Resah dan Gelisah Pengusaha Hiburan Malam di Jakarta
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan menolak permohonan perpanjangan izin Hotel Alexis di Jakarta Utara. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Pemprov DKI Jakarta tak memproses perpanjangan tanda daftar usaha pariwisata Hotel Alexis dan Griya Pijat Alexis. Alasannya, antara lain, berdasarkan pemberitaan di media massa, ada kegiatan terlarang di tempat tersebut.
Gubernur DKI Anies Baswedan tak pernah secara tegas menyebut ada kegiatan prostitusi di Alexis. Dia hanya menyebut tak ingin Jakarta menjadi kota yang membiarkan praktik prostitusi.
”Kami tegas. Kami tidak menginginkan Jakarta menjadi kota yang membiarkan praktik-praktik prostitusi. Kami mendengar laporan, mendengar keluhan dari warga, dan pemberitaan-pemberitaan. Karena itu, kami mengambil sikap tegas dan mengambil keputusan untuk tidak meneruskan izin usaha bagi Alexis,” tutur Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Senin (30/10), seusai rapat pimpinan mingguan.
Lepas dari ketegasan Anies, ini merupakan buah dari janji kampanyenya saat maju dalam Pemilihan Gubernur DKI, ada pro dan kontra dengan keputusan Pemprov DKI tak memperpanjang izin usaha Alexis. ”Penutupan tempat hiburan harus berdasar mekanisme yang sesuai aturan. Jangan hanya karena janji kampanye. Ini sudah menjadi gubernur, bukan lagi calon gubernur,” kata Ketua Fraksi Nasdem DPRD DKI Jakarta Bestari Barus, Kamis (2/11), di Jakarta.
Di Jakarta, tempat seperti Alexis, hotel yang juga menyediakan fasilitas griya pijat dan tempat hiburan malam, tersebar di setiap sudut kota. Manajemen Alexis juga punya tempat hiburan malam lain di Jakarta. Grup usaha hiburan malam seperti Alexis pun tak hanya satu di Ibu Kota ini.
Tentu saja penolakan perpanjangan izin tanda daftar usaha pariwisata Alexis membuat resah pelaku usaha hiburan malam di Jakarta. Apa yang menimpa Alexis bisa terjadi ke yang lain.
Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Malam Jakarta Gea Hermansyah mengatakan, asosiasi akan mengumpulkan semua pelaku usaha untuk melihat kebijakan Gubernur DKI ini. Ia menyatakan, pelaku usaha hiburan malam gelisah karena usaha hiburan dibuat jatuh, sementara ada rencana pemda menggenjot penerimaan pajak dari sektor hiburan. ”Bagaimanapun kami punya andil di DKI, membayar pajak terbesar setelah pajak kendaraan bermotor,” ujarnya.
Pelaku usaha hiburan malam gelisah karena usaha hiburan dibuat jatuh, sementara ada rencana pemda menggenjot penerimaan pajak dari sektor hiburan.
Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Aspija) Erick Halauwet menyatakan, sekitar sepertiga dari pekerja sektor jasa terserap di sektor pariwisata, terutama di tempat hiburan malam. ”Yang meresahkan kami adalah alasan tidak diperpanjangnya izin hanya karena berita di media yang tak pernah diperiksa kebenarannya di lapangan. Tidak ada survei lokasi seperti tahun-tahun sebelumnya,” ujar Erick.
”Kepala Dinas Pariwisata Tinia Budiati sebelumnya, Senin (16/10), sudah menegaskan harus ada bukti hukum Alexis membuka praktik prostitusi. (Tapi) tiba-tiba Kadis DPMPTSP menyatakan tidak diperpanjang. Sebenarnya yang membina dan mengawasi kami itu DPMPTSP atau dinas pariwisata?” kata Erick.
Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan, pada Februari 2017 ada 5,169 juta pekerja di DKI. Sebanyak 4,417 juta orang atau 85,44 persen di antaranya bekerja di sektor jasa.
Berapa banyak sebenarnya kontribusi tempat hiburan malam bagi pendapatan Pemprov DKI?
Bedasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan DKI Jakarta 2017, pendapatan dalam setahun sebanyak Rp 62 triliun. Dana tersebut berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp 41,5 triliun, dana perimbangan sebesar Rp 18,7 triliun, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah sebanyak Rp 2,1 triliun.
PAD Jakarta antara lain diperoleh dari pajak daerah. Pajak daerah di Jakarta antara lain adalah Pajak Kendaraan Bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, Pajak Hotel, Restoran, dan Tempat Hiburan. Total pajak daerah ini menyumbang Rp 35 triliun. Adapun pajak hiburan menempati urutan ke-9 dari 13 jenis pajak daerah dengan nilai Rp 800 miliar per tahun.
”Lebih dari 70 persen pendapatan daerah DKI Jakarta berasal dari sektor pajak sehingga kepastian usaha sangat berpengaruh dengan penghasilan yang masuk ke daerah,” kata peneliti Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam.
Roy menilai penutupan usaha yang tak dilandasi aturan hukum bakal merusak iklim investasi dan tak memberi kepastian kepada penyumbang pajak. Menurut dia, Pemprov DKI seharusnya memaksimalkan potensi pendapatan dari berbagai sektor, sepanjang sesuai dengan aturan yang berlaku. ”Penutupan usaha yang tanpa dilandasi aturan hukum merusak iklim investasi karena tidak memberikan kepastian kepada penyumbang pajak,” katanya.
Apalagi, lanjut Roy, pajak menjadi salah satu instrumen untuk menciptakan keadilan. Jika ingin menghapus salah satu sumber penerimaan karena dianggap masih ada pos penerimaan lain yang jumlahnya masih besar, hal itu tidak tepat. Sebab, semua pelaku usaha yang membayar pajak memiliki kedudukan yang sama.
Penutupan usaha yang tanpa dilandasi aturan hukum merusak iklim investasi karena tidak memberikan kepastian kepada penyumbang pajak.
Bestari mengatakan, penutupan sebuah usaha harus dilakukan sesuai mekanisme yang jelas. Pemprov DKI harus menemukan pelanggaran terlebih dahulu sebelum memutuskan tidak memperpanjang izin. Jangan membuat sektor usaha dalam ketidakpastian karena mereka juga warga yang harus diayomi.
Dalam kasus tak diperpanjangnya izin Hotel dan Griya Pijat Alexis, menurut Bestari, langkah Pemprov DKI bisa menjadi preseden buruk dalam pengambilan kebijakan. Keputusan itu dinilai terlalu cepat sebelum ada proses lain yang mendahului, seperti peringatan kepada pemilik usaha. ”Jika tidak bisa melaksanakan janji kampanye tidak masalah, tetapi jangan sampai alasan dicari-cari sehingga tidak memberikan kepastian kepada warganya,” ujar Bestari.
Pengelola Alexis pun bingung. Legal and Corporate Affair Alexis Group Lina Novita mengingatkan, sampai saat ini kliennya belum pernah terjerat kasus pelanggaran, baik berupa peredaran narkoba maupun kasus asusila. Menurut dia, penutupan hotel dan griya pijat membuat pihaknya memutuskan hubungan kerja dengan 400 karyawannya.
”Kami tidak pernah melanggar atau menerima sanksi dari dinas. Bukankah ini mencerminkan bahwa kami taat hukum? Kami pun telah berkontribusi nyata terhadap pembangunan kota Jakarta lewat pajak daerah dan pembukaan lapangan kerja melalui sektor pariwisata,” papar Lina.
Penyumbang pemasukan
Jakarta sebenarnya punya cerita mengelola pendapatan dari sektor yang dianggap ”haram” ini. Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pernah menjadikan prostitusi sebagai salah satu penyumbang pemasukan daerah. Dia menilai prostitusi dan perjudian tidak akan bisa diberantas secara total.
Bagi Ali Sadikin, siapa pun yang menjadi Gubernur DKI Jakarta tak akan mungkin bisa memberantas perjudian dan pelacuran secara total. ”Saya katakan sekali lagi, perjudian dan pelacuran tidak pernah hilang selama sejarah manusia ada. Bahkan, di beberapa negara di Eropa, seperti Belanda, yang memberi tunjangan hidup kepada penganggur, juga masih ada pelacuran,” kata Ali Sadikin seperti diberitakan Kompas (18/11/1999).
Ali yang mulai menjabat pada 28 April 1966 sempat dibuat pusing karena anggaran belanja Jakarta pada tahun itu hanya Rp 66 juta. Dia lalu melegalkan prostitusi dengan catatan pembayaran pajak kepada pemerintah. Bahkan, Ali memberikan kepastian kepada penghuni lokalisasi Kramat Tunggak dengan mengeluarkan SK Gubernur DKI Jakarta No.Ca.7/I/13/1970.