Mari ”Berbagi Tumpangan” untuk Kurangi Kemacetan
SINGAPURA, KOMPAS — Semua orang yang bepergian dengan mengendarai mobil pribadi di dan ke Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta atau juga kota besar lain di Indonesia pasti mengalami semua fakta berikut ini.
Di banyak ruas jalan, kendaraan roda dua atau sepeda motor sulit bergerak dan lebih parah lagi biasanya dialami pengguna kendaraan roda empat atau mobil. Jalan penuh sesak. Anda pasti pernah terkunci dalam rantai kemacetan total.
Ketika tiba di tempat tujuan pun, Anda masih menghadapi persoalan lain, yakni sering dengan susah payah mencari area parkir. Slot parkir sudah terisi penuh, tidak ada ruang kosong lagi untuk Anda memarkirkan kendaraan.
Kita semua pasti pernah terkunci dalam rantai kemacetan total di Jakarta.
Lalu, apa? Anda harus berkeliling beberapa kali di sekitar area parkir tersebut karena Anda sedang berspekulasi bahwa jika ada kendaraan lain yang akan keluar, Anda akan segera mengisi slot itu.
Jika tidak ada, suka atau tidak, Anda harus keluar dari kawasan tersebut dengan terpaksa harus membayar biaya masuk sekitar Rp 5.000 per jam meski Anda tidak sempat memarkirkan kendaraan.
Memilih parkir di tepi jalan umum, bisa saja! Namun, tetap ada risiko. Mobil Anda bisa saja diderek atau digembosi petugas dinas perhubungan atau mungkin juga petugas berwenang lainnya karena Anda memarkirkan kendaraan di tempat yang dilarang.
Jika masih ngotot mau parkir tak jauh dari tempat awal—karena mungkin akan mengikuti acara keagamaan, pernikahan, rapat, atau acara lain di sana—Anda harus menemui petugas penyelenggara parkir valet (valet parking).
Pada akhir acara, mau tidak mau, Anda harus membayar biaya pakir valet minimal Rp 50.000 plus biaya parkir reguler minimal Rp 5.000 per jam di sana.
Di beberapa kawasan permukiman di sekitar Jakarta, kemacetan akibat arus lalu lintas sudah mengular hingga ke jalan-jalan di dalam kompleks perumahan.
Keluar dari rumah lebih awal dan pulang larut dari tempat kerja bisa saja jalanan sudah sepi. Namun, kesehatan mungkin bakal terganggu karena waktu Anda untuk beristirahat semakin berkurang.
Survei Uber
Hasil survei Uber, sebuah perusahaan penyedia jasa ”berbagi tumpangan”, mengungkapkan beberapa fakta kerepotan utama pengguna kendaraan roda empat di Jakarta. Fakta-fakta itu antara lain kemacetan, kesulitan mendapat tempat parkir, dan tarif parkir mahal.
Dalam sebuah acara di Singapura, awal November, Chief Business Officer Uber Asia Pasifik (APAC) Brooks Entwistle menunjukkan kondisi kemacetan di kota-kota besar di kawasan APAC yang dijejali kendaraan, termasuk di ibu kota Jakarta.
Kota Jakarta hingga saat ini diperkirakan memiliki kendaraan paling banyak dibandingkan dengan kota-kota lain di kawasan tersebut, sekitar 22,3 juta kendaraan, baik roda empat maupun roda dua.
Oleh karena itu, dalam beberapa tahun mendatang, akan sangat mungkin terjadi bahwa begitu melangkah keluar rumah, Anda akan langsung terkunci oleh kemacetan dan membutuhkan waktu lama untuk tiba di tempat tujuan.
Dalam beberapa tahun mendatang, akan sangat mungkin terjadi bahwa begitu melangkah keluar rumah, Anda akan langsung terkunci oleh kemacetan.
Menurut survei Uber Indonesia, sebanyak 84 persen pengguna mobil di Jakarta terjebak kemacetan, 60 persen responden kesulitan mendapatkan tempat parkir, dan 45 persen responden menyebut biaya parkir yang sangat tinggi.
Mayoritas pengguna mobil menghabiskan waktu rata-rata 21 menit per hari untuk mencari tempat parkir di Jakarta. Bahkan, 28 persen lainnya menghabiskan lebih dari 30 menit per hari.
Dengan begitu, dalam setahun, warga Jakarta menghabiskan 584 jam atau 24 hari dalam kemacetan dan kesulitan mencari tempat parkir. Alangkah baiknya waktu tersebut digunakan untuk berlibur dan berkumpul bersama keluarga.
Momen penting terlewati
Dampak kemacetan dan kesulitan mencari tempat parkir menghela kerugian lain. Sebagian besar pengguna mobil (78 persen) mengatakan sangat terlambat menghadiri momen-momen penting, seperti pernikahan, keagamaan, kontrol kesehatan ke dokter, wawancara kerja, rapat-rapat penting di kantor, kedukaan, atau berbagai kegiatan sosial.
Sedih, frustrasi, atau marah mungkin bakal menyelimuti Anda ketika tiba di tempat tujuan, ternyata acara pernikahan, keagamaan, atau kegiatan sosial lain yang hendak dihadiri sudah bubar.
Semua persoalan itu menjadikan warga Ibu Kota dan sekitarnya merugi secara ekonomi, tenaga, dan waktu. Dampak lanjutannya ialah kesehatan fisik dan mental psikis terganggu akibat stres.
Persoalan kemacetan dan biaya parkir mahal membuat warga ibu kota Jakarta merugi secara ekonomi, tenaga, dan waktu.
Itulah keseharian Ibu Kota atau kota besar lain. Jika kemacetan selalu mengunci Anda di semua ruas jalan, sudah saatnya untuk berpikir, bagaimana seharusnya keluar dari persoalan besar itu?
Bagaimana Anda bisa bertransportasi dengan aman, nyaman, efisien, dan murah terjangkau?
Kita semua tentu saja ingin membebaskan diri dari kemacetan lalu lintas yang mendera dan keluar dari sejumlah keruwetan, termasuk mahalnya biaya transportasi dan parkir.
Pilihan terbaik untuk bertransportasi di Ibu Kota dan kota-kota satelit di sekitarnya sebenarnya adalah menggunakan angkutan umum massal, baik berbasis rel maupun bus. Namun, ketersediaannya terbatas dan masih banyak pusat permukiman yang tidak tersentuh layanan angkutan umum massal ini. Kalaupun terjangkau, armadanya sangat terbatas.
Solusi Kemacetan Yos Sudarso Dibahas
Itu sebabnya Uber—seirama dengan kampanye yang sedang digencarkan, Unlocking Cities Together—dalam pertemuan di Singapura, pekan lalu, memberikan sebuah solusi inovatif.
Solusi inovatif
Menurut Brooks, Uber, sebagai pelopor penyedia jasa transportasi daring (online) sejak 2010, menawarkan ”berbagi tumpangan” (ridesharing). Gagasan atau solusi inovatif ini muncul setelah tujuh tahun Uber eksis dan telah melayani lebih dari 5 miliar perjalanan.
Ternyata Uber mulai menghadapi tantangan yang lebih besar, yakni kemacetan yang membelenggu. Uber pun berpikir untuk mengurangi kemacetan dan polusi di kota-kota besar dengan mengajak semakin banyak orang untuk berbagi tumpangan.
Saat ini ada sekitar 22,3 juta kendaraan di Jakarta, atau tampaknya lebih banyak dari jumlah populasi ibu kota Jakarta. Kota tidak didesain untuk menampung kendaraan sebanyak itu.
Menurut hasil studi yang dirilis Uber, sebenarnya kita hanya membutuhkan 25 persen dari jumlah kendaraan tersebut untuk melayani Jakarta setiap hari.
Dian Safitri, Head of Communication Uber Indonesia, dalam percakapan secara terpisah di Jakarta, mengatakan, kemacetan hanya mungkin diatasi dengan memulai kultur baru dalam bertransportasi, yakni ”berbagi tumpangan” dengan menggunakan sumber daya atau mobil kita secara lebih efektif.
Layanan ”berbagi tumpangan” yang dipromosikan penyedia transportasi daring, termasuk Uber sebagai pelopornya, dapat menggantikan kepemilikan kendaraan.
Kaum milenial sudah mulai menyadari, memiliki mobil sendiri sudah tidak diperlukan lagi.
Kaum milenial sudah mulai menyadari, memiliki mobil sendiri sudah tidak diperlukan lagi. Mereka adalah bagian dari sekitar 53 persen warga yang yakin bahwa berbagi tumpangan dalam bertransportasi dapat mengurai kemacetan karena penggunaan mobil pribadi di jalan akan berkurang.
Mobilitas andal
Model bisnis dan sistem transportasi berbagi tumpangan pertama kali hadir di Indonesia pada 2014 oleh Uber. Menurut Dian, Uber menghadirkan pilihan mobilitas yang andal, nyaman, dan terjangkau bagi penumpang.
Di samping itu, lanjut Dian, Uber juga menciptakan kesempatan ekonomi yang fleksibel bagi mitra-pengemudi.
Menurut Dian, kadang-kadang kita menggunakan mobil tidak secara efisien. Separuh lebih mobil pribadi yang lalu lalang di jalanan hanya dipakai oleh satu orang, pengemudi atau pengendara.
Jika ada 10 orang datang dari arah yang sama dan bertujuan ke arah yang sama pula, dengan bergabung dalam satu mobil yang menggunakan layanan ”berbagi tumpang”, telah berkurang sembilan mobil di jalan.
Uber dan aplikasi ”ridesharing” lainnya berkembang pesat karena kehadiran mereka melengkapi transportasi publik yang ada dan mengubah kehidupan warga menjadi lebih baik.
Jika itu terjadi di berbagai sudut kota Jakarta atau dari pinggiran kota, bukankah sudah ada puluhan dan bahkan mungkin ratusan kendaraan akan berkurang di jalan?
Pihak Uber mengklaim, penumpang bisa menghemat 65 persen biaya dan 38 persen waktu perjalanan jika menggunakan aplikasi transportasi daring ini dibandingkan saat menggunakan kendaraan pribadi.
Uber dan aplikasi ridesharing lainnya berkembang pesat karena kehadiran mereka melengkapi transportasi publik yang ada dan mengubah kehidupan warga menjadi lebih baik.
Itu bisa dimulai demi meningkatkan kesejahteraan, mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, menghubungkan warga, mengurangi kemacetan di jalan, serta menunjang sektor-sektor lain.
Brooks menyebutkan, Indonesia adalah negara yang dikenal terbuka dengan tren ekonomi global, teknologi baru, dan mendorong ekonomi kerakyatan. Kiranya dengan aturan-aturan yang dibuat pemerintah, negara-negara di Asia Pasifik bisa mengambil manfaat penuh dari model bisnis dan inovasi ridesharing.
Vincent Chin dari Boston Consulting Group menambahkan, penerapan inovasi berbagi tumpangan ini dapat digunakan sebagai pelengkap atau pendukung layanan angkutan umum, mengurai kemacetan, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, dan secara ekonomi akan menghemat biaya.