Kritik Jangan Berujung Pemidanaan
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto seyogianya mengedepankan upaya persuasif menghadapi dugaan pencemaran nama baik. Penyebaran satire dalam bentuk meme di media sosial tentang pejabat publik merupakan kritik, bukan pencemaran nama baik. Langkah Novanto melaporkan 68 pemilik akun media sosial adalah kemunduran demokrasi.
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Defamasi menyampaikan hal tersebut di Jakarta, Minggu (5/11). Koalisi terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Indonesia Corruption Watch, LBH Jakarta, Yayasan LBH Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia.
”Setya Novanto adalah pejabat publik yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Novanto seharusnya terbuka terhadap kritik. Lagi pula, langkah Novanto melaporkan warganet akan merugikan citranya di mata masyarakat. Kami minta agar Novanto mencabut laporannya,” kata Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin.
Setya Novanto adalah pejabat publik yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Ia seharusnya terbuka terhadap kritik.
Novanto, melalui kuasa hukumnya, Fredrich Yunadi dan Yudha Pandu, hingga kini sudah melaporkan 68 akun media sosial yang menyebarkan satire bernuansa kritik terhadap Novanto. Seorang di antaranya, Dyan Kemala Arrizzqi (29), telah ditangkap polisi di rumahnya di Tangerang, Selasa (31/10) malam.
Dyan dijerat dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Fredrich pun mengatakan, ada kemungkinan jumlah pemilik akun yang akan dilaporkan akan bertambah lagi. Penangkapan Dyan merupakan tindakan sistematis dari Novanto untuk membungkam kritik terhadap dirinya.
Posko pengaduan
Nawawi mengatakan, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Defamasi akan melakukan pendampingan hukum kepada para pemilik akun yang dilaporkan Novanto. Mereka membuka posko pengaduan di kantor LBH Pers di Jalan Kalibata Timur IVG.
Saor Siagian, anggota Koalisi Masyarakat Sipil Anti Defamasi, mengatakan, kasus penyebaran satire bergambar Novanto jangan dilihat sebagai kasus yang berdiri sendiri. Penyebaran satire itu merupakan bentuk ketidakpuasan publik terhadap Novanto yang seolah tidak tersentuh dalam dugaan kasus korupsi KTP elektronik.
”Novanto beberapa kali mangkir dari panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan sakit. Ketika itu muncul foto Novanto terbaring di rumah sakit. Warganet mengkritik karena ada beberapa kejanggalan pada foto itu, antara lain monitor denyut jantung yang tidak bergerak,” kata Saor.
Saor juga mengkritik langkah polisi yang menangkap Dyan pada pukul 22.00. Polisi seolah menangkap pelaku kejahatan luar biasa sehingga harus dilakukan secepatnya meskipun malam hari. Padahal, dalam kasus dugaan pencemaran nama baik, seharusnya tidak ada hal mendesak sehingga harus dilakukan penahanan.
Polri terkesan agresif menangani kasus Novanto, tapi terkesan tidak berdaya mengungkap kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.
Menurut Saor, Polri terkesan agresif menangani kasus Novanto. Hanya sekitar tiga pekan, polisi sudah melakukan penangkapan. Hal serupa terjadi dalam menangani kasus dugaan pencemaran nama baik Direktur Penyidikan KPK Brigadir Jenderal (Pol) Aris Budiman. Penyidik KPK Novel Baswedan telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus itu.
Saor, yang juga pengacara Novel, mengatakan, Polri malah terkesan tidak berdaya dalam mengungkap kasus penyiraman air keras terhadap Novel, 11 April lalu. Tidak ada perkembangan meskipun kepolisian telah melakukan penyelidikan lebih dari setengah tahun. Hingga kini, Novel masih dirawat di rumah sakit di Singapura. ”Rentetan kasus ini menimbulkan kecurigaan publik kepada Polri,” kata Saor.
Menurut pengacara publik LBH Jakarta Ayu Eza Tiara, penangkapan Dyan melukai kebebasan berekspresi masyarakat. Padahal, kebebasan berekspresi itu telah dijamin dalam konstitusi. Ia juga menyayangkan tindakan Novanto yang mengedepankan hukum pidana. ”Pasal pencemaran nama baik seharusnya hanya diterapkan dalam kasus antarpribadi, tidak dalam kritik terhadap pejabat publik,” katanya.
Peneliti ICW Tibiko Zabar menyatakan, publik menyebarkan satire sebagai bentuk dukungan terhadap pemberantasan korupsi. Mereka melakukan hal tersebut karena merasa kecewa terhadap sistem hukum yang ada.