Bagaimana Indonesia Setelah Powell Jadi Gubernur Bank Sentral AS?
Keputusan Bank Sentral Amerika Serikat alias Federal Reserve selalu memengaruhi situasi di negara lain, termasuk Indonesia.
Keputusan Bank Sentral Amerika Serikat alias Federal Reserve selalu memengaruhi situasi di negara lain, termasuk Indonesia. Keputusan Fed dapat berdampak baik, sebaliknya dapat berdampak buruk terutama bagi investasi portofolio.
Masih lekat dalam ingatan ketika Gubernur Fed Ben Bernanke baru memberi sinyal pengurangan pembelian obligasi pada Mei 2013. Baru sinyal saja, arah pasar saham domestik langsung berbalik dari tren naik menjadi tren turun. Investor asing seketika mengurangi portofolionya di pasar saham negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pasar keuangan kembali bereaksi ketika Fed mulai menaikkan tingkat suku bunganya. Bank Sentral AS, teorinya akan menaikkan suku bunga jika meyakini terjadi perbaikan ekonomi. Akibatnya, indeks dollar AS yang mengukur kinerja dollar AS terhadap mata uang lain terus menguat.
Ketika sedang dalam proses menaikkan suku bunga, muncul risiko lain, yakni pergantian pucuk pimpinan Fed. Masa jabatan Janet Yellen sebagai pemimpin memang akan berakhir pada Februari 2018. Meski sebagai anggota dewan gubernur, Yellen—apabila mau—masih dapat menjabat hingga 2024.
Mata dunia pun kini tertuju pada suksesi pemimpin Fed. Pergantian pimpinan ini menjadi krusial karena biasanya arah kebijakan bank sentral juga ditentukan oleh pemimpinnya.
Suksesi ini juga harus dicermati karena biasanya setelah selesai masa jabatan pertama, gubernur Fed dipilih lagi untuk masa jabatan kedua. Namun, dalam pemerintahan Donald Trump, kebiasaan tersebut tidak terjadi.
Tidak harmonis
Yellen tampaknya menjadi pimpinan Fed dengan masa jabatan tersingkat setelah G William Miller yang menjadi gubernur Fed pada 1978-1979.
Hubungan antara Trump den Yellen memang tidak selalu harmonis. Saat kampanye presiden, Trump pernah mengkritik Yellen dengan mengatakan, pimpinan Fed seharusnya malu karena kebijakannya sangat politis, semata-mata mendukung pemerintahan Barack Obama.
Dalam beberapa kesempatan, Trump sempat terkesan membuka peluang Yellen untuk menduduki jabatannya di periode kedua. Namun, faktanya ada beberapa nama di luar Yellen yang dinominasikan, yakni ekonom penasihat Trump, Gary Cohn; mantan pejabat Fed, Kevin Warsh; dan John Taylor, profesor ekonomi dari Universitas Stanford.
Spekulasi pun bermunculan dalam beberapa bulan terakhir. Warsh bahkan sempat diunggulkan dan menang dalam jajak pendapat bulan lalu. Padahal, Warsh terbilang sering mengkritik bank sentral. Meski menghormati independensi bank sentral, Warsh—bila terpilih—diyakini akan mengubah kebijakan secara dramatis untuk menyenangkan pihak-pihak yang sering mengkritik bank sentral.
Sebagai pimpinan, Warsh juga tampaknya akan melonggarkan aturan perbankan. Warsh mungkin akan menaikkan suku bunga lebih agresif dibandingkan Yellen dan akan menurunkan neraca Fed dengan lebih cepat lagi.
Namun, pekan lalu, nominasi ini mengerucut menjadi Taylor dan Jerome Jay Powell.
Pendukung ”Taylor Rule”
Andai kata Trump menominasikan Taylor ke hadapan Senat, maka pelaku pasar telah berhitung. Gaya Taylor diperkirakan akan membawa Fed ke kutub yang berbeda.
John Taylor merupakan pendukung Taylor Rule. Untuk merespons inflasi, bank sentral akan menaikkan suku bunga lebih dari 1 persen apabila inflasi naik 1 persen. Taylor Rule dibuat oleh Gubernur Fed pada 1928. Tujuan dari Taylor Rule adalah menciptakan kestabilan harga, penyerapan tenaga kerja penuh, dan meminimalkan ketidakpastian. Dengan demikian, kredibilitas bank sentral dan pemerintah meningkat.
Menurut ekonom, penggunaan Taylor Rule oleh Fed sebaiknya mengacu juga pada situasi ekonomi. Kebijakan ini dianggap tidak terlalu akomodatif sejak krisis finansial di AS pada tahun 2008.
Saat ini, Fed mematok target inflasi 2 persen. Menurut aturan dari Taylor Rule, tingkat suku bunga seharusnya 3,7 persen atau tiga kali lipat jika dibandingkan suku bunga saat ini yang hanya 1,15 persen.
Taylor juga sering mengatakan, perekonomian AS sudah jauh membaik. Dengan pernyataan seperti ini, pengamat memprediksi Taylor akan lebih cepat memacu kenaikan tingkat suku bunga.
Pelaku pasar lega
Trump akhirnya mengumumkan Powell sebagai pengganti Yellen. Pelaku pasar pun lega. Powell dianggap meneruskan kebijakan Yellen yang berhati-hati dalam menaikkan suku bunga. Pasar memang tidak menginginkan kejutan atau perbedaan arah kebijakan Fed.
Teddy Oetama, Head of Intermediary Business Schroder Investment Management Indonesia, mencermati, tidak akan ada banyak perubahan setelah Powell menjabat sebagai gubernur Fed nanti. ”Ada kontinuitas. Ini seperti harapan pasar,” ujar Teddy.
Hal senada dikatakan Kepala Riset Mirae Asset Taye Shim. Taye mengatakan, akan terjadi status quo dengan terpilihnya Powell. ”Powell adalah pilihan yang membosankan, tetapi ini hal terbaik bagi pasar saham. Juga baik dampaknya bagi iklim investasi di negara berkembang,” ujarnya.
Powell adalah pilihan yang membosankan, tetapi ini hal terbaik bagi pasar saham.
Buat Indonesia, nyaris tidak ada perubahan dampak dari kehadiran Powell. Suku bunga akan tetap naik dengan bertahap dan dilakukan dengan berhati-hati. Rencana Fed itu sudah price in alias sudah masuk perhitungan investor baik di pasar saham maupun obligasi.
Kenaikan suku bunga Fed jelas akan mendorong imbal hasil obligasi pemerintah sekaligus menurunkan harga. Namun, dengan peringkat layak investasi bagi Indonesia dari ketiga lembaga pemeringkat besar, maka dampak negatif itu tidak terlalu besar. Fundamental perekonomian Indonesia juga kuat sehingga surat utang pemerintah tetap akan menarik investor.
Reformasi pajak
Satu ketidakpastian telah terjawab. Risiko dari siapa dan arah kebijakan Fed telah menjadi fakta yang sesuai ekspektasi. Satu perkara terselesaikan. Ketidakpastian berikutnya adalah reformasi pajak baik untuk individu maupun untuk korporasi.
Menurut Bloomberg.com, Trump sudah memutuskan untuk tidak mencalonkan Cohn sejak pertengahan bulan lalu. Mengapa? Karena Cohn akan dipertahankan untuk menjadi pendorong reformasi pajak.
Reformasi pajak ini merupakan salah satu faktor pendorong penguatan indeks di Wall Street. Dow Jones bahkan terus membukukan rekor baru. Beban pajak yang lebih kecil akan memangkas biaya korporasi. Kapasitas korporasi pun bertambah, laba meningkat, dan secara umum perekonomian AS pun akan terpacu.
Reformasi pajak ini merupakan salah satu faktor pendorong penguatan indeks di Wall Street. Dow Jones bahkan terus membukukan rekor baru.
Minggu lalu, Republikan mengusulkan penurunan pajak korporasi dari 35 persen menjadi 20 persen. Selain itu, ada juga usulan pengenaan tarif pajak sebesar 12 persen untuk dana tunai yang direpatriasi ke AS.
Cermati pemangkasan pajak
”Kita harus mencermati reformasi pajak ini. Ada wacana pemangkasan pajak (terhadap) dana-dana investasi Amerika di luar negeri. Apabila disetujui, ada kemungkinan perusahaan Amerika membawa pulang dana investasinya di luar negeri. Mungkin termasuk dana dari negara berkembang,” kata Teddy.
Repatriasi dana investasi yang kembali masuk ke AS jelas memicu perpindahan dana dari negara berkembang. Dapat saja investor AS juga mengurangi bobot investasinya di Indonesia.
Sementara itu, Taye mencermati sisi defisit anggaran. Pemangkasan pajak diyakini menurunkan pemasukan AS. Menurut perhitungan Komite Bersama Perpajakan AS, usulan ini bahkan akan meningkatkan defisit hingga 1.487 triliun dollar AS dalam 10 tahun ke depan. Padahal, beberapa usulan reformasi pajak akan ditetapkan secara permanen.
”Tampaknya, Pemerintah AS akan banyak menerbitkan obligasi untuk menutupi defisit fiskal. Gencarnya penerbitan obligasi itu akan menekan harga obligasi dan membuat suku bunga lebih tinggi lagi. Apa artinya buat Indonesia? Kita harus mencermati imbal hasil obligasi, kurs dan arus dana asing, mungkin akan terjadi pelemahan rupiah dan aliran dana keluar,” kata Taye.
Kita harus mencermati imbal hasil obligasi, kurs dan arus dana asing, mungkin akan terjadi pelemahan rupiah dan aliran dana keluar.
Pada 31 Oktober lalu, obligasi pemerintah berdurasi 10 tahun memiliki imbal hasil 7,123, sementara obligasi Pemerintah AS dengan durasi sama memiliki imbal hasil 2,380. Ada selisih sekitar 470 basis poin. Selisih ini sudah turun dari 500 basis poin dari awal tahun lalu. Jika harga obligasi AS tertekan, ada kemungkinan harga obligasi lain, termasuk Indonesia, pun tertekan.
Di sisi lain, Fed mungkin akan merampingkan neracanya yang kini senilai 4,5 triliun dollar AS. Neraca yang gendut ini sebagai akibat pembelian surat utang pada periode quantitative easing 2009-2013 setelah AS didera krisis.
Surat utang yang dilepas ini akan membuat aliran likuiditas menuju pada Fed. Dollar AS akan terserap sehingga peredaran dollar AS menipis. Akibatnya, kurs dollar AS pun menguat terhadap hampir semua mata uang.
Wacana dan pertarungan Trump untuk mengegolkan reformasi pajak masih akan berlangsung. Inilah babak baru dalam sejarah perekonomian AS, yang akan disaksikan dengan saksama oleh banyak pihak, termasuk oleh kita.