Kuasa hukum Ketua DPR Setya Novanto kembali menyiapkan langkah praperadilan jika kliennya ditetapkan sebagai tersangka lagi oleh KPK.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kuasa hukum Ketua DPR Setya Novanto kembali menyiapkan langkah praperadilan jika politikus Partai Golkar itu ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Langkah ini diambil menyikapi beredarnya secara luas di publik tentang dokumen surat pemberitahuan dimulainya penyidikan yang di dalamnya menyebutkan Setya Novanto sebagai tersangka.
Kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi, Selasa (7/11), di Jakarta, menuturkan, apabila betul surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) itu dikeluarkan KPK, pihaknya akan menyiapkan langkah hukum selanjutnya berupa upaya praperadilan. Selain itu, gugatan pidana lain juga akan disampaikan kepada KPK sebab pihak Novanto merasa SPDP itu telah dibocorkan.
”Kalau benar SPDP itu dikeluarkan KPK, ini adalah pelanggaran pidana. Sebab, seharusnya ini, kan, sifatnya rahasia dan semestinya tidak bocor ke publik. Kalau KPK mengonfirmasi kebenaran SPDP itu, kami akan menyiapkan langkah hukum selanjutnya, yakni gugatan pidana dengan mencari tahu siapa saja yang menyebarkan surat itu, bahkan hingga ke kalangan wartawan atau media, untuk mencari tahu dari mana asal penyebaran SPDP itu,” tutur Fredrich.
Hingga saat ini, pihak Novanto belum menerima SPDP sebagaimana beredar di publik saat ini. Di dalam SPDP yang beredar itu disebutkan nama dan jabatan Setya Novanto sebagai Ketua DPR yang berstatus tersangka. Salah satu dasar dikeluarkannya SPDP itu ialah surat perintah penyidikan (Sprindik) yang dikeluarkan KPK pada 31 Oktober 2017. Sprindik itu bernomor 113/01/10/2017.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah hingga siang ini belum mengonfirmasi kebenaran SPDP yang beredar tersebut. Ia memastikan penelusuran kasus dugaan korupsi KTP elektronik tidak akan berhenti dan pihak-pihak terkait terus didalami. Namun, khusus menyangkut SPDP yang beredar di publik, Febri belum bisa mengonfirmasi kebenarannya.
”Kami baru memastikan proses penyidikan kasus ini masih berlangsung dan pihak-pihak terkait didalami,” ujarnya.
Fredrich mengatakan, karena KPK belum mengonfirmasi kebenaran SPDP itu, pihaknya mengklaim surat itu hanyalah hoaks atau berita bohong. ”Itu hoaks. Buktinya KPK belum mengonfirmasi kebenarannya. Kalaupun itu kemudian dibenarkan KPK, kami akan melakukan upaya hukum lanjutan,” katanya.
Selasa pagi, KPK juga memeriksa sejumlah orang terkait kasus KTP-el yang diduga melibatkan Novanto, yakni Haeruman Harahap, Teguh Juwarno, Rudi Alfonso, dan Agun Gunanjar. Keempat nama itu tidak terdapat di dalam daftar pemeriksaan KPK untuk Selasa ini.
Yang bisa kami konfirmasi ialah saksi-saksi yang diperiksa hari ini masih untuk pendalaman penyidikan baru KTP-el.
Saat dikonfirmasi, Febri menyatakan hal itu untuk keperluan pemeriksaan bagi penyidikan baru KTP-el. ”Untuk saksi-saksi yang diperiksa hari ini, yang bisa kami konfirmasi ialah masih untuk pendalaman penyidikan baru KTP-el,” katanya.
Namun, Febri enggan merespons tentang ”penyidikan baru” yang dimaksud.
Penyidikan baru
Ahli pidana dari Universitas Indonesia (UI) Akhiar Salmi mengatakan, SPDP berarti surat pemberitahuan dimulainya penyidikan yang dikirimkan oleh penyidik kepada penuntut umum atau jaksa. SPDP itu menandai dimulainya suatu penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dari kepolisian atau KPK.
”Umumnya memang tidak dinyatakan nama orang yang akan disidik dengan status ’tersangka’ sebab penyidikan baru dimulai sehingga harus ditemukan dua alat bukti permulaan yang mencukupi dalam proses penyidikan untuk menentukan apakah seseorang itu bisa dinyatakan sebagai tersangka atau tidak,” kata Akhiar.
Akan tetapi, Pasal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK memberikan kewenangan kepada penyelidik untuk menemukan dua bukti permulaan dalam tahapan penyelidikan. Dengan dua bukti permulaan di penyelidikan, ketika perkara dinaikkan ke penyidikan, seorang tersangka bisa ditetapkan.
Ketentuan tersebut biasa digunakan KPK yang menetapkan tersangka berbarengan atau di awal dimulainya penyidikan. Namun, ketentuan itu berbeda dengan yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP mengatur seorang tersangka baru bisa ditentukan apabila minimal dua alat bukti yang mencukupi ditemukan dalam proses penyidikan.
”Apa yang dilakukan KPK itu memang sesuai dengan UU KPK. Namun, itu berbeda praktiknya dengan yang diatur di KUHAP. Pertimbangan itu pula yang membuat hakim praperadilan memenangkan Novanto. Sebab, hakim Cepi Iskandar berpegangan pada KUHAP. Namun, harus dipahami bahwa UU KPK ini UU khusus yang memiliki keistimewaan dan beberapa di antaranya tidak sama dengan KUHAP,” kata Akhiar.
Bagi mereka yang berstatus tersangka, jika tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang patut, dapat dilakukan penangkapan sekaligus penahanan.
Pengajar Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, dengan asumsi SPDP itu benar, penyidikan terhadap Novanto sudah dimulai lagi. Karena itu, semua tindakan penyidikan yang sudah pro justitia bersifat memaksa yang jika tidak dipenuhi oleh saksi dapat dikenai Pasal 224 KUHP, dengan ancaman penjara 9 bulan.
”Sedangkan bagi mereka yang berstatus tersangka, jika tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang patut, dapat dilakukan penangkapan sekaligus penahanan,” katanya.
Fickar mengatakan, sebagai pejabat publik sudah sewajarnya Novanto untuk menenuhi panggilan penyidik. ”Manuver yang dilakukan selama ini sudah menjadi pengetahuan umum bahwa begitulah gambaran kualitas pejabat publik kita, memang sangat menyedihkan,” ujarnya.