Paradise Papers dan Surga Korupsi di Indonesia
April 2016, dunia dikejutkan dengan munculnya skandal Panama Papers, yakni jutaan dokumen milik firma hukum Mossack Fonseca yang bocor ke publik.
Dokumen tersebut mengungkapkan aset dan kekayaan milik pribadi ataupun perusahaan yang disembunyikan dalam yurisdiksi bebas pajak (tax haven countries), seperti Panama, Kepulauan Virgin Britania Raya, dan Kepulauan Cayman.
Sejumlah tokoh ternama dunia masuk dalam daftar Panama Papers. Mereka diduga berupaya menyembunyikan hartanya dengan cara menyimpannya di bank-bank di negara tax haven yang sangat rahasia atau berinvestasi dengan mendirikan perusahaan cangkang (special purpose vehicle/SPV).
Skandal Panama Papers juga mengejutkan Indonesia karena sejumlah pejabat dan pebisnis Indonesia masuk dalam daftar tersebut.
Selang 1,5 tahun kemudian, tepatnya November 2017, muncul skandal serupa yang kali ini dinamakan Paradise Papers atau Dokumen Surga.
Paradise Papers yang bocor itu terdiri dari sekitar 13,4 juta dokumen mengenai daftar pribadi dan perusahaan yang menyembunyikan hartanya di negara surga pajak, antara lain Bermuda, Bahama, dan Kepulauan Cayman.
Seperti halnya Panama Papers, dalam daftar ”Paradise Papers” juga terdapat sejumlah tokoh dunia. Bahkan, Ratu Elizabeth disebut menyimpan kekayaannya sebesar 10 juta pounds atau sekitar Rp 170 miliar di negara surga pajak.
Pebalap jet darat asal Inggris yang baru saja menjadi juara dunia FI 2017, Lewis Hamilton, juga tercatat namanya dalam Paradise Papers.
Nama sejumlah tokoh dan pejabat Indonesia pun lagi-lagi masuk dalam daftar dokumen tersebut.
Puncak gunung es
Panama Papers dan Paradise Papers merupakan fenomena gunung es dari maraknya praktik curang yang terjadi di dunia.
Mereka yang menyimpan kekayaannya atau mendirikan perusahaan cangkang di negara-negara tax haven kemungkinan besar terindikasi dengan praktik penggelapan pajak, pencucian uang, dan korupsi.
Orang yang menyimpan dananya di negara tax haven tidak wajib menjelaskan asal-usul hartanya. Atas nama kerahasiaan perbankan, bank-bank di negara surga pajak juga akan menutup pintunya rapat-rapat jika ditanya soal data-data nasabahnya, bahkan untuk kasus hukum sekalipun.
Mereka yang mendirikan perusahaan cangkang atau SPV di negara-negara tax haven juga bisa menyembunyikan siapa pemilik saham perusahaan sesungguhnya. Dengan demikian, kekayaan sang pemilik sulit dideteksi otoritas pajak di negara asalnya.
Bagi warga negara yang taat pajak atau mendapatkan harta dengan cara yang wajar atau berbisnis dengan tata kelola yang baik tentu tak akan mau menyimpan kekayaannya di negara-negara tax haven meskipun pajaknya jauh lebih kecil dibandingkan di negara asalnya.
Sebab, negara-negara tax haven umumnya tidak menerapkan good corporate governance dalam segala aspek. Artinya, negara-negara tax haven sebenarnya memiliki risiko tinggi.
Bagi Indonesia, terungkapnya praktik curang yang dilakukan WNI di negara-negara surga pajak jelas hanya bagian kecil dari praktik penggelapan pajak, korupsi, dan pencucian uang yang begitu marak terjadi di Tanah Air.
Di negeri ini, setiap tahun, ratusan triliun rupiah hasil korupsi dan penggelapan pajak berupaya untuk disembunyikan, disamarkan, dan dicuci.
Mari kita lihat sejumlah fakta dan data yang menunjukkan begitu massifnya praktik korupsi, penggelapan pajak, dan pencucian uang di Indonesia.
- Dana haram atau ilegal (”illicit money”)
Berdasarkan laporan Global Financial Integrity yang dirilis pada 2017 disebutkan, dalam kurun 2005-2014, dana ilegal yang keluar dari Indonesia mencapai 182,25 miliar dollar AS atau setara Rp 2.230 triliun.
Dalam kurun 2004-2013, Indonesia merupakan negara terbesar kesembilan di dunia yang mengalirkan dana ilegal ke luar negeri. Indonesia hanya kalah dari China, Rusia, Meksiko, Malaysia, India, Brasil, Afrika Selatan, dan Thailand.
- Indeks persepsi korupsi
Laporan Corruption Perception Index (CPI) 2016 yang dirilis Transparency International menempatkan Indonesia di posisi 90 dari 176 negara dengan skor 37 dari skala 100.
Meskipun skor CPI Indonesia 2016 membaik dibandingkan 2015 yang sebesar 36, tetapi peringkat Indonesia turun dari sebelumnya berada di posisi 88. Artinya, sejumlah negara lebih agresif dalam memberantas korupsi dibandingkan Indonesia.
Skor Indonesia juga masih di bawah rata-rata dunia yang sebesar 43, bahkan di bawah skor rata-rata negara ASEAN yang sebesar 39.
Kondisi tersebut menunjukkan tingkat korupsi di Indonesia relatif lebih besar dibandingkan negara-negara lain pada umumnya.
Sumber: Transparency International
- Potensi korupsi, penggelapan pajak, dan pencucian uang
Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan transaksi keuangan tunai di atas Rp 500 juta yang dilaporkan ke PPATK selama 11 tahun terakhir, total nilainya mencapai Rp 2 juta triliun oleh korporasi dan Rp 92.000 triliun oleh perorangan.
Transaksi itu dilakukan oleh 163.603 perusahaan dan 599.940 orang.
Transaksi tunai dalam jumlah besar, di atas Rp 500 juta, merupakan hal yang tidak lazim, kecuali pelakunya memang memiliki motif tertentu seperti ingin mengaburkan asal usul uang.
Transaksi tunai dalam jumlah besar selalu mengindikasikan 3 hal yakni praktik suap, gratifikasi, dan pemerasan.
Data PPATK juga menyebutkan, tahun 2014, nilai transaksi tunai di atas Rp 500 juta yang langsung melalui rekening penyelenggara negara mencapai Rp 1.792 triliun, sementara yang melalui perusahaan sebesar Rp 2.859 triliun.
Banyak oknum kepala daerah dan pejabat yang menggunakan konsultan profesional, biro hukum, akuntan publik, notaris, korporasi atau vehicle lainnya untuk mengaburkan harta kekayaannya.
Profesi-profesi itu rawan disalahgunakan karena memiliki hak merahasiakan informasi kliennya sehingga dapat berkelit dari berbagai aturan pengungkapan informasi.
Praktik itu serupa dengan yang dilakukan dalam skandal Panama Papers. Mossack Fonseca adalah firma hukum, bukan perusahaan investasi.
- Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM)
Data PPATK menunjukkan jumlah LTKM semakin meningkat setiap tahunnya.
Pada Juli 2017, jumlah LTKM mencapai 3.995 laporan, naik 53,7 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang sebanyak 2.600 laporan.
Transaksi dianggap mencurigakan jika nilainya tidak sesuai dengan profil pendapatan orang yang melakukan transaksi.
Misalnya, seseorang dengan gaji 15 juta per bulan, tetapi dalam sekali transaksi bisa mencapai Rp 100 juta.
Atau orang yang biasa digaji dalam bentuk rupiah tiba-tiba banyak melakukan transaksi dalam dollar AS.
Sumber: PPATK
- Kebocoran pajak
Ekonom senior Dradjad Wibowo mengungkapkan, kebocoran pajak bisa mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun, yang sebagian besar akibat korupsi.
Nilai kebocoran tersebut bisa dihitung dari potensi penerimaan pajak dibandingkan dengan realisasi pajak yang diterima negara setiap tahun.
Menurut Dradjad, jika mengacu pada negara-negara tetangga yang kondisi ekonominya setara dengan Indonesia, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand, negeri ini seharusnya bisa mencapai angka tax ratio atau penerimaan pajak terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) sebesar 20 persen.
Nyatanya, tax ratio Indonesia hanya sekitar 11 persen dalam dekade terakhir. Artinya, ada potensi penerimaan pajak yang tidak disetorkan kepada negara.
Sumber: Kementerian Keuangan
- Kebocoran anggaran belanja negara
Incremental capital output ratio (ICOR) adalah angka yang menunjukkan besarnya penambahan investasi untuk menghasilkan tambahan hasil.
Rasio ini digunakan untuk menghitung seberapa efisien pembangunan ekonomi di suatu negara. Jika angka ICOR tinggi, pembangunan pun tidak efisien; salah satunya akibat kebocoran anggaran.
Rata-rata negara yang selevel dengan Indonesia memiliki angka ICOR 4, yang berarti dibutuhkan 4 unit modal untuk menghasilkan 1 unit hasil. Dengan demikian, ICOR Indonesia seharusnya juga 4.
Namun, Indonesia memiliki angka ICOR sebesar 5,3. Selisih angka 5,3 dan 4 menunjukkan adanya kebocoran anggaran pembangunan, kurang lebih sekitar 30 persen.
Jadi, dari alokasi anggaran untuk proyek-proyek pembangunan yang tercatat dalam APBN, sebenarnya hanya 70 persen yang dipakai. Adapun yang 30 persen hilang atau bocor.
- Uang yang diselamatkan minim
Dalam penelitiannya berjudul Do Corruption Pay? If So whom Benefited the Most yang dimuat dalam laman Social Science Research Network, akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM Rimawan Pradiptyo membandingkan antara nilai korupsi dari kasus-kasus yang telah diputus Mahkamah Agung dan hukuman finansialnya berupa denda serta uang pengganti.
Ia menyebutkan, nilai kerugian negara dari 1.365 kasus korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah sepanjang 2001-2012 mencapai Rp 168,19 triliun.
Namun, uang yang berpotensi kembali ke negara hanya Rp 15,09 triliun atau hanya 8,97 persen.
Menurut Rimawan, jika nilai korupsi sebesar Rp 168,19 triliun hukuman finansialnya hanya Rp 15,09 triliun, maka ada Rp 153,1 triliun yang sudah pasti tidak dikembalikan oleh para koruptor.
Dengan kata lain, para pembayar pajak di Indonesia telah menyubsidi para koruptor.
- Banyak dana WNI di luar negeri belum dilaporkan
Program Tax Amnesty atau pengampunan pajak yang digelar pemerintah sepanjang kurun Juli 2016-Maret 2017 mengungkap fakta bahwa masih banyak harta warga negara Indonesia (WNI) yang tersembunyi di luar negeri.
Hingga program Tax Amnesty berakhir, harta WNI di luar negeri yang hanya dideklarasi sebesar Rp 1.032 triliun, sementara yang dideklarasi sekaligus direpatriasi senilai Rp 147 triliun. Jika ditotal, harta di luar negeri yang dilaporkan sebesar Rp 1.179 triliun.
Pencapaian repatriasi sebesar Rp 147 triliun berada jauh di bawah target pemerintah yang sebesar Rp 1.000 triliun.
Tak hanya target repatriasi tidak tercapai, harta di luar negeri yang dideklarasikan pun jauh di bawah potensinya.
Pemerintah pernah mengungkapkan, harta WNI yang disimpan di luar negeri mencapai 250 miliar dollar AS atau sekitar Rp 3.250 triliun (kurs Rp 13.000 per dollar AS). Sebagian besar harta tersebut belum dilaporkan kepada otoritas pajak.
Dengan membandingkan harta WNI yang disimpan di luar negeri dan harta yang dideklarasikan, berarti ada sekitar Rp 2.000 triliun lebih yang belum dilaporkan. Di mana sebagian besar aset yang tidak dilaporkan itu berada?
Pemerintah menyebutkan, dari Rp 3.250 triliun aset WNI di luar negeri, sebanyak 200 miliar dollar AS atau Rp 2.600 triliun ada di Singapura.
Adapun total harta WNI di Singapura yang dilaporkan hanya sekitar Rp 798,6 triliun. Ini berarti masih banyak harta WNI di Singapura yang belum dilaporkan kepada otoritas pajak Indonesia.
Skandal megatransfer Rp 19 triliun
Direktorat Jenderal Pajak dan PPATK mendeteksi adanya mega transfer Rp 19 triliun yang dilakukan 81 WNI melalui bank Standard Chartered Plc (Stanchart).
Kasus transfer dana dari Guernsey, Inggris, ke Singapura ini diduga untuk menghindari pajak dan diketahui belum diikutkan dalam program Tax Amnesty. Kasus ini sedang ditangani otoritas pajak di Eropa dan Asia.
- Kasus korupsi cenderung meningkat
Jumlah perkara korupsi yang ditangani aparat penegak hukum sepanjang 2016 mencapai 482 kasus dengan 1.101 orang tersangka. Nilai kerugian negara mencapai Rp 1,45 triliun dengan nilai suap mencapai Rp 31 miliar.
Khusus untuk KPK, sepanjang 2016, telah menyidik perkara korupsi sebanyak 99 perkara, lebih banyak dibandingkan tahun 2015 yang sejumlah 57 kasus.
Sumber: KPK
- Indonesia dianggap surga pencucian uang
Indonesia masih menjadi surga bagi tindak pidana pencucian uang.
Berdasarkan Anti-Money Laundering Basel Index 2016 yang dirilis Basel Institute on Governance, Indonesia menduduki peringkat ke-61 dari 152 negara dengan skor 6,32 pada skala 0-10 (risiko TPPU rendah-risiko tinggi).
Negara dengan risiko tindak pidana pencucian uang (TPPU) tertinggi adalah Iran, yang memiliki skor 8,6, sementara negara yang paling bersih dari TPPU adalah Finladia dengan skor 3,04.
Pertukaran keuangan otomatis
Bocornya dokumen Panama Papers dan Paradise Papers kemungkinan bukan yang terakhir. Bisa jadi setelah ini akan ada dokumen-dokumen lain yang bocor.
Pasalnya, dunia kini tengah gencar memerangi praktik pencucian uang dan penggelapan pajak. Dunia kini sepakat mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (autimatic exchange of financial account information/AEoI) antarnegara.
AEoI merupakan aturan yang digagas negara-negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD).
Dengan aturan ini, tiap-tiap negara wajib memberikan segala informasi, terutama yang terkait keuangan milik WNA kepada negara asalnya.
Aturan ini bertujuan untuk mempersempit ruang gerak wajib pajak di masing-masing negara untuk menggelapkan atau menghindari pajak dengan cara melarikan asetnya ke luar negeri.
Maklum, dengan sistem keuangan global yang tanpa batas saat ini, orang bisa dengan mudah untuk memindahkan dan menyembunyikan asetnya di sana-sini tanpa bisa dideteksi pemerintahnya sendiri.
Indonesia tentu saja menjadi salah satu yang paling diuntungkan dengan aturan tersebut. Sebab, ada aset senilai ribuan triliunan rupiah yang disembunyikan WNI di luar negeri tanpa Ditjen Pajak bisa melacaknya.
Jika aset-aset itu bisa terlacak, tentu pemerintah bisa menagih pajaknya sehingga penerimaan negara akan melonjak drastis.
Sebagai payung hukum di dalam negeri, pemerintah dan DPR menerbitkan UU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan praktik korupsi dan pencucian uang yang amat marak di Indonesia bisa berkurang. Semoga!