Kisah Sunyi Petani Kopi Wonosalam
”Sebulan pertama adalah masa genting,” ujar Devi Faizah (39), petani kopi di perkebunan rakyat Wonosalam, Jombang, Oktober lalu.
Ia pun telaten menunggui bunga-bunga putih yang harumnya semerbak hingga berganti menjadi bakal buah kopi. Jika cuaca bersahabat, Devi tinggal menunggu empat bulan lagi guna memanen buah merah kopi. Sebaliknya, jika curah hujan meninggi hingga merontokkan bunga, mereka terpaksa menghadapi gagal panen.
Kopi menjadi sandaran hidup Devi dan ratusan petani kopi Wonosalam. Budidayanya telah berkembang lebih dari empat generasi sejak dimulai pada masa kolonial Belanda. Tak jauh dari kebun kopi rakyat, masih tersisa bangunan tua bekas pabrik pengolahan kopi Belanda.
Pada hamparan seluas 2.000 hektar, jenis kopi di perkebunan Wonosalam sangat lengkap, mulai dari jenis arabika, robusta, dan excelsa. Ketiga jenis itu tumbuh subur bersama-sama, dalam satu hamparan. Lebih istimewa lagi, kopi tumbuh di antara beragam jenis tanaman buah dan kayu keras.
Tanaman kopi yang kini tengah mekar bunganya adalah jenis excelsa dan robusta. Setelah buahnya dipanen awal tahun depan, yang berbunga berikutnya giliran tanaman kopi arabika. Beragamnya jenis kopi ini membawa keuntungan tersendiri bagi petani karena dengan demikian mereka dapat memanen kopi hampir sepanjang tahun.
Wisata jelajah
Keistimewaan itulah yang dimanfaatkan petani untuk menarik wisatawan dan calon pembeli. Mereka pun menggelar acara menjelajah kebun kopi petani atau coffee trip, bertema ”Coffee for Earth”. Devi berhasil menggandeng pelaku pasar kopi di Surabaya untuk mengemas wisata jelajah kebun kopi, yang dilengkapi kursus singkat barista, kelas menyeduh kopi (brewing), kelas menilai cita rasa kopi (cupping), hingga kursus menyangrai kopi (roasting).
Tak disangka, kemasan paket beraktivitas di kebun kopi dan seni mengolah kopi sangat diminati. Salah satu peserta, Jeffrey, mengatakan, baru kali ini dirinya menjejakkan kaki di kebun kopi. Padahal, telah bertahun-tahun ia akrab dengan kopi di kedainya, Fortunate Coffee, di Yogyakarta. Perjalanan menanjak menuju perkebunan kopi rakyat yang terletak di puncak bukit itu terasa menyegarkan.
”Rasanya bahagia bisa berada langsung di lapangan. Melihat perkembangan kopi mulai dari saat ditanam sampai menjadi biji kopi siap digiling,” katanya.
Hal senada dirasakan Dwi (32), karyawan eksportir kopi di Lamongan. ”Ibarat mengembalikan ingatan akan besarnya jerih payah petani,” kata Dwi.
Mereka pun berkesempatan mencicipi kopi setempat, jenis excelsa, produk unggulan di situ. Dwi semakin kagum. ”Rasanya unik, beraroma nangka. Aroma seperti ini tidak ada pada jenis kopi lainnya,” tambahnya.
Tak jauh darinya menyeruput minuman kopi hangat, Karsiyem (50), petani setempat, duduk menyangrai biji kopi di atas api beralas kayu bakar. Karsiyem gembira bisa menyambut para tamu. Ia berharap mereka tertarik membeli secara langsung kopi dari petani setempat. ”Selama ini, kopi kami dijual dengan sistem ijon. Harganya selalu rendah,” katanya.
Di luar hiruk pikuk dan gairah dunia akan kopi, Wonosalam bagai sisi lain yang sunyi. Ketika harga kopi di pasar dunia terus naik, nilai biji kopi petani setempat sulit beranjak. Oleh tengkulak, kopi arabika yang telah disangrai hanya dihargai Rp 26.000 per kilogram. Kopi robusta Rp 28.000, dan yang tertinggi adalah excelsa Rp 30.000. Rendahnya harga kopi di tingkat petani berbanding terbalik dengan harganya di pasar dan toko di kota terdekat, semisal Surabaya, yang biasanya sudah naik menjadi dua kali lipat.
Petani berhasrat keluar dari jerat tengkulak. Namun, perekonomian yang serba terbatas membuat mereka tak mampu memenuhi besarnya kebutuhan harian. Hubungan petani dan tengkulak bagai mata rantai yang tak mampu diputus.
Menurut Devi, petani bertekad menghadapi persoalan klasik yang belum ada solusinya ini, yakni dengan cara mencari calon pembeli kopi langsung. ”Ini satu-satunya cara yang bisa kami lakukan,” ujarnya.
Tumbuh subur
Wonosalam yang terletak pada ketinggian 900 meter di atas permukaan laut, sebenarnya terbilang ”tanggung”. Terlalu tinggi untuk ditanami jenis excelsa dan terlalu rendah untuk jenis arabika. Kenyataannya, ketiga jenis kopi itu subur di sana.
Sebagian peserta baru mengetahui adanya excelsa. Kopi jenis itu selama ini tenggelam di antara arabika dan robusta. Peneliti dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka), Djoko Soemarno, yang hadir dalam acara itu, pun sempat kaget mengetahui excelsa tumbuh di Wonosalam. Selama ini, kopi excelsa hanya ditemui di wilayah Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi, yang lebih akrab disebut kopi liberika.
Ia melihat potensi besar kopi Wonosalam dikenal dunia luar. Namun, ia melihat petani perlu pendampingan agar dapat mengembangkan produktivitasnya. Kulit buah excelsa yang tebal menggerus volume setelah menjadi biji kopi.
Dari sisi rasa, excelsa agak sepat sehingga terkesan tak seistimewa arabika. Namun, aroma khas nangkanya membuat excelsa unik. Rasa sepat bisa diatasi melalui pengolahan budidaya ataupun pascapanennya untuk mengurangi kadar anstrigent. ”Cita rasanya beda, unik. Kalau dipelihara dengan baik, secara jumlah dan mutu kopi excelsa akan lebih menjamin bagi petani,” katanya.
Penyelenggara Coffee for Earth, Yuanita, mengatakan, melalui jelajah kebun kopi, para pelaku industri hilir kopi bisa melihat langsung perkebunan kopi Wonosalam yang multikultur. Harapannya juga bisa mendorong kampanye menghutankan kembali kopi.
Yang lebih penting lagi dalam jelajah kopi, orang tak hanya menyeruput minuman kopi. Dengan melihat panjangnya proses budidaya dan pengolahan pascapanen, dunia diharapkan semakin menghargai nilai kopi di tingkat petani. Jangan sampai harga kopi jatuh, justru di saat tradisi minum kopi jadi tren.