logo Kompas.id
UtamaSiasat Hemat demi Menyambung...
Iklan

Siasat Hemat demi Menyambung Hidup

Oleh
· 5 menit baca

HAN (29), RABU — (1/11) siang, menyantap gorengan di warung nasi di Jalan Kalianak Barat, Surabaya. Meski kawasan itu dipenuhi debu pasir dari truk yang melintas, warung itu tetap jadi pilihan buruh untuk makan kenyang, tanpa menguras dompet."Ini makan siang saya hari ini," ujar Han, buruh pabrik peralatan kantor, sambil menunjuk piring berisi lima gorengan dan segelas kopi hitam. Menu siang itu bukan bagian dari program diet. Namun, itu bagian dari strategi menghemat pengeluaran. Sudah dua tahun Han memburuh di "Kota Pahlawan", Jawa Timur. Selama itu pula, pria asal Blora, Jawa Tengah, itu tak pernah bisa menabung. Uang yang dibawa pulang hanya sebesar upah minimum kota (UMK).UMK Kota Surabaya tahun 2017 sebesar Rp 3.296.212,50. Besaran UMK itu tak cukup untuk menghidupi istri dan putrinya yang berusia dua tahun secara layak. Dari upah itu, Rp 1,7 juta diserahkan kepada istri dan anak, Rp 400.000 untuk sewa kamar, Rp 600.000 untuk makan dua kali sehari, serta sisanya untuk transportasi.Menurut Han, meski UMK Surabaya 2018 bakal naik, itu tak akan banyak memengaruhi hidupnya. "Meski UMK di Surabaya tertinggi di Jatim, kebutuhan juga tinggi sehingga uang enggak bersisa," katanya. Agar bisa hidup layak, lanjut Han, UMK di Surabaya seharusnya Rp 4 juta. Apalagi, pekerja pabrik tempat ia bekerja selalu bekerja 9 jam sehari atau 1 jam lebih lama dari ketentuan. Namun, ia dan rekan-rekannya tak menerima upah lembur. Hal serupa dialami Santoso (27) yang ditemui di Surabaya utara. Menu makan siangnya, Rabu, separuh porsi nasi dan mi instan rebus berlauk sepotong tempe dan tahu goreng. Untuk menambah cita rasa, makanan itu ditaburi garam, sambal, dan kecap. "Ini sudah mewah, Mas. Kalau uang sudah mepet, makan nasi, gorengan, dan kecap saja," katanya sambil tersenyum.Sudah tiga tahun pemuda asal Magetan, Jatim, itu memburuh di pabrik daur ulang drum dan kaleng. Perusahaannya tidak besar, tetapi mampu memberi upah sebesar UMK yang tahun ini Rp 3,296 juta. Upah itu cukup untuk biaya hidup sehari-hari sebagai lajang, tetapi belum bisa membuatnya berkembang secara ekonomi. "Saya ingin membangun keluarga, tetapi dengan gaji UMK akan sulit sekali," katanya.Harus pintar-pintar Di Malang, Jatim, hidup buruh terwakili oleh kisah Santoso (45), pekerja bagian pengolahan di pabrik rokok. Bekerja setiap Senin hingga Jumat dari pukul 07.00 hingga 17.00, ia hanya menerima upah Rp 2,5 juta per bulan. Upah itu hanya lebih banyak Rp 200.000 daripada UMK Kota Malang Rp 2,3 juta. "Gaji buruh memang lebih kecil daripada pekerja borongan. Kami harus pintar-pintar mengelola uang. Utang menjadi seperti kewajiban. Saya dan istri harus gali lubang tutup lubang," ujarnya.Santoso menuturkan, upahnya sangat pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kadang berutang harus dilakukan saat anaknya yang masih bersekolah meminta banyak hal. Ia kerap kewalahan mengikuti keinginan anak. "Ditolak kasihan, dituruti bikin bingung," ujarnya. Buruh di Solo, Jateng, juga biasa saja menanggapi kenaikan UMK Solo 2018 yang menjadi Rp 1.668.700. Kini, UMK Solo 2017 sebesar Rp 1.534.985. "Kalau usulannya jadi Rp 1.668.700, ya, kurang jane (sebenarnya), cuma sedikit naiknya," ujar Hardian (45), pekerja di perusahaan alih daya di Solo. Ia menerima gaji bulanan sesuai UMK 2017 untuk bekerja delapan jam sehari. Upah itu dirasa pas-pasan untuk mencukupi kebutuhannya bersama istri dan seorang anaknya yang masih duduk di bangku SD. "Setiap bulan tidak ada yang bisa ditabung," katanya. Upah bulanan Rp 1,5 juta itu habis untuk memenuhi aneka kebutuhan, seperti membayar listrik dan air, uang saku sekolah anak, kebutuhan makan, transportasi, dan biaya sosial. "Saya sempat kerja sampingan untuk mendapatkan tambahan penghasilan," katanya.Di tempat kerja sampingan itu, sebuah rumah makan dan tempat ngopi, ia mendapat upah harian Rp 40.000. Kerja sambilan itu dijalaninya selepas pulang kerja, mulai pukul 16.00 hingga 23.00. Namun, kerja sampingan itu dilepaskan setelah ia kelelahan. Pasalnya, dengan tambahan kerja sampingan itu, berarti dalam sehari harus bekerja total 15 jam. "Sekarang, saya ingin cari kerja sampingan yang lain," ujarnya.Di Desa Silo Rakyat, Perbaungan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara, usaha mengungkap kehidupan buruh bukan perkara gampang. Dari tiga pekerja yang ditanyai, satu menolak, dua minta dirahasiakan namanya. Mutasi, pensiun dini, hingga pemecatan masih mengancam. Itu juga berlaku bagi Parmo (50), bukan nama sebenarnya, yang sudah pensiun pada 2016. "Saya sudah tidak bekerja, tidak enak untuk bicara," kata bapak tiga anak itu. Gaji terakhirnya setelah bekerja di bagian perawatan pohon kelapa sawit hanya Rp 2,2 juta per bulan plus tunjangan beras 23 kilogram per bulan. Ia tinggal di perkampungan di Desa Silo Rakyat sehingga tidak menerima pinjaman rumah dari perusahaan. Saat ini, ia mendapat pensiun Rp 1.151.000 per bulan. Ia dipensiunkan dini diduga karena vokal terhadap perusahaan. Kehidupannya pas-pasan, mengandalkan makan dari tunjangan beras dan sayuran hasil lahan secuil yang bisa ditanami di kampungnya sehingga urusan sayuran bisa diatasi. Uang habis untuk kehidupan sehari-hari, bahkan kurang, tanpa bisa menabung. Tiga anaknya bisa lulus SMA dengan susah payah. "Alhamdulilah bisa selesai SMA," kata Parmo. (ADY/BRO/WSI/RWN/GER)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000