Investor Bakal Makin Tergiur Tanam Modal di Indonesia
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan peringkat kemudahan berbisnis Indonesia 2018 ke posisi ke-72 dari sebelumnya di posisi ke-91 dinilai bakal semakin memikat investor untuk menanamkan modal di Indonesia.
Semakin mudah dan nyaman investor untuk berbisnis di suatu negara, semakin besar peluang mereka untuk menyuntikkan modalnya di negara tersebut.
Ekonom Bank Centra Asia (BCA), David Sumual, mengatakan, kenaikan peringkat kemudahan berbisnis Indonesia merupakan kabar baik. Artinya, investor dari dalam dan luar negeri akan semakin tergiur untuk menanamkan modal di Tanah Air.
”Kenaikan peringkat ini dimaknai oleh investor bahwa iklim usaha di Indonesia semakin mendukung dan nyaman untuk berinvestasi. Maka, ke depan aliran modal investasi langsung ke Indonesia bakal terus meningkat,” ujar David yang dihubungi, Kamis (2/11).
Selain itu, peningkatan peringkat ini adalah bukti bahwa institusi dunia seperti Bank Dunia menilai ada perbaikan dunia usaha di Indonesia. Hal ini, lanjut David, merupakan cerminan nyata perbaikan yang sudah dilakukan pemerintah terhadap iklim investasi.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi yang masuk ke Indonesia terus bertumbuh dari tahun ke tahun. Pada 2015, total investasi yang masuk ke Indonesia mencapai Rp 519,5 triliun. Adapun pada 2016 mencapai Rp 612,8 triliun atau tumbuh 17,95 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pada tahun ini, target investasi mencapai Rp 678,8 triliun. Adapun realisasinya sampai dengan akhir kuartal ketiga atau September 2017 mencapai Rp 513,2 triliun atau 75,6 persen dari target.
Kenaikan investasi itu sejalan dengan peringkat kemudahan berbisnis Indonesia. Pada 2015 Indonesia menduduki peringkat ke-114, pada 2016 di peringkat ke-109, dan pada 2017 Indonesia berada di peringkat ke-91.
Kenaikan investasi memang sejalan dengan kenaikan peringkat kemudahan bisnis. Sebab, keduanya memang cerminan satu sama lain.
Investor diperlukan karena Indonesia memerlukan banyak dana untuk pembangunan. Berdasarkan data Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019, kebutuhan pembangunan infrastruktur mencapai Rp 5.519 triliun.
Dari jumlah itu, hanya sekitar 40 persen yang bisa ditutup dari APBN. Sekitar 10 persen diharapkan dari pemerintah daerah, 20 persen dari BUMN, dan 30 persen dari swasta (Kompas, 27 Juli 2017).
Dari realisasi investasi triwulan II-2017, tenaga kerja yang terserap sebanyak 345.323 orang. Rinciannya, 104.255 tenaga kerja terserap pada proyek penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan 241.068 terserap pada proyek penanaman modal asing (PMA).
Secara akumulatif, serapan tenaga kerja sepanjang semester I-2017 tercatat 539.457, terdiri dari 172.062 tenaga kerja dari proyek PMDN dan 367.395 dari proyek PMA (Kompas, 3 Oktober 2017).
Selain itu, investasi diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam banyak kajian, pertumbuhan ekonomi 1 persen dapat menyerap 200.000-300.000 tenaga kerja. Maka dari itu, investasi sangat diperlukan dalam pembangunan Indonesia.
Injeksi modal dari para investor sangat diperlukan di tengah pemulihan ekonomi yang masih relatif lambat. Tahun lalu, realisasi pertumbuhan produk domestik bruto tercatat 4,94 persen setelah tahun sebelumnya bisa tumbuh 5,17 persen. Hingga semester I-2017, pertumbuhan ekonomi tercatat 5,01 persen (Kompas, 3 Oktober 2017).
Pada Rabu (1/11), Bank Dunia merilis daftar peringkat 190 negara dalam kemudahan berbisnis 2018. Indonesia duduk di posisi ke-72, naik 19 peringkat dari tahun sebelumnya posisi ke-91. Posisi itu lebih tinggi dari China (78) dan negara sesama anggota G-20 lainnya, seperti India (100) dan Brasil (125).
Meski demikian, Indonesia masih berada di posisi ke-6 di antara negara Asia Tenggara lainnya, di bawah Singapura (peringkat ke-2), Malaysia (24), Thailand (26), Brunei (56), dan Vietnam. Indonesia hanya unggul atas Filipina (113) dan Myanmar (171).
Namun, Indonesia menjadi negara Asia Tenggara yang paling banyak naik peringkat dalam dua tahun terakhir, yakni sebanyak 35 peringkat. Sementara itu, Vietnam naik 23 peringkat dan Thailand naik 20 peringkat. Adapun Malaysia turun 2 peringkat dan Filipina turun 14 peringkat.
Dalam memberikan penilaian, Bank Dunia menggunakan 10 komponen penilaian, antara lain lama memulai usaha, perizinan pendirian bangunan, penyambungan listrik, akses perkreditan, pembayaran pajak, dan penyelesaian perkara kepailitan.
Dari 10 komponen penilaian posisi Indonesia, peringkat paling tinggi soal penyambungan listrik, yakni di posisi ke-38, dan kepailitan juga di posisi ke-38. Adapun komponen penilaian terburuk yang diperoleh Indonesia adalah soal penegakan kontrak, yakni di peringkat ke-145.
Pemerintah pusat mulai dari Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, hingga Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyambut baik kenaikan peringkat Indonesia. Senada dengan pemerintah, kalangan pengusaha mulai dari industri ritel, perminyakan, hingga kelistrikan pun demikian.
”Peringkat Indonesia dalam berbisnis memang membaik. Ini tentu akan mendorong keyakinan orang untuk berinvestasi,” ujar Airlangga Hartarto seusai mengikuti rapat tertutup bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu (1/11).
Paket kebijakan
Airlangga menilai, kenaikan peringkat Indonesia ini merupakan buah dari mulai berjalannya total 16 paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan Presiden sejak 2014. Salah satu upaya pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang baik adalah memangkas regulasi yang dianggap menghambat investasi. Selain itu, proses pengurusan izin usaha atau investasi juga disederhanakan.
Dari paket-paket kebijakan ekonomi, perbaikan regulasi itu yang membuat peringkat (kemudahan berbisnis) naik dari 91 menjadi 72.
Paket kebijakan ekonomi ini dinilai juga menggairahkan industri. Berdasarkan data Organisasi Pembangunan Industri Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO) dalam penilaian manufacturing value added, Indonesia berhasil masuk peringkat 10 besar dunia, melewati capaian Meksiko dan Spanyol, bahkan di atas Inggris dan Rusia.
”Tahun ini, Indonesia diproyeksi menduduki posisi ke-9 di dunia. Untuk itu, diperlukan langkah sinergi dengan stakeholders guna mewujudkan kinerja industri nasional tetap dapat tumbuh dan meningkat di periode berikutnya. Apalagi, industri manufaktur yang dilihat basisnya adalah nilai tambah,” tutur Airlangga.
Perry Warjiyo menilai, peningkatan peringkat kemudahan berusaha merupakan perbaikan yang nyata dari reformasi struktural yang dilakukan pemerintah dengan berbagai paket kebijakan ekonomi.
”Perbaikan ini menunjukkan komitmen dan implementasi reformasi struktural kuat dan berjalan,” ucap Perry. Peningkatan peringkat itu dapat meningkatkan kepercayaan dan minat investor berinvestasi di Indonesia, baik investasi langsung maupun portofolio. Indonesia dinilai semakin mudah berinvestasi.
Jika semakin banyak investasi masuk ke Indonesia, lanjut Perry, hal itu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas makro dan sistem keuangan. ”Aliran modal penting untuk mendukung sistem keuangan,” katanya.
Senada dengan Perry dan Airlangga, David juga menilai kenaikan peringkat itu adalah buah keberhasilan paket kebijakan ekonomi yang sudah mulai berjalan. Semangat debirokratisasi dan deregulasi yang sudah mulai diimplementasikan itu dinilainya membawa angin positif dalam dunia usaha.
”Pada intinya, investor itu senang apabila dunia usaha dipermudah,” ujar David.
Perbaikan
Sementara Darmin Nasution mengatakan, pemerintah menargetkan peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia pada 2020 berada di peringkat ke-40. Peningkatan peringkat juga dinginkan oleh Presiden Joko Widodo.
Menurut Presiden, prestasi ini melanjutkan tren positif percepatan peningkatan peringkat kemudahan berusaha dalam dua tahun terakhir. ”Peringkat ini akan terus kami perbaiki,” ujar Presiden saat berada di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (1/11).
Presiden tidak ingin tren positif kemudahan berusaha ini terhenti di peringkat ke-72. Presiden menginginkan tahun depan peringkat kemudahan berusaha kembali naik paling tidak di posisi 50 besar.
Untuk mencapai target itu, lanjut Presiden, butuh kerja keras dengan membenahi secara total urusan perizinan, pembangunan pembangkit listrik, properti, dan sektor usaha lain.
David menilai, melihat tren dalam dua tahun terakhir, peringkat Indonesia bisa meningkat 35 peringkat, yakni ke-19 pada 2017 dan ke-18 pada 2016, dalam waktu dua tahun ke depan bukan tidak mungkin Indonesia bisa menembus 40 besar tahun 2020.
”Saat ini perbaikan mulai terasa. Selama perbaikan terus dilakukan, Indonesia akan bisa mencapai target peringkat 40,” ujar David.
Namun, ia menegaskan, banyak hal yang perlu dibenahi agar Indonesia bisa mencapai hal itu. Ia menilai masih banyak regulasi yang tumpang tindih serta rumit yang menyulitkan pengusaha. Ia mencontohkan, banyak aturan di tingkat daerah yang tidak sesuai dengan aturan tingkat nasional.
Tidak hanya itu, birokrasi di Indonesia masih terlalu tambun dan berbelit. Seorang investor harus mengetuk ke berbagai pintu, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, untuk membuka usaha.
”Hal inilah yang membuat pengurusan izin atau memulai usaha di Indonesia membutuhkan waktu berhari-hari. Idealnya itu seperti Singapura yang hanya perlu hitungan jam,” ucap David.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta menilai, semua kebijakan dan paket ekonomi yang dibuat pemerintah dalam program debirokratisasi dan deregulasi untuk mendorong perbaikan iklim usaha sudah tepat dan benar.
”Yang belum nyata itu manusianya. Manusianya di lapangan bisa membaca aturan dengan berbagai persepsi,” kata Tutum. Oleh karena itu, aparat pemerintah di berbagai institusi sebaiknya tidak mempersulit hal yang sebetulnya tidak perlu dipersulit.
Tutum mencontohkan orang yang mengurus rekomendasi impor. Jika data importir sudah ada di institusi pemerintah itu, orang tersebut seharusnya tidak perlu lagi membawa banyak fotokopi dokumen untuk mengurus rekomendasi impor. ”Kan, datanya sudah ada di komputer,” lanjutnya.
Oleh karena itu, menurut Tutum, perubahan karakter atau mentalitas manusia diperlukan.
”Mungkin, perlu satu generasi lagi,” katanya. Ia menambahkan, dalam perekrutan karyawan birokrasi, perlu direkrut tenaga-tenaga muda yang lebih jujur, profesional, dan pintar.
Pengusaha Sofjan Wanandi berpendapat, membaiknya peringkat Indonesia dalam kemudahan berbisnis merupakan sesuatu yang positif dilihat dari iklim investasi.
”Ini sangat membantu perbaikan iklim investasi di Indonesia, terutama percepatan birokrasi kita,” kata Sofjan menjawab Kompas.
Sofjan menilai, Joko Widodo sejak duduk menjabat Presiden Republik Indonesia bekerja sangat serius dan berusaha keras memperbaiki Indonesia dengan semua kebijakan dan langkahnya, termasuk membangun berbagai infrastruktur di seluruh negeri.
Joko Widodo sejak duduk menjabat Presiden Republik Indonesia bekerja sangat serius dan berusaha keras memperbaiki Indonesia dengan semua kebijakan dan langkahnya, termasuk membangun berbagai infrastruktur di seluruh negeri.
”Pak Jokowi sangat serius melakukan itu meski kita tahu ada langkah-langkah yang perlu dilakukan. Yang juga penting adalah bagaimana doing business di Indonesia bisa lebih baik sehingga mendatangkan investor,” tambah Sofjan.
Dengan pengukuhan Bank Dunia, Sofjan menilai apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo sudah di jalur yang benar dan dia berharap bisa dilakukan lebih cepat.
”Pak Jokowi menargetkan pada tahun 2019, kemudahan berbisnis di Indonesia berada di peringkat ke-40. Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dari negara-negara di Asia Tenggara, seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia,” kata aktivis 1966 itu.
Sofjan berpendapat, semua pihak harus membantu Presiden Joko Widodo. ”Birokrasi di daerah perlu diperbaiki karena sampai saat ini jalan pikiran para pemimpin daerah belum bisa berubah. Mereka masih menggunakan cara-cara lama,” ungkap Sofjan.
Sofjan berpendapat, pengusaha dalam negeri harus memanfaatkan dampak pembangunan infrastruktur yang dilakukan Presiden Joko Widodo dengan berinvestasi lebih banyak lagi. ”Karena saya takut sekali bila yang diuntungkan lebih banyak investor luar negeri. Pengusaha Indonesia harus mampu menjadi pemain di dalam negeri sendiri,” katanya.
Sofjan berharap pengusaha-pengusaha Indonesia mendukung kebijakan pemerintah dalam mempercepat investasi sehingga bisa membantu pengangguran, kemiskinan, dan percepatan ekonomi sehingga Indonesia dapat mengatasi ketertinggalan ekonomi, terutama dari Vietnam yang melesat begitu cepat dalam 20 tahun terakhir ini. (NTA/KSP/FAJ)