tak optimal. Hal itu disebabkan keterbatasan personel, fasilitas, dan kompetensi RS mitra BPJS Kesehatan.
Daniel menegaskan, yang penting dilakukan RS ialah melakukan kendali mutu dan kendali biaya dengan menghemat biaya operasional. Di luar soal tarif dan kompetensi fasilitas kesehatan, lambatnya verifikasi klaim dan pembayaran oleh BPJS Kesehatan, pemahaman petugas akan kode diagnosis, dan kurangnya pemahaman peserta akan prosedur JKN-KIS kerap dihadapi RS di sejumlah daerah.
Direktur Utama RSUD Labuang Baji, Sulawesi Selatan, Andi Mapptoba mengatakan, pihaknya menemui banyak persoalan administrasi dalam layanan. Contohnya, pasien belum menjadi peserta JKN dan hanya membawa surat keterangan tak mampu serta peserta JKN menunggak sehingga klaimnya tak dibayar BPJS Kesehatan.
Pencairan klaim ke BPJS Kesehatan banyak tertunda akibat kelengkapan administrasi pasien. Akibatnya, RS harus menombok biaya pasien Rp 2 juta-Rp 4 juta per pasien. Target laba tak tercapai dihitung sebagai utang.
Imelda Liana Ritonga, pemilik RS Imelda Pekerja Indonesia, Medan, menuturkan, pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan yang jatuh tempo pada September 2017 masih sesuai ketentuan, yakni 14 hari kerja setelah penandatanganan berita acara. Namun, pembayaran klaim yang jatuh tempo Oktober ini tertunda. Ini menyebabkan RS menanggung biaya layanan pada Agustus, September, dan Oktober.
”Ini menambah beban biaya operasional layanan rumah sakit. Kami pun harus menambah modal,” kata Imelda.
Meski menjadi topik kontroversial dan kerap dikeluhkan RS, data BPJS Kesehatan menunjukkan, tingkat kepuasan rumah sakit terhadap program JKN-KIS mencapai 76,2 persen.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menegaskan, selama ini tak ada gagal bayar klaim dari RS. Hal yang kerap kali terjadi adalah ketidaklengkapan dokumen pendukung klaim sehingga pencairan klaim mundur.
Di tengah persoalan tarif yang belum memadai, BPJS Kesehatan berupaya mencegah terjadi kecurangan klaim dengan mengkaji ulang pemanfaatan dan audit klaim. Dari hasil kajian itu, ada banyak tagihan tak sesuai. Dari temuan itu, anggaran pelayanan terselamatkan Rp 2,9 triliun. ”Kalau ada perbedaan penilaian (dispute) antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit, kami bawa ke komite medik dan para ahli. Namun, kalau ada tagihan, tetapi tidak ada tindakannya (phantom billing), hal itu tidak akan kami toleransi,” ujar Fachmi.
(REN/BKY/KRN/NSA/ADH)