Membedah Kesemrawutan Tanah Abang
JAKARTA, KOMPAS — Polemik kesemrawutan daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat, belum dapat diselesaikan pemerintah. Okupasi trotoar oleh pedagang kaki lima serta menumpuknya kendaraan umum di pinggir jalan menjadi penyebab kesemrawutan tersebut.
Pintu keluar Stasiun Tanah Abang menjadi titik terparah kesemrawutan di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Berdasarkan pantauan Kompas sampai Rabu (8/11), trotoar sepanjang lebih kurang 500 meter tampak diokupasi oleh pedagang kaki lima (PKL). Hal tersebut mengakibatkan penumpukan pejalan kaki yang turun dari Stasiun Tanah Abang dan menuju ke arah Blok G dan Blok F Tanah Abang.
Pejalan kaki harus berjibaku di trotoar selebar 5 meter dan berdesakan dengan PKL. Imbasnya, pejalan kaki jadi sulit menyeberang jalan dan mengakibatkan kemacetan. Ada beberapa bagian trotoar yang lowong, sekitar 300 meter sebelum sampai di Blok G. Namun, pejalan kaki harus kembali berjibaku melintas di trotoar seberang Blok G hingga ke Blok F Tanah Abang. Kesemrawutan diperparah karena ojek, bajaj, dan mikrolet ngetem di pinggir jalan.
Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menuding tumpah ruahnya pejalan kaki dari stasiun Tanah Abang menjadi salah satu penyebab kesemrawutan tersebut. Selain itu, juga pembangunan jalan serta banyaknya angkutan umum yang ngetem di Tanah Abang.
Kepala Satpol PP Kecamatan Tanah Abang Aries Cahyadi kurang sepakat dengan pernyataan dari Sandiaga. Menurut dia, penumpukan pejalan kaki disebabkan oleh banyaknya PKL di trotoar Tanah Abang.
”Kami kesulitan untuk menertibkan PKL di sini karena setelah ditertibkan, mereka kembali lagi ke trotoar. Para pedagang masih belum ada kesadaran untuk pindah dari trotoar,” kata Aries saat ditemui Kompas di Jalan Jatibaru, Kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa.
Kami kesulitan untuk menertibkan PKL di sini karena setelah ditertibkan, mereka kembali lagi ke trotoar. Para pedagang masih belum ada kesadaran untuk pindah dari trotoar.
Aries mengatakan, mengenai tata tertib penggunaan trotoar sudah tercantum dalam Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 99 Tahun 2017 tentang Bulan Tertib Trotoar dan Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, trotoar adalah hak pejalan kaki. Para pedagang kaki lima telah melanggar undang-undang tersebut karena membuat trotoar menjadi semakin sempit dan menyulitkan arus pejalan kaki.
”Menurut saya, yang terpenting bukanlah penertibannya, tetapi setelah ditertibkan para PKL tersebut mau ditempatkan ke mana. Dulu sempat ditempatkan di Blok G, tetapi masih belum efektif,” kata Aries.
Aries mengatakan, salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah dengan membuat pagar pembatas di pinggir trotoar untuk mengurangi hilir mudiknya PKL. Menurut dia, pagar pembatas itu sudah diterapkan di beberapa stasiun, seperti di Jatinegara dan Gondangdia.
”Pagar itu cukup efektif karena pedagang tidak bisa hilir mudik dan \'kucing-kucingan\' lagi dengan petugas. Pengawasannya pun bisa lebih mudah jika trotoar ini sudah dipagari,” kata Aries.
Menanggapi masih adanya PKL di Tanah Abang, Aries menjelaskan, belum ada instruksi lagi dari pemerintah untuk melakukan penertiban PKL. Saat ini, Satpol PP baru sebatas melakukan sosialisasi ke PKL agar tidak berjualan di trotoar.
”Belum ada instruksi lagi dari gubernur baru untuk melakukan penertiban PKL. Jika memang ada instruksi, pasti kami akan melakukan penertiban. Seperti bulan lalu, sekitar 150 pedagang sudah kami tertibkan,” kata Aries.
Belum ada instruksi lagi dari gubernur baru untuk melakukan penertiban PKL. Jika memang ada instruksi, pasti kami akan melakukan penertiban.
Menurut Aries, hukuman denda sekitar Rp 150.000 hingga Rp 500.000 kepada para pedagang yang barangnya disita belum memberikan efek jera. Aries juga tidak berani mengambil inisiatif menertibkan PKL karena hal tersebut berisiko menimbulkan bentrokan antara Satpol PP dan pedagang.
”Sejujurnya saya juga geregetan dengan para PKL yang ngeyel di sini. Personel kami dari kecamatan hanya sekitar 40 orang, sedangkan PKL di sini cukup banyak. Kami takut terjadi bentrokan,” kata Aries.
Berdasarkan data Satpol PP Kecamatan Tanah Abang dari Maret sampai Oktober 2017, Satuan Polisi Pamong Praja Kecamatan Tanah Abang telah menyita 2.005 barang dari para PKL yang masih membandel berjualan di trotoar Tanah Abang. Adapun barang-barang yang disita itu berupa gerobak, etalase, gantungan baju, kursi plastik, keranjang, lori minuman, dan lain sebagainya.
Azis Kusniadi (37), pegawai swasta yang kerap melintas di trotoar Tanah Abang, merasa terganggu dengan PKL tersebut. Menurut dia, PKL tersebut menghambat pergerakannya jika ia sedang terburu-buru berangakat ke kantor.
Eko Wardianto (22), pejalan kaki, sangat menyayangkan komentar dari Sandiaga Uno. Menurut dia, pejalan kaki yang melintas di trotoar tidak bisa disalahkan.
”Pedagang tersebut, kan, berjualan di trotoar. Secara tidak sadar, pejalan kaki jadi ingin berbelanja karena melihat pedagang tersebut. Ini menjadi salah satu penyebab menumpuknya pejalan di trotoar,” kata Eko.
Syafi (35), pedagang kaus kaki asal Padang, mengatakan kebingungan jika tidak berjualan di trotoar. ”Modal saya sedikit. Saya tidak bisa sewa toko. Orang buat hidup saja sudah pas-pasan,” kata Syafi, Selasa (7/11) siang. ”Ini satu-satunya keterampilan yang saya bisa. Saya mau dipindah asalkan dapat tempat gratis dan jelas ada pembeli yang masuk ke tempat itu.”
Dalam sehari, Syafi hanya memperoleh Rp 80.000. Sementara itu, ia memerlukan uang makan sekitar Rp 30.000 per hari dan Rp 500.000 sebagai uang sewa tempat tinggal per bulan. Jika Syafi bekerja 30 hari dalam sebulan, Syafi hanya mengantongi Rp 1 juta setelah dikurangi beban biaya. Ia mengaku keberatan jika masih harus ditarik uang sewa untuk kios yang besarnya Rp 200.000-Rp 300.000 per bulan.
Camat Tanah Abang Dedi Arif Darsono mengatakan, kemacetan yang terjadi di Tanah Abang, Jakarta Pusat, bukan hanya disebabkan oleh angkot dan pejalan kaki yang lalu lalang di sekitar stasiun. ”Di sana, kan, ada juga angkot yang ngetem, ada bajaj, dan ada ojek, baik pangkalan maupun online,” kata Dedi, saat ditemui Kompas, di Kantor Camat Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa.
Ia mengatakan, setiap hari sekitar 300.000 orang naik dan turun dari Stasiun Tanah Abang. Jumlah orang yang banyak itu sebagian besar keluar dari satu pintu di Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang. Hal itu turut mengakibatkan kemacetan karena para pengguna kereta langsung disambut oleh berbagai moda transportasi umum, dari angkot hingga ojek daring.
Selain itu, Dedi mengatakan, pemindahan PKL ke Blok G belum efektif. Untuk sementara ini, solusi yang sedang digodok pemerintah adalah membangun jembatan penyeberangan yang menghubungkan Stasiun Tanah Abang menuju Blok G. Hal itu mampu meminimalisasi munculnya para PKL yang menyambut orang yang turun langsung dari stasiun.
”Dalam rapat dengan gubernur dan wakil gubernur baru, rencana pembangunan sky bridge ini kembali dibahas. Namun, masih kami tunggu solusi terakhir nantinya dari pemerintah,” kata Dedi.
Pedagang kaki lima dari Blok G telah direlokasi sebanyak dua kali, yaitu pada 2005 dan 2013, tetapi dalam waktu kurang dari setahun mereka kembali turun ke trotoar. Alasannya adalah kurangnya jumlah pembeli yang datang ke tempat relokasi mereka. Dedi mengatakan, fasilitas Blok G itu tidak memadai dan kurang layak dijadikan tempat berdagang. Akibatnya, pedagang pun enggan berdagang di sana. (DD05/DD16)