Arab Saudi dan Era Kaum Milenial yang Moderat
RIYADH, MINGGU — Penangkapan puluhan tokoh senior Arab Saudi, Sabtu (4/11) malam waktu setempat, atas perintah komisi antikorupsi negara kerajaan itu, mengejutkan dunia, terutama bagi dunia Arab. Kantor berita Agence France-Presse, Minggu (5/11), melaporkan, komisi itu baru dibentuk dengan dekrit Raja Salman bin Abdulaziz dan dipimpin Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman.
Penangkapan tersebut mengejutkan karena tokoh-tokoh itu berperan dan bahkan sangat berpengaruh dalam pembangunan ekonomi, keuangan, keamanan, dan tata pelaksanaan pemerintahan negara kerajaan itu. Di antara mereka terdapat 11 pangeran, 4 menteri, 10 mantan menteri, dan sejumlah konglomerat papan atas, termasuk salah satu orang terkaya dunia, yakni Pangeran Al-Waleed bin Talal.
Al-Waleed adalah pengendali perusahan investasi skala besar Kingdom Holding dan mengendalikan jaringan televisi satelit yang paling favorit di seluruh Arab Saudi. Pria ini juga sebagai pemegang saham di banyak perusahaan kelas dunia, antara lain di News Corp, Time Warner, Apple, Citigroup, dan Twitter.
Pangeran Al-Waleed juga tercatat dalam kelompok investor yang membeli saham mayoritas Plaza Hotel, New York, dari Donald Trump sebelum Trump menjadi presiden. Oleh karena itu, beberapa media Arab dan asing mengatakan, penangkapan Al-Waleed diyakini akan menimbulkan gejolak, baik di dalam negeri maupun ekonomi dan keuangan global.
Bukti yang langsung dirasakan adalah saham Kingdom Holding, dengan 95 persennya dipegang Al-Waleed, turun 9,9 persen pada saat bursa saham Saudi dibuka, Minggu pagi, setelah laporan penangkapannya.
Pangeran Mohammed sebelumnya mencopot Kepala Garda Nasional Saudi Mitaeb bin Abdullah Al-Saud, putra kesayangan mendiang Raja Abdullah dan calon kuat ahli waris takhta kerajaan sebelum kemunculan Mohammed bin Salman. Mitaeb dilaporkan sebagai salah satu pangeran yang ikut ditahan. Posisi Mitaeb amat diperhitungkan karena dirinya mewarisi kendali garda nasional, sebuah pasukan elite dalam negeri yang dibangun dari unit-unit kesukuan, yang dibangun sang ayah puluhan tahun silam.
Pangeran Mitaeb juga adalah anggota terakhir keluarga mendiang Raja Abdullah yang duduk pada posisi penting dalam struktur kekuasaan pemerintahan.
Menteri Perekonomian Adel Al-Fakieh dan Komandan Angkatan Laut Laksamana Abdullah bin Sultan juga termasuk di antara puluhan pejabat tinggi yang ditangkap. Kementerian Perekonomian bertanggung jawab untuk menjalankan privatisasi aset-aset Pemerintah Arab Saudi yang bernilai hingga 200 miliar dollar AS atau sekitar Rp 2.699,6 triliun.
Kasus lama
Dengan mengutip media-media resmi Arab Saudi, AFP melaporkan, penangkapan para tokoh senior itu terjadi setelah komisi antirasuah melakukan penyelidikan atas kasus-kasus lama, termasuk penanganan bencana banjir yang melumpuhkan kota Jeddah pada 2009 dan virus MERS.
Media resmi negara Saudi Press Agency (SPA) mengatakan, penangkapan itu demi ”menyelamatkan uang rakyat, menghukum orang-orang yang korup, dan yang menyalahgunakan posisi mereka”.
Penangkapan itu demi menyelamatkan uang rakyat, menghukum orang-orang yang korup, dan yang menyalahgunakan posisi mereka.
Dewan tertinggi ulama dan pejabat tinggi lainnya memuji langkah komisi antirasuah. Mereka menyebut langkah yang ”mengguncangkan” itu sebagai ”sama pentingnya dengan memerangi terorisme”.
”Dengan tindakan keras ini, kerajaan menandai era baru dan kebijakan transparansi, keterbukaan, dan akuntabilitas,” kata Menteri Keuangan Arab Saudi Mohammed al-Jadaan seperti dikutip SPA.
”Keputusan yang menentukan itu akan menyelamatkan lingkungan investasi dan meningkatkan kepercayaan (publik) pada penegakan hukum,” kata SPA seperti diteruskan AFP.
Penangkapan juga diduga terkait dengan kebijakan Arab Saudi mengisolasi tetangganya, Qatar, serta intervensi militer Arab Saudi ke Yaman untuk membantu pemerintah yang digulingkan pasukan Houthi, milisi pro-Iran, musuh bebuyutannya.
Penangkapan juga diduga terkait dengan kebijakan Arab Saudi mengisolasi Qatar serta intervensi militer Arab Saudi ke Yaman.
Sejumlah analis menduga para pangeran, menteri, dan mantan menteri yang ditahan adalah para penentang kebijakan luar negeri Pangeran Mohammed bin Salman terkait Qatar.
Aparat keamanan negara juga melarang semua pesawat pribadi para tersangka yang berada di berbagai bandara untuk meninggalkan kota itu agar mereka tidak melarikan diri.
Pembersihan yang dramatis atas 11 tokoh senior dan puluhan mantan menteri terjadi ketika negara kerajaan yang konservatif itu melakukan transformasi sosial dan ekonomi menghadapi era pasca-minyak yang dipimpin Pangeran Mohammed, pewaris tahta kerajaan.
Alasan korupsi atau politis?
Benarkah penangkapan 11 pangeran, empat menteri, komandan Angkatan Laut, para mantan menteri, dan sejumlah konglomerat papan atas itu karena kasus korupsi ataukah alasan politis?
Penangkapan para pangeran dan pejabat tinggi itu terjadi tak lama setelah Raja Salman bin Abdulaziz merombak sejumlah posisi di kabinet dan mengeluarkan dekrit pembentukan komisi antikorupsi.
Saudi adalah negara kerajaan yang tidak memiliki konstitusi tertulis atau memiliki institusi pemerintahan independen seperti parlemen dan pengadilan. Dengan demikian, tuduhan korupsi amat sulit untuk dievaluasi. Apalagi batasan antara uang rakyat dan harta keluarga kerajaan amat tipis.
Oleh karena itu, banyak kalangan, terutama pemerhati Timur Tengah, melihat penangkapan itu lebih tepat didorong oleh alasan politik untuk memperkuat posisi Pangeran Mohammed setelah diangkat sebagai Putra Mahkota pada Juni 2017.
Beberapa pengamat Timur Tengah menyebut, penangkapan puluhan tokoh senior pemerintahan kerajaan sebanyak itu belum pernah terjadi sebelumnya. Langkah tersebut jelas merupakan sebuah konsolidasi awal bagi kekuasaan Putra Mahkota, yang juga adalah penasihat utama Raja Salman, ayahnya.
Sejak Mohammed bin Salman menjadi ahli waris resmi takhta kerajaan konservatif itu, ia berjanji bahwa pada kekuasaannya nanti, negaranya bakal menerapkan konsep ”Islam moderat dan terbuka”, yang ramah bagi semua agama dan juga dunia.
Tokoh sentral
Pangeran Mohammed beberapa waktu lalu meminta dukungan global untuk membantu mengubah wajah ”garis keras” Arab Saudi itu menjadi sebuah negara terbuka, yang bisa memberdayakan semua warganya, dan terbuka bagi investasi asing bagi negara yang selama ini mengandalkan minyak.
Ia mendorong ”Visi 2030”, yang berisi kebijakan ekonomi dan sosial jangka panjang untuk menghilangkan ketergantungan negara terhadap minyak dan memulihkan diri akibat jatuhnya penerimaan sektor minyak.
Kami tidak akan membuang 30 tahun hidup kami dengan pemikiran yang ekstremis. Kami akan membuang pemikiran itu sekarang juga.
Era minyak telah meredup. Dalam konteks menyelamatkan ekonomi dan mendukung ”Visi 2030”, Arab Saudi bakal mengajukan utang senilai 10 miliar dollar AS kepada perbankan internasional.
Pangeran Mohammed bin Salman juga menegaskan, Arab Saudi ingin berbuat lebih banyak untuk mengatasi ekstremisme dan radikalisme. ”Kami tidak akan membuang 30 tahun hidup kami dengan pemikiran yang ekstremis. Kami akan membuang pemikiran itu sekarang juga,” katanya.
Banyak tokoh di lingkaran dalam pemerintahan masih pesimistis dan menyambut gagasan Mohammed dengan skeptis. Sebab, ulama garis keras masih memiliki pengaruh di negara itu.
Diduga, mereka yang ditangkap termasuk dalam barisan tersebut. Kecuali Pangeran Al-Waleed. Ia sebenarnya seorang reformis, tetapi sering ”melompat” terlalu cepat dari gagasan reformasi Pangeran Mohammed bin Salman.
Mewakili generasi milenial
Putra Mahkota kini mengendalikan seluruh institusi keamanan negeri itu yang sejak lama dipimpin secara terpisah oleh sejumlah tokoh penting.
Selain sebagai Putra Mahkota, ia sudah menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Juni lalu dinobatkan menjadi Putra Mahkota menggeser saudara sepupunya yang lebih tua, Pangeran Mohammed bin Nayef.
Mohammed bin Salman juga menjabat Menteri Dalam Negeri sekaligus menjadi pengendali pasukan milik kementerian itu.
Dalam bidang politik luar negeri, Mohammed bin Salman bertanggung jawab atas keterlibatan Arab Saudi dalam perang di Yaman, menciptakan kebijakan energi dengan implikasi global, dan merencanakan masa depan Saudi agar tak bergantung pada hasil minyak bumi.
Pangeran Mohammed bin Salman dilihat sebagai cerminan Arab Saudi yang modern, yang lebih kekinian atau mewakili generasi milenial Arab, yang kelak naik takhta menggantikan ayahnya. (AFP/REUTERS/AP)