MRT Jakarta Jadi Agen Perubahan Gaya Hidup Warga
Pada 12 Desember 1987, The Straits Times, surat kabar Singapura, menulis antusiasme masyarakat Singapura menggunakan angkutan umum berbasis rel transportasi massal cepat atau mass rapid transit sebulan lebih setelah angkutan itu resmi dioperasikan pertama kali. Dalam artikel itu, dimuat bahwa saat itu merupakan hari-hari menjelang Natal.
Di MRT, penumpang yang memenuhi kereta adalah rombongan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Tangan mereka penuh dengan tentengan tas belanjaan.
Rupanya, keluarga-keluarga itu tak mau repot dengan kepadatan di Orchard Road, jalur pusat perbelanjaan dan niaga di Singapura yang selalu sangat sibuk acap kali jelang Natal dan Tahun Baru China. Selain macet yang menghadang, sudah pasti susah mendapat tempat parkir mobil di kawasan sibuk itu.
Keluarga yang tinggal di wilayah Bishan diceritakan memilih untuk memarkirkan mobil mereka di Stasiun Bishan. Dari sana, mereka naik MRT menuju Orchard untuk belanja.
Hanya butuh beberapa menit untuk sampai tujuan. Sungguh perjalanan yang mudah dan praktis bagi warga yang sibuk. Sebab, mereka bisa pergi bersama-sama tanpa harus membuang waktu akibat macet.
Pengalaman tersebut juga hendak diterapkan di Jakarta. Dengan angkutan kereta komuter yang ada saat ini, sebagian penumpang juga sudah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan keluarga Singapura tersebut.
Dari tempat tinggal di pinggiran kota Jakarta, mereka memarkirkan kendaraannya di stasiun dan pergi ke titik tujuan berkereta.
MRT Jakarta yang merupakan angkutan perkotaan juga memiliki misi, yaitu menjadi agen perubahan gaya hidup warga kota Jakarta.
MRT Jakarta memiliki misi menjadi agen perubahan gaya hidup warga kota.
Perubahan apa itu? Yaitu mendorong warga untuk berganti dari kebiasaan naik kendaraan pribadi dan selalu terjebak dalam kemacetan beralih ke angkutan umum yang aman, cepat, dan nyaman, yakni MRT Jakarta.
”Untuk mendorong perubahan itu, kami juga menyiapkan area kantong parkir (park and ride) di Stasiun Lebak Bulus. Rencananya, ada tiga area parkir yang kami siapkan sehingga penumpang dari rumah bisa membawa kendaraannya dan memarkirnya di area parkir stasiun,” ujar Direktur Utama PT MRT Jakarta William P Sabandar saat mengunjungi area depo dan Stasiun Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Rabu (1/11).
Dengan cara itu, saat jam sibuk, warga dari pinggiran Jakarta bisa memarkir kendaraannya di area parkir dan menaiki MRT menuju tengah kota. Dari perhitungan MRT, untuk jarak fase 1 koridor selatan-utara, dari Lebak Bulus menuju Bundaran Hotel Indonesia, sejauh 16 kilometer akan ditempuh dalam 30 menit.
Bayangkan apabila selama ini karyawan mengendarai kendaraannya dari pinggiran selatan menuju wilayah tengah Jakarta. Mereka harus mengalokasikan waktu beberapa jam untuk sampai tempat kerja, belum lagi boros bahan bakar yang mesti direlakan.
Area parkir menjadi jawaban karyawan yang tinggal di pinggir kota dan bekerja di tengah kota Jakarta. ”Karena salah satu tujuan perubahan gaya hidup itu juga untuk mengurangi macet dan polusi di tengah kota, untuk 12 stasiun lainnya yang ada di fase 1, mungkin hanya beberapa stasiun yang akan dilengkapi area parkir dengan kapasitas terbatas,” ujar William.
Lalu, bagaimana dengan penumpang dari area pinggiran yang naik bus transjakarta ke Stasiun Lebak Bulus? Para penumpang juga dimudahkan.
Begitu turun dari bus, tangga menuju stasiun sudah dibuat, menghubungkan halte dengan lantai tempat loket tiket dan gate MRT. Penumpang tinggal berjalan kaki dan menggerakkan badan untuk mencapai angkutan yang saat ini rangkaian keretanya tengah diproduksi di Jepang itu.
Jangan dilupakan pula, trase fase 1 MRT Jakarta berimpitan dengan Koridor 1 transjakarta rute Blok M-Kota. Ada lima stasiun MRT yang nantinya langsung terhubung dengan halte transjakarta, yaitu Stasiun Lebak Bulus, Stasiun Blok M, Stasiun CSW/Sisingamangaraja, Stasiun Dukuh Atas, dan Stasiun Bundaran Hotel Indonesia.
”Di lima stasiun itu terjadi integrasi sempurna MRT dan bus transjakarta,” ujar William.
Direktur Utama PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) Budi Kaliwono menyatakan, untuk kemudahan pergerakan penumpang, dirinya berharap bukan hanya di lima titik itu. ”Kalau Transjakarta inginnya sebanyak mungkin integrasi angkutan terjadi. Untuk Koridor 1 yang berimpitan dengan fase 1 MRT, kami perlu melakukan evaluasi rute, bukan menutup rute. Tujuannya, supaya penumpang tetap mudah menuju tujuan,” tutur Budi.
Budi mencontohkan, penumpang transjakarta dari Cawang menuju Sudirman tidak perlu turun di Halte Polda Metro Jaya untuk turun dan berganti MRT di Stasiun Setiabudi. ”Itu merepotkan. Kami tetap buat rute sendiri,” ujarnya.
Kemudahan pergantian moda itu sudah dipikirkan akan ditunjang dengan jalur pejalan kaki atau trotoar yang nyaman. ”Itu sebabnya kami juga mendesain trotoar di sepanjang Sudirman-Thamrin lebih ramah dan nyaman bagi pejalan kaki,” ucap Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta Silvia Halim.
Pada 8 Oktober 2017, Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat sudah mencanangkan program Trotoar Kita, yaitu program untuk mengubah wajah jalan utama Jakarta, Sudirman-Thamrin khususnya, dari sisi trotoar.
Saat ini, di ruas jalan itu masih ada jalur lambat, koridor transjakarta, dan jalur cepat. Jalur lambat akan ditutup dan dijadikan trotoar.
Dengan demikian, lebar trotoar di jalur itu akan berubah menjadi selebar 8-12 meter. Adapun jalur jalan hanya ada jalur cepat dan koridor transjakarta.
Selain didanai oleh MRT, pelebaran trotoar itu juga akan didanai dua perusahaan yang sudah mendapat persetujuan pelampauan koefisien lantai bangunan (KLB), yaitu Keppel Land dan Mitra Panca Persada. Menurut rencana, November ini sudah mulai pelebaran tersebut.
”Trotoar akan menjadi nyaman dan enak buat pejalan kaki. Selain pepohonan, ada bangku, jalur sepeda dan tempat parkir sepeda, CCTV, jalur disabilitas, lampu penerangan, juga nantinya titik masuk ke gedung-gedung di sepanjang Sudirman-Thamrin diminta diubah dari belakang,” ujar Silvia.
Kemudahan dan kenyamanan di trotoar itu diharapkan mendukung pergerakan penumpang MRT. Begitu keluar stasiun, mereka bisa berjalan kaki dengan nyaman, begitu juga ketika hendak menuju stasiun.
”Di sini peran MRT untuk turut mengubah gaya hidup warga Ibu Kota. MRT mempromosikan BMW bagi Jakarta,” ujar Direktur Operasi dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta Agung Wicaksono.
BMW yang dimaksud tentu bukan merek mobil, tetapi kependekan dari bus, MRT, dan walking atau berjalan kaki.
Trotoar akan menjadi nyaman dan enak buat pejalan kaki. Selain pepohonan, ada bangku, jalur sepeda dan tempat parkir sepeda, CCTV, jalur disabilitas, lampu penerangan, juga nantinya titik masuk ke gedung-gedung di sepanjang Sudirman-Thamrin diminta diubah dari belakang.