Tanpa Garansi Pemerintah, Petani Sulit Akses Kredit Usaha Rakyat
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Petani yang mendapat sertifikat pemanfaatan hutan kawasan hutan negara perlu mendapatkan jaminan kemudahan mengakses kredit usaha rakyat atau KUR. Perum Perhutani serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus menjadi penjamin kepada bank penyalur kredit untuk memastikan petani bisa mengakses KUR.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, Minggu (5/11), di Jakarta, menilai, langkah Presiden Joko Widodo untuk memberikan Surat Keputusan Perhutanan Sosial yang bisa digunakan untuk mengakses KUR sudah tepat. Namun, pemerintah perlu memberikan kepastian bahwa sertifikat itu bisa menjadi jaminan untuk mengakses kredit.
Sertifikat hak guna usaha, kata Bhima, masih belum kuat untuk menjadi syarat pengajuan kredit. Terlebih sektor pertanian memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan sektor lain, seperti perdagangan.
Dia mencontohkan, petani yang memiliki sertifikat hak milik pun masih bisa ditolak pengajuan kreditnya. Apalagi, petani yang hanya memiliki sertifikat pemanfaatan hutan. Ada pula kekhawatiran petani gagal panen. ”Petani membutuhkan pihak ketiga yang menjamin hasil pertaniannya bisa diserap,” ujarnya.
Oleh sebab itu, dalam hal ini, Perum Perhutani serta KLHK sebagai pemilik lahan harus mendaftarkan pemilik sertifikat kepada bank penyalur kredit sebagai penggaransi penyaluran kredit.
”Perhutani dan KLHK harus menjembatani petani dengan bank penyalur kredit sebagai pemberi garansi agar petani benar-benar bisa mendapatkan kredit. Jika ada database petani yang terintegrasi di semua bank penyalur KUR, tidak ada lagi alasan bank tidak menyalurkan kredit,” katanya.
Jika ada database petani yang terintergrasi di semua bank penyalur KUR, tidak ada lagi alasan bank tidak menyalurkan kredit.
KUR adalah kredit yang diberikan perbankan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah, serta koperasi (UMKMK) yang dalam skema tradisional perbankan dianggap tidak layak. Di sisi lain, usaha itu memiliki prospek bisnis baik dan memiliki kemampuan untuk mengembalikan kredit.
KUR dimaksudkan sebagai salah satu instrumen untuk memberdayakan UMKMK, menciptakan lapangan kerja, dan menanggulangi kemiskinan. UMKMK yang diharapkan bisa mengakses KUR adalah yang bergerak di sektor usaha produktif. Sektor produktif itu di antaranya pertanian, perikanan dan kelautan, perindustrian, kehutanan, serta jasa keuangan simpan-pinjam.
Sebelumnya dalam empat hari terakhir (1-4/11), Presiden Joko Widodo membagian sertifikat izin pemanfaatan hutan kawasan hutan negara kepada petani. Izin pemanfaatan hutan itu berlaku selama 35 tahun. Jika lahan dimanfaatkan petani secara produktif, izin bisa diperpanjang selama 35 tahun lagi.
Di Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (4/11), Presiden memberikan SK Perhutanan Sosial untuk tujuh kelompok tani dan lembaga masyarakat desa hutan di tujuh kecamatan di Kabupaten Pemalang dan Boyolali. SK itu mencakup 1.890 hektar kawasan hutan untuk 1.687 keluarga penggarap.
Pada Kamis (2/11), SK serupa atas 2.287 hektar kawasan diserahkan untuk penggarap di Kabupaten Probolinggo, Lumajang, dan Jember, Jawa Timur. Sebelumnya pada Rabu (1/11), Presiden menyerahkan SK Perhutanan Sosial seluas 2.144 hektar di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Selama ini, petani masih kesulitan mengakses KUR. Selama tahun 2016, penyaluran kredit ke sektor produktif yang meliputi usaha bidang pertanian, perikanan dan kelautan, perindustrian, kehutanan, serta jasa keuangan simpan-pinjam masih kurang.
Hal itu tecermin dari penyaluran KUR untuk sektor produktif yang selalu di bawah 22 persen. Sementara sektor terbesar penikmat KUR mengalir ke pertanian sebesar 66 persen. Sisanya disalurkan ke sektor jasa.
Pada 2016, realisasi penyaluran KUR sebesar Rp 94,4 triliun dari plafon Rp 100 triliun. Sementara tingkat kredit macetnya sebesar 0,37 persen. Tahun depan, pemerintah berencana menurunkan bunga KUR dari 9 persen menjadi 7 persen.
Menurut Bhima, rendahnya serapan KUR ke sektor produktif, terutama pertanian, disebabkan pemerintah kurang akomodatif kepada petani. Petani harus membayar cicilan per bulan seperti sektor usaha lain. Padahal, tidak setiap bulan petani mendapat pemasukan. Bagi petani musiman, mereka baru mendapat hasil tiap tiga, enam, atau 12 bulan sekali saat masa panen.
Selain itu, petani membutuhkan pinjaman yang lebih besar yang sering kali tidak masuk dalam platform KUR. Oleh sebab itu, pengajuan pinjaman kepada petani seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan agar makin banyak petani yang mengambil KUR.
Ketua Koperasi Petani Tebu Rakyat Jatim Marzuki Abdul Gofur mengatakan, mayoritas petani tebu masih mengandalkan modal dari kredit. Namun, tidak banyak petani yang bisa mengakses KUR, yakni hanya sekitar 20 persen. Sisanya sekitar 80 persen mengandalkan kredit komersial karena memiliki platform yang lebih besar meski bunga yang ditanggung juga lebih tinggi.
Mayoritas petani tebu masih mengandalkan modal dari kredit.
Petani keberatan terhadap persyaratan KUR, misalnya luas lahan maksimal 2 hektar dan harus membayar angsuran setiap bulan. Padahal, tanaman tebu hanya dipanen sekali dalam setahun, berbeda dengan padi yang bisa dipanen setahun tiga kali. Petani tebu baru bisa membayar angsuran setelah panen. ”Angsuran sebaiknya disesuaikan dengan keadaan petani,” katanya.
Petani tebu yang mengakses KUR masih perlu penjamin dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) jika ingin mengajukan kredit. Mereka tidak bisa mengakses sendiri karena proses lebih sulit dibandingkan mengikuti program KUR melalui PTPN. ”Ada tambahan jaminan dari PTPN memudahkan petani mendapatkan KUR,” ujar Abdul.
Pada 2017, target penyaluran KUR mencapai Rp 106,2 triliun dengan porsi KUR mikro 81 persen, KUR ritel 18 persen, dan KUR TKI 1 persen. Hingga September 2017, total KUR yang telah disalurkan baru 65,5 persen dari target atau senilai Rp 69,7 triliun dengan jumlah debitor sebanyak 3,1 juta orang.
Penyaluran KUR masih terkonsentrasi di Jawa (56 persen), Sumatera (19 persen), dan Sulawesi (10 persen). Sementara berdasarkan penyaluran perbankan, realisasi KUR PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk telah mencapai Rp 51,3 triliun, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Rp 5,5 triliun, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sebesar Rp 9,1 triliun.