JAKARTA, KOMPAS — Penetapan tersangka baru oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik tidak bisa menjadi alasan bagi institusi itu untuk dipidanakan dengan alasan tidak mematuhi perintah hakim. Jika penyidik sudah mengantongi minimal dua bukti permulaan yang cukup, tersangka baru bisa langsung ditetapkan.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho, Rabu (8/11), yang dihubungi dari Jakarta, mengatakan, upaya KPK yang menetapkan tersangka baru dalam dugaan korupsi KTP-el dilindungi undang-undang. Perbuatan penetapan tersangka baru itu pun tidak keluar dari aturan karena memang sudah menjadi tugas KPK sebagai penegak hukum.
Sebelumnya, KPK menyatakan sudah ada tersangka baru yang penyidikannya sedang berjalan dalam kasus KTP-el. Menyikapi beredarnya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) tertanggal 3 November lalu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi KTP-el sudah ada, tetapi mengenai nama tersangka dan uraian lebih lanjut mengenai pendalaman penyidikan itu akan disampaikan dalam konferensi pers (Kompas, 8/11).
Di dalam SPDP yang beredar di publik itu tercantum nama Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto sebagai tersangka. Salah satu hal yang menjadi dasar dikeluarkannya SPDP itu ialah Surat Perintah Penyidikan Nomor 113/01/10/2017.
”Secara umum berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, SPDP akan dikirimkan kepada tersangka maksimal tujuh hari setelah penyidikan dimulai,” kata Febri, Rabu, di Jakarta.
Penetapan tersangka baru dalam suatu perkara korupsi adalah bagian dari pelaksanaan tugas KPK yang diberikan oleh undang-undang.
Febri lebih lanjut mengatakan, penetapan tersangka baru dalam suatu perkara korupsi adalah bagian dari pelaksanaan tugas KPK yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam penanganan kasus KTP-el, KPK pun akan jalan terus sepanjang bukti-bukti yang tersedia mendukung hal tersebut.
”Penetapan tersangka dalam proses penyidikan adalah bagian dari pemahaman sifat kekhususan di UU KPK,” kata Febri.
Kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi, mengatakan, pihaknya akan melakukan praperadilan kembali apabila Novanto benar diumumkan menjadi tersangka lagi. Penetapan kembali Novanto sebagai tersangka merupakan bentuk pengabaian KPK terhadap putusan praperadilan yang telah diketok oleh Hakim Cepi Iskandar, September 2017. Pengabaian atas putusan hakim itu pun bisa dipidanakan.
”Kenapa sih KPK kok kelihatannya sangat ngeyel ingin menetapkan kembali Pak Novanto sebagai tersangka. Putusan praperadilan sudah jelas mengatakan bahwa secara formal status tersangka Pak Novanto itu batal. Kenapa sekarang ingin ditetapkan lagi sebagai tersangka. Ini sama saja KPK membuat surat baru dengan isi lama, sedangkan nomor suratnya hanya diperbarui. Perbuatan ini, kan, melawan hukum. Sebab, sprindik baru yang dikeluarkan KPK, kan, isinya nanti sama saja dengan yang dulu pernah dikeluarkan pada Pak Novanto yang sudah dibatalkan praperadilan,” kata Fredrich.
Kenapa sih KPK kok kelihatannya sangat ngeyel ingin menetapkan kembali Pak Novanto sebagai tersangka.
Fredrich menduga ada kepentingan politis di balik upaya KPK menetapkan Novanto sebagai tersangka lagi dalam kasus KTP-el. Pihaknya akan menyiapkan langkah hukum praperadilan apabila Novanto diumumkan lagi sebagai tersangka. Pihak Novanto juga mengaku belum menerima SPDP sebagaimana gambarnya yang telah luas beredar di publik.
”Pijakan hukum yang seharusnya digunakan oleh KPK adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebab itu satu-satunya hukum acara atau hukum formil yang dipakai di dalam sistem hukum kita. KPK tidak bisa hanya menggunakan UU KPK sebab satu-satunya hukum acara pidana kita ya KUHAP,” kata Fredrich.
Fredrich menegaskan kliennya itu tidak akan memenuhi panggilan KPK selama tidak ada izin dari Presiden. Sesuai dengan putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014 tertanggal 22 September 2015 atas uji materi UU No 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3), menurut Fredrich, pemanggilan Novanto sebagai anggota DPR harus seizin DPR.
”Untuk memanggil anggota DPR harus seizin Presiden. Itu sudah diputuskan oleh MK. Untuk membaca putusan itu pun harus holistik sebab MK menyebutkan semua Pasal 245 yang diujimaterikan itu inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai harus seizin presiden,” katanya.
Menurut Fredrich, jika KPK memang ingin memeriksa Novanto, sebaiknya bersurat kepada Presiden Joko Widodo. ”Apa susahnya bersurat, kan Presiden Jokowi juga tidak akan menghalang-halangi?” ujarnya.
Menjalankan tugas
Hibnu mengatakan, terkait dengan putusan MK itu, isi putusannya mengecualikan izin presiden untuk kejahatan yang extraordinary atau luar biasa, termasuk korupsi. Jadi, pemahaman bahwa pemanggilan Novanto harus sesuai izin Presiden itu tidak benar.
”Di dalam menjalankan tugasnya, KPK juga tidak bisa dipidanakan. Itu sudah merupakan tugasnya yang ditentukan di dalam UU KPK,” kata Hibnu.
Praperadilan yang dimenangi kubu Novanto, September lalu, menurut Hibnu, tidak menutup potensi bagi KPK untuk menetapkan kembali Novanto sebagai tersangka andaikata ada bukti-bukti yang mendukung. Di samping itu, terdapat putusan MK Nomor 42/PUU-XV/2017 yang menyatakan penyidik penegak hukum bisa menggunakan alat bukti yang telah dipakai pada perkara sebelumnya untuk menjerat tersangka kembali.
Dalam praperadilan tidak menganut nebis in idem, artinya mau beberapa kali diajukan sebagai tersangka tidak masalah sepanjang KPK memiliki bukti permulaan.
”Putusan MK itu malah menguatkan bahwa bukti-bukti yang sudah ada dapat dipakai kembali dengan syarat bukti-bukti tersebut untuk tersangka Setya Novanto. Kan kasus Setya Novanto tidak berdiri sendiri. Kasus itu terkait dengan banyak tersangka dan malah sudah ada yang diputus di pengadilan,” katanya.
Upaya memidanakan KPK karena menetapkan Novanto kembali sebagai tersangka pun dianggap tidak beralasan. ”Dalam praperadilan tidak menganut nebis in idem, artinya mau beberapa kali diajukan sebagai tersangka tidak masalah sepanjang KPK memiliki bukti permulaan sehingga wajib hukumnya untuk melanjutkan kembali,” ujar Hibnu.
Sebelumnya juga pernah ada yurisprudensi ketika KPK kembali menetapkan tersangka mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dari yang mulanya praperadilan dimenangi oleh Ilham, tetapi dalam praperadilan kedua dimenangi oleh KPK. Ilhm akhirnya divonis bersalah dengan hukuman 4 tahun penjara tahun 2016.