JAKARTA, KOMPAS — Mantan pejabat pembuat komitmen pengadaan monitoring satelit di Badan Keamanan Laut Laksamana Pertama Bambang Udoyo menjalani sidang perdana di Pengadilan Militer Tinggi II, Jakarta Timur, Rabu (1/11). Bambang didakwa menerima suap sebesar Rp 1 miliar dalam proyek pengadaan monitoring satelit dan pesawat nirawak di Badan Keamanan Laut.
Bambang bukan perwira tinggi pertama TNI yang terseret kasus korupsi. Setahun lalu, Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta menghukum Brigadir Jenderal Teddy Hernayedi dengan penjara seumur hidup. Hakim menyatakan Teddy terbukti melakukan korupsi terkait pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI sebesar 12,4 juta dollar AS saat menjabat Kepala Bidang Pelaksanaan Pembiayaan Kementerian Pertahanan periode 2010-2014.
Saat ini juga bukan hanya Bambang perwira tinggi TNI yang tengah menghadapi perkara hukum karena tudingan korupsi. Dalam kasus korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland 101, Pusat Polisi Militer yang bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menetapkan Marsekal Muda TNI SB, yang dalam perkara ini pernah menjabat Asisten Perencana Kepala Staf TNI Angkatan Udara, sebagai tersangka.
Dalam kasus ini, malah bukan hanya Marsma SB perwira tinggi yang sudah menjadi tersangka. Mantan pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan helikopter AgustaWestland 101, Marsekal Pertama TNI FA, juga sudah duluan ditetapkan sebagai tersangka. FA ditetapkan sebagai tersangka bersama perwira menengah Letnan Kolonel (Adm) TNI WW selaku pemegang kas dan Pembantu Letnan Dua (Pelda) SS.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengungkapkan, sebenarnya sulit mengungkap kasus korupsi di tubuh TNI. Menurut dia, belum ada titik temu antara upaya pemberantasan korupsi dan perihal kerahasiaan negara, khususnya terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan TNI sebagai lembaga pertahanan. Hal tersebut membuat upaya mendeteksi tindak korupsi di institusi itu sulit terjangkau. Kurangnya transparansi menjadi persoalan.
Belum ada titik temu antara upaya pemberantasan korupsi dan perihal kerahasiaan negara.
Selama ini, lanjut Adnan, kebanyakan kasus korupsi di tubuh TNI yang terungkap lebih pada kebetulan karena yang terungkap pihak sipil lebih dulu. Padahal, potensi manipulasi semakin besar apabila tak ada transparansi. ”Pengawasan dan penindakan juga dilakukan secara internal dan masyarakat tidak bisa menjangkau,” kata Adnan.
Adnan menambahkan, DPR harus memperhatikan betul apabila ada pengajuan pengadaan alutsista. Selain itu, menurut Adnan, meskipun dalam sejumlah kasus pengadaan alutsista ada ketentuan kerahasiaan karena menyangkut barang kebutuhan militer, tetap diperlukan transparansi. Misalnya, Sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) TNI yang lebih transparan.
Hasil pemeriksaan Irjen TNI, hasil pengadaan yang terindikasi korupsi, pemborosan, dan ”mark up”.
TNI saat ini memang tengah berupaya mengatasi persoalan korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan mereka. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pun tak segan mengakui ada sejumlah indikasi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di TNI.
”Dari hasil pemeriksaan dan pengawasan oleh Irjen TNI, ditemukan hasil pengadaan yang terindikasi korupsi, pemborosan, ketidakefektifan, mark up, dan lain-lain,” ujar Gatot saat pembekalan para pejabat pengadaan barang dan jasa di Unit Operasi Mabes TNI, Senin (16/10).
Dalam sidang dakwaan perkara suap di Badan Keamanan Laut atau Bakamla TNI dengan terdakwa Laksma Bambang Udoyo, dakwaan oditur militer dengan jelas menggambarkan bagaimana penerimaan suap atau gratifikasi terhadap perwira tinggi militer di Indonesia. Dalam dakwaan disebut bahwa Bambang protes karena uang yang diberikan tak sesuai dengan yang dijanjikan, Rp 1 miliar, sehingga pemberian uang dilakukan dua tahap.
Tiga oditur atau jaksa yang membacakan dakwaan secara bergantian, yakni Brigadir Jenderal Rachmad Suhartoyo, Brigadir Jenderal Achmad Dendy Syaifullah, dan Brigadir Jenderal Murod, menyebutkan, Bambang dijanjikan Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Soedewo. ”Aku tahu pekerjaanmu berat, tetapi jangan meminta-minta (uang) ke rekanan supaya kamu benar. Agar kamu tenang, kamu, Nofel, dan Eko akan mendapat Rp 1 miliar,” kata Arie kepada Bambang, seperti dibacakan oditur dalam sidang.
Masih dalam dakwaan yang dibacakan oditur, Bambang awalnya menerima 100.000 dollar Singapura yang dimasukkan ke amplop putih dari dua saksi yang merupakan perantara di Kantor Bakamla pada 6 Desember 2016. Namun, setelah dikonversi ke rupiah, jumlah itu kurang dari Rp 1 miliar. Bambang protes, hingga kemudian mendapat 5.000 dollar Singapura tambahan, yang diberikan oleh saksi pada 8 Desember 2016.
Dalam dakwaannya, oditur mengatakan, Bambang telah melakukan tindak pidana kerugian negara dengan menerima uang yang diduga hadiah. Bambang juga dinilai tak menjalankan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010. Terdakwa Bambang tidak melaksanakan kewajibannya sebagai PPK, yaitu menyiapkan spesifikasi teknis barang dan jasa, harga perkiraan sendiri, serta rancangan kontrak.
Atas kasus tersebut, Bambang dianggap melanggar antara lain Pasal 12 Huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Pasal 64 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Adapun sidang berikutnya dilaksanakan pada Selasa, 7 November 2017. Menurut rencana, ada lima saksi yang dihadirkan untuk memberikan keterangan pada sidang itu.
Sebelumnya, mantan pejabat Badan Keamanan Laut, Eko Susilo Hadi, dijatuhi vonis 4 tahun 3 bulan penjara serta denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (17/7), yang terbukti menerima suap secara berlanjut dari PT Melati Technofo (Kompas, 18/7).
Vonis yang dijatuhkan kepada Eko lebih berat daripada vonis bagi para pemberi suap. Pengusaha dan pemilik PT Melati Technofo Indonesia yang memenangi tender proyek pengadaan satelit pengawasan, Fahmi Darmawansyah, misalnya, pada 24 Mei dijatuhi vonis 2 tahun 8 bulan penjara serta denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan.