JAKARTA, KOMPAS — Akses peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat, terutama di daerah terpencil, perbatasan, kepulauan, dan wilayah timur Indonesia, terhadap fasilitas kesehatan diperluas dengan adanya sejumlah rumah sakit yang disiapkan. Harapannya, akses peserta JKN di seluruh wilayah Indonesia kian merata.
Terkait hal itu, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Bambang Wibowo, Selasa (31/10), di Jakarta, mengatakan, Kementerian Kesehatan akan membangun tiga rumah sakit (RS) vertikal di Wamena (Papua), Ambon (Maluku) dan Kupang (Nusa Tenggara Timur), serta puluhan RS pratama. Sejak tahun 2014, dalam setahun rata-rata 10 rumah sakit pratama dibangun. Pembangunan itu akan berlangsung hingga 2019.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui ada beberapa masalah dalam program JKN, mulai dari premi yang dinilai terlalu rendah, tarif layanan kesehatan belum memperhitungkan inflasi, hingga belum ada tanggung jawab pemerintah daerah untuk mendukung program ini. ”Tarif sedang dipertimbangkan karena juga menghitung inflasi. Ini sudah tiga tahun masak begitu saja, sedangkan mungkin layanan yang diberikan naik,” kata Kalla.
Wapres juga berharap program-program kesehatan yang ada di daerah bisa digabungkan dengan JKN. Dengan demikian, layanan kesehatan tak terpusat, tetapi ada desentralisasi.
Daerah terpencil
Menurut Bambang, pembangunan RS vertikal dan RS pratama bertujuan memenuhi kebutuhan adanya fasilitas kesehatan rujukan. Selama ini akses peserta JKN-KIS masyarakat di area terpencil, perbatasan, dan kepulauan, dan wilayah timur Indonesia terhadap layanan kesehatan masih terbatas.
Rumah sakit pratama yang dibangun memiliki tempat tidur masing-masing 50 unit, sementara RS vertikal yang akan
dibangun di tiga lokasi diproyeksikan merupakan RS tipe B dengan jumlah tempat tidur masing-masing 200 unit.
Ada sembilan provinsi yang rasio tempat tidur dengan jumlah warganya belum memenuhi standar 1:1.000, satu tempat tidur bagi 1.000 penduduk. Sembilan provinsi itu adalah Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, dan Papua.
Sejak 2015, ada 49 RS pratama dibangun dan 9 di antaranya di wilayah barat untuk membuka akses masyarakat terhadap layanan kesehatan.
Bambang menyadari, masih ada ketidakseimbangan antara permintaan layanan dari tingginya pemanfaatan JKN-KIS dan penawaran dari kondisi layanan kesehatan tak merata. Pemerintah berupaya menyeimbangkannya dengan membangun dan memperkuat fasilitas kesehatan serta menyiapkan sumber daya manusia dan anggaran yang diperlukan.
”Kemenkes menetapkan 14 RS rujukan nasional, 20 rujukan provinsi, dan 110 rujukan regional untuk memperkuat sistem rujukan berjenjang. Anggaran dana alokasi khusus untuk penguatan fasilitas kesehatan tahun ini Rp 15,8 triliun. Disiapkan juga beasiswa bagi dokter yang menempuh pendidikan spesialis dan subspesialis,” kata Bambang.
Selain itu, pemerintah juga berusaha memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan. Salah satunya dengan adanya program Nusantara Sehat dan Wajib Kerja Dokter Spesialis.
Pembiayaan kesehatan
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) M Adib Khumaidi mengungkapkan, sejauh ini standar layanan di fasilitas kesehatan menyesuaikan pembiayaan kesehatan yang belum memadai. Akibatnya, peserta JKN-KIS mendapat layanan di bawah standar serta bisa menimbulkan dampak jangka panjang lebih besar
dari sisi pembiayaan dan kesehatan. Karena itu, pembiayaan program JKN perlu ditingkatkan agar fasilitas kesehatan bisa memberikan layanan sesuai
standar dan sistem remunerasi berkeadilan bagi tenaga kesehatan.
Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wapres Bambang Widianto menilai, program JKN dengan single payer atau pembayar tunggal seperti di Indonesia semestinya ada sistem rujukan yang baik. Fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) harus bisa menangani lebih dari 120 diagnosis penyakit seperti ditetapkan Kemenkes.
Menurut Adib, hingga kini program promotif, preventif, dan penapisan dititikberatkan pada puskesmas. Jumlah peserta JKN di puskesmas pun amat banyak. Untuk mendekatkan akses, seharusnya peserta disalurkan ulang ke klinik dan dokter praktik perorangan.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, BPJS Kesehatan perlu lebih dirasakan kehadirannya oleh peserta JKN. Jadi, BPJS Kesehatan Center di RS sebaiknya tak hanya jadi verifikator klaim, tetapi juga memberikan informasi dan mendampingi peserta dalam mendapat layanan. Itu bisa mencegah potensi kecurangan dalam klaim layanan RS. (ADH/INA)