Petani Mendapat Kepastian Hukum
BOYOLALI, KOMPAS — Pembagian sertifikat izin pemanfaatan hutan kawasan hutan negara memberikan status hukum yang pasti kepada petani dalam memanfaatkan lahan hutan negara. Izin pemanfatan hutan itu berlaku selama 35 tahun. Jika lahan tersebut dimanfaatkan oleh petani secara produktif, bisa diperpanjang selama 35 tahun lagi.
”Nanti perpanjang 35 tahun, kenapa tidak, tetapi harus bermanfaat,” kata Presiden Joko Widodo saat menyerahkan Surat Keputusan Pemanfaatan Hutan serta SK tentang Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan di Desa Wonoharjo, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (4/11).
Presiden didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar serta Direktur Utama Bank BRI Suprajarto. Hadir juga Menteri BUMN Rini Soemarno, Wakil Gubernur Jateng Heru Sudjatmoko, dan Bupati Boyolali Seno Samodro.
Pada kesempatan itu, Presiden menyerahkan SK Perhutanan Sosial untuk tujuh kelompok tani dan lembaga masyarakat desa hutan di tujuh kecamatan di Kabupaten Pemalang dan Boyolali. Surat keputusan itu mencakup 1.890 hektar kawasan hutan untuk 1.687 keluarga penggarap.
Sebelumnya, Rabu (1/11), Presiden menyerahkan SK Perhutanan Sosial seluas 2.144 hektar di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Kamis (2/11), SK serupa atas 2.827 hektar kawasan diserahkan untuk penggarap di Kabupaten Probolinggo, Lumajang, dan Jember, Jawa Timur.
Presiden meminta petani benar-benar memanfaatkan lahan tersebut secara produktif. ”Kalau sudah diberikan, tolong semuanya harus produktif, harus ditanami yang bermanfaat, harus dimanfaatkan. Jangan sampai dibiarkan lahannya menganggur, tanahnya nganggur,” katanya.
Kalau sudah diberikan, tolong semuanya harus produktif, harus ditanami yang bermanfaat, harus dimanfaatkan. Jangan sampai dibiarkan lahannya menganggur, tanahnya nganggur.
Menurut Presiden, banyak lahan dibiarkan menganggur padahal sebenarnya bisa dimanfaatkan secara produktif. Dicontohkan, di Muara Gembong, lahan tambak dibiarkan menganggur. Padahal, apabila dimanfaatkan untuk budidaya udang vaname bisa menghasilkan hingga Rp 27 juta per bulan.
Presiden mempersilakan petani menanami lahan dengan berbagai jenis tanaman yang sesuai kondisi geografis setiap lokasi. Setahun lagi Presiden akan datang untuk mengecek lokasi guna memastikan lahan yang telah diserahkan pengelolannya tersebut benar telah dimanfaatkan atau justru ditelantarkan. Jika ditelantarkan, pemerintah akan mencabut izin yang telah diberikan.
”Saya ingin mengecek di lapangan setelah setahun benar tidak dimanfaatkan, benar tidak menyejahterakan,” ujarnya.
Izin resmi
Rohali (83), warga Desa Bulakan, Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang, yang mendapatkan sertifikat izin pemanfaatan hutan seluas 1 hektar, mengaku senang kini mendapatkan izin resmi dari pemerintah. ”Itu, kan, awalnya lahan gundul. Daripada gundul, saya tanami,” katanya. Lahan itu ditanami beberapa jenis tanaman keras, seperti petai, alpukat, durian, dan melinjo, juga jagung.
Itu, kan, awalnya lahan gundul. Daripada gundul, saya tanami.
Sojo, petani warga Desa Wonoharjo yang juga mendapatkan izin pemanfaatan hutan sekitar 1 hektar. berniat menanam palawija, seperti jagung, serta tanaman buah mangga dan pisang. Dengan adanya sertifikat izin pemanfaatan hutan tersebut, Sojo berencana mengajukan pinjaman kredit usaha rakyat (KUR) untuk membeli bibit dan pupuk.
Terkait kegiatan itu, Bank BRI, sebagai salah satu BUMN, memberikan KUR kepada petani Pemalang dan Boyolali yang mendapatkan SK Perhutanan Sosial. Petani juga akan mendapatkan kartu tani yang dapat difungsikan sebagai kartu debit sekaligus kartu penjualan hasil panen, pengambilan pupuk bersubsidi, dan sebagai data sumber untuk pinjaman dan layanan KUR.
Kemarin, BRI memberikan bantuan kepada kelompok tani, yakni 7 alat pemipil jagung, 3 saung, 11 tandon air, dan 3 rumah pompa. Sementara kepada petani di Boyolali, BRI menyerahkan 8 alat pemipil jagung dan 8 traktor. Dirut Bank BRI Suprajarto berharap bantuan itu dapat meningkatkan produktivitas lahan sekaligus kesejahteraan petani.
Program unggulan
Skema Perhutanan Sosial hanya salah satu dari beberapa skema Reforma Agraria (RA) yang dicanangkan Presiden Jokowi dalam Nawacita. Program RA menjadi program unggulan yang bertujuan untuk pemerataan dengan mengurangi kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan. Program RA lainnya di antaranya yaitu pengakuan hutan adat.
Siti Nurbaya mengatakan, pemerintah menargetkan luas hutan untuk program itu mencapai 12,7 juta hektar. Namun, hingga akhir 2019, realisasinya diperkirakan baru 4,3 juta hektar. Menurut dia, program ini perlu dilakukan dengan sangat hati-hati. ”Jangan sampai di kemudian hari ada masalah sehingga justru menyusahkan petani,” katanya pada kesempatan lain.
”Perhutanan sosial di Indonesia telah mencapai area seluas 1,08 juta hektar, masih dalam proses penyelesaian 960.000 hektar, dan dalam penyiapan kerja seluas 46.000 hektar yang tersebar pada 48 titik di 30 kabupaten di Pulau Jawa,” kata Siti Nurbaya.
Perhutanan sosial di Indonesia telah mencapai area seluas 1,08 juta hektar, masih dalam proses penyelesaian 960.000 hektar, dan dalam penyiapan kerja seluas 46.000 hektar yang tersebar pada 48 titik di 30 kabupaten di Pulau Jawa.
Siti Nurbaya mengatakan, pola pemanfaatan kawasan hutan negara melalui akses izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) yang diberikan oleh pemerintah serta pengakuan dan perlindungan kemitraan kehutanan dengan Perhutani telah mulai dilakukan di Jawa. Pola itu mempertegas bahwa kerja sama masyarakat dengan Perhutani dijaga dan dilindungi oleh pemerintah.
Tidak mudah
Menurut antropolog yang juga peneliti pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria Yogyakarta, Yando Zakaria, pelaksanaan program perhutanan sosial tidak mudah. ”Terutama di Jawa karena terdapat konflik dalam pengertian, bisa sudah ada masyarakat yang ada di wilayah itu atau ada kelompok lain yang menguasai program-program lama,” katanya ketika dihubungi dari Jakarta.
Terutama di Jawa karena terdapat konflik dalam pengertian, bisa sudah ada masyarakat yang ada di wilayah itu atau ada kelompok lain yang menguasai program-program lama.
Dia mengatakan, sejak 1980-an, ada program pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). ”Tetapi prosesnya tidak transparan. Yang mengikuti program itu menjadi elite-captured (penguasaan elite). Ini membuat sistem penguasaan lahan tertentu yang dari segi hasil relatif tidak produktif,” kata Yando.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, ”Dalam konteks hutan Jawa dan kasus-kasus Perhutani yang kronis, pemerintah masih punya pekerjaan rumah yang besar. Tidak semua masalah agraria di Jawa, khususnya kawasan yang diklaim sebagai kawasan hutan, dapat diselesaikan melalui skema perhutanan sosial,” ujarnya.
Menurut Dewi, pemerintah harus mendorong RA di hutan ataupun nonhutan. Sebab, ada lokasi-lokasi di mana tanah diklaim secara sepihak oleh Perhutani. ”Waktunya tinggal dua tahun. Masyarakat telah mengusulkan lokasi-lokasi prioritas reforma agraria yang berasal dari usulan bawah untuk merespons penentuan tanah obyek reforma agraria pemerintah,” ujar Dewi.
Menurut dia, penetapan tanah obyek reforma agraria yang bersifat top down belum menyentuh wilayah-wilayah konflik agraria struktural antara warga dengan Perhutani dan perkebunan milik BUMN (PTPN) dan swasta. ”Luruskan dan percepat pelaksanaan RA berdasarkan lokasi prioritas reforma agraria sebagai solusi bagi serikat-serikat tani dan organisasi masyarakat adat,” ujar Dewi. (RWN/MKN/NDY/ISW)