JAKARTA, KOMPAS — Kekhawatiran pencurian data pribadi mewarnai pelaksanaan kewajiban registrasi kartu prabayar jasa telekomunikasi. Berangkat dari situasi ini, pemerintah akan berupaya melindungi dengan mengajukan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi pada Program Legislasi Nasional 2018 sehingga rasa aman masyarakat terjamin.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad M Ramli di sela-sela diskusi Kontroversi Registrasi SIM Card, Selasa (7/11), di Jakarta, menyebutkan, sampai pukul 12.30 WIB, sebanyak 46.559.400 nomor prabayar jasa telekomunikasi berhasil tervalidasi dengan sistem data kependudukan di Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil. Ini menunjukkan antusiasme warga mengikuti kebijakan. Pemerintah amat mengapresiasi.
Meski begitu, dia mengakui menerima banyak informasi seputar kekhawatiran pelanggan akan penyalahgunaan nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor kartu keluarga (KK). Pelanggan menganggap keduanya termasuk data pribadi yang rentan disalahgunakan ketika kebijakan registrasi dilaksanakan.
”Kami minta agar isu penyalahgunaan NIK ataupun nomor KK berhenti disebarluaskan. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan telah menyebutkan pemberian sanksi pidana bagi penyalahgunaan data penduduk,” tutur Ahmad.
Di luar industri telekomunikasi, terdapat sejumlah sektor yang memanfaatkan data kependudukan. Menurut dia, sampai sekarang, sekitar 121 kementerian, lembaga, dan perusahaan tercatat ikut memanfaatkannya. Masing-masing sepakat dan berkomitmen melindungi data kependudukan.
Ahmad mengemukakan, pihaknya mendorong semua operator telekomunikasi meluncurkan fitur cek keberadaan serta pemakaian NIK dan nomor KK pada 13 November. Melalui fitur ini, setiap pelanggan bisa mengecek validasi dan memantau sejauh mana dua jenis data penduduk mereka terpakai. Apabila pelanggan menemui adanya kejanggalan atau penyalahgunaan, mereka bisa langsung melapor ke operator.
Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, I Ketut Prihadi, menegaskan, urgensi kebijakan kewajiban registrasi prabayar yang tervalidasi data kependudukan adalah menjaga keamanan dan kenyamanan pelanggan. Mereka memiliki hak transparansi layanan telekomunikasi.
”Pada masa mendatang, industri digital akan berkembang lebih pesat. Bidang usaha e-dagang, misalnya, akan meminta data pelanggan berupa nomor prabayar jasa telekomunikasi. Apabila terjadi kasus penyalahgunaan data saat bertransaksi, aparat keamanan bisa mudah menelusuri pelakunya karena sudah ada pusat data nomor yang tervalidasi data kependudukan,” kata Ketut.
Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia Merza Fachys menyebutkan, jumlah nomor prabayar jasa telekomunikasi yang aktif mencapai sekitar 360 juta. Jumlah sebanyak itu memerlukan validasi identitas pemilik nomor.
Dia menyambut baik pelaksanaan kebijakan kewajiban registrasi yang tervalidasi sistem data kependudukan. Kebijakan itu membantu mengetahui keabsahan identitas pemilik nomor prabayar.
”Harapannya adalah tercipta pusat data pelanggan loyal. Untuk melaksanakan kebijakan ini, para operator sudah uji coba selama setahun. Keamanan data penduduk jadi prioritas,” ujarnya.
Untuk memastikan perlindungan data pribadi masyarakat, Kementerian Komunikasi dan Informatika memastikan akan memasukkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dalam pembahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Tahun 2018 diharapkan kepastian perlindungan data pribadi akan tercantum dalam peraturan perundangan tersebut.
”Kami sudah mendapat konfirmasi dari Dewan Perwakilan Rakyat bahwa rancangan undang-undang ini masuk sebagai undang-undang prioritas Prolegnas untuk dibahas tahun 2018,” ucap Ahmad.
Menurut Ahmad, peraturan perundangan yang akan dibahas nanti akan melengkapi peraturan perundangan yang dinilai sudah memberikan perlindungan terhadap data diri pribadi warga negara, yaitu UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan juga UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Lebih lanjut, menurut Ahmad, dengan dua peraturan perundangan yang sudah ada, sebenarnya perlindungan data pribadi warga negara sudah cukup. Bahkan, dalam praktiknya, mengakses data pribadi tidak mudah karena banyak lapisan pengamanan atau firewall dan juga kata kunci yang harus dimasukkan sebelum pihak tertentu bisa mengakses data tersebut.
UU Administrasi Kependudukan, menurut Ahmad, juga sudah memasukkan larangan dan sanksi yang akan diberikan apabila ada para pihak yang menyebarluaskan data pribadi tersebut kepada publik atau disalahgunakan.
”Jadi, kalau dikatakan tidak ada dasar hukum dalam perlindungan data pribadi, itu tidak betul. Hal itu sebenarnya sudah diatur,” lanjutnya.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, banyak pasal dalam UU Administrasi Kependudukan yang memberikan rambu-rambu pemanfaatan data kependudukan.
Sebelumnya, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mengingatkan pemerintah untuk memberikan perlindungan yang lebih dalam proses pengumpulan dan penggunaan data kependudukan yang kini tengah dilakukan pemerintah melalui Ditjen Dukcapil Kemendagri. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran penyalahgunaan data kependudukan dengan para pihak yang bekerja sama menggunakan data tersebut dengan pemerintah.
Praktik perlindungan data pribadi, dalam catatan Elsam, sudah dilakukan di 88 negara di dunia. Dari 88 negara tersebut, 16 negara sudah memiliki aturan yang sangat kuat bagi perlindungan data pribadi, 24 negara kuat perlindungannya, 32 negara aturannya sedang, dan 16 negara masuk dalam kualifikasi kurang. Dari jumlah tersebut, hanya 57 negara yang secara spesifik telah memiliki UU Perlindungan Data Pribadi, sedangkan 31 negara belum secara spesifik menerapkan UU Perlindungan Data Pribadi. Malaysia, Jerman, Norwegia, dan Uni Emirat Arab adalah contoh negara yang telah memiliki UU perlindungan data diri.
Dengan banyaknya kerja sama dengan lembaga-lembaga swasta, mulai dari perbankan, asuransi, hingga jasa pembiayaan keuangan, menurut Deputi Direktur Riset Elsam Wahyudi Djafar, seharusnya Kemendagri memberikan klasifikasi dan rambu yang jelas tentang data mana yang boleh diambil atau sebaliknya oleh lembaga swasta tersebut. Apalagi, dalam data kependudukan yang dikumpulkan oleh Ditjen Dukcapil, terkandung data yang bersifat sensitif, seperti data biometrik, mulai dari sidik jari hingga retina mata. ”Data seperti itu harus benar-benar dilindungi oleh pemerintah,” ucapnya.
Wahyudi mengatakan, Indonesia harus berkaca dari pengalaman negara lain yang sudah memberikan perlindungan data diri warga negaranya.