Penjara dengan Pengamanan Maksimum Jadi Solusi
JAKARTA, KOMPAS — Kericuhan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Permisan, Nusakambangan, Jawa Tengah, kembali membuka mata publik akan darurat penanganan warga binaan di sejumlah LP di Tanah Air. Rentetan kerusuhan yang berujung pada kerusakan bangunan LP dan bahkan sampai menimbulkan korban jiwa menjadi catatan buram pemasyarakatan sepanjang 2016-2017.
Dari catatan Kompas, sepanjang tahun 2016-2017 telah terjadi empat kali kerusuhan LP skala besar dan menjadi perhatian publik, yakni di Jambi, Banjar Baru, Pekanbaru, dan Nusakambangan (Permisan). Kerusuhan di LP Sialang Bungkuk, Pekanbaru, bahkan mengakibatkan ratusan narapidana (napi) melarikan diri, Mei 2017. Di LP Jambi, kerusuhan antarnapi memicu pembakaran gedung LP, Maret 2017. Kedua peristiwa kerusuhan di LP itu dipicu oleh razia narkoba dan barang-barang terlarang yang dilakukan aparat.
Peristiwa kerusuhan terakhir tercatat terjadi di LP Permisan antara napi kelompok terorisme dan kelompok John Kei. Satu napi berinisial TB tewas dalam kerusuhan tersebut (Kompas, 7/11).
Kondisi LP yang melebihi kapasitas dan keterbatasan jumlah petugas mengakibatkan kerusuhan di LP rentan terjadi. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam beberapa kali kesempatan mengakui bahwa kondisi kapasitas LP yang tak sebanding dengan jumlah tahanan memicu napi stres dan mudah tersulut emosinya karena sedikit kesalahpahaman.
Peristiwa kerusuhan terakhir tercatat terjadi di LP Permisan, Nusakambangan, antara napi kelompol terorisme dan kelompok John Kei.
Peristiwa kerusuhan di LP Permisan, misalnya, dipicu oleh kesalahpahaman di antara dua kelompok napi, yakni antara napi terorisme dan napi umum kelompok John Kei.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Ade Kusmanto, Rabu (8/11), di Jakarta, mengatakan, pemicu utama kerusuhan itu masih didalami oleh pemerintah. Namun, secara umum, kejadian itu diduga karena kesalahpahaman di antara dua kelompok napi yang berbeda karakter dan tabiat.
”Mula-mula, kelompok napi teroris menyerang John Kei di kamarnya sekitar pukul 08.50. Lalu, timbullah keributan dan perkelahian antara napi kelompok John Kei dan napi kelompok terorisme. Petugas tidak mampu melerai karena jumlah kami yang terbatas. Baru tengah hari kericuhan itu bisa ditenangkan,” tutur Ade.
Pukul 14.00, kelompok John Kei yang tidak terima dengan pengeroyokan terhadap John akhirnya balas mendatangi kelompok teroris dan menyerang mereka.
Dalam laporan resmi yang diterima Ditjen Pemasyarakatan, disebutkan tiga napi umum terluka dalam peristiwa itu, yakni John Refra Key yang mengalami luka di pelipis kiri dan telapak tangan kiri sobek; Wendri Yanto yang mengalami luka di pelipis kiri atas, bahu belakang kanan memar, dan kedua kaki memar; serta Muhammad Azrul Sidik yang mengalami luka di pelipis kiri, tangan memar, dan kedua kaki memar. Adapun satu napi umum bernama Tumbur Bondy tewas karena mengalami luka berat di punggung dan perut.
”Kami saat ini berupaya meminta keterangan dari pihak-pihak yang terlibat dalam kerusuhan itu dan mengetahui perihal kerusuhan itu, baik dari petugas maupun napi dari kelompok John Kei dan kelompok teroris,” kata Ade.
Untuk mencegah pertikaian antarkelompok berlanjut, Ditjen Pemasyarakatan memindahkan dan memutasikan 12 napi teroris ke LP Pasir Putih dan 6 napi kelompok John Kei, termasuk John Kei, ke LP Batu. Polisi juga melakukan penyelidikan atas peristiwa itu. Pihak LP juga meminta bantuan keamanan dari Polri dan TNI untuk mengantisipasi adanya kericuhan susulan dari simpatisan kedua kelompok yang masih berada di LP Permisan atau adanya napi lain yang memanfaatkan situasi untuk melarikan diri.
Tidak imbang
Ade mengakui, kekurangan personel keamanan menjadi salah satu kelemahan LP Permisan. Kondisi jumlah petugas sebagaimana terjadi di LP Permisan juga ditemui di banyak LP di Indonesia.
”Faktor jumlah personel yang tidak berimbang dengan jumlah warga binaan juga ikut menyumbang bagi rentannya LP rusuh,” ujarnya.
Tidak sekadar jumlah petugas yang memadai, LP seharusnya juga memiliki personel yang terlatih dan terampil dalam melaksanakan tugas. Untuk menambah jumlah petugas keamanan, Kemenkumham merekrut petugas baru dengan kuota CPNS sebanyak 14.000 orang tahun 2017.
Data Ditjen Pemasyarakatan menunjukkan, jumlah petugas keamanan yang aktif saat ini 14.584 orang. Jumlah itu jauh di bawah jumlah napi dan tahanan, yakni 229.252 orang. Perbandingannya, 1 petugas mengawal 63 napi. Dari total napi, 29.003 orang adalah napi pengguna narkoba dan 48.936 orang napi bandar narkoba.
Dari komposisi napi tersebut, napi dari kasus narkoba menempati posisi tertinggi atau mencapai 60 persen dari total napi yang ada. Napi dari kalangan bandar narkoba besar pun dinilai punya kemampuan memengaruhi napi lain untuk terlibat dalam bisnis mereka atau memprovokasi napi lain untuk melakukan kekerasan di dalam LP. Kecenderungan yang sama dimiliki napi terorisme. Pemikiran untuk menempatkan mereka di dalam LP khusus yang terpisah dengan pengamanan maksimum menjadi salah satu pertimbangan untuk mencegah terjadinya kerusuhan.
LP khusus
Ade menuturkan, pada masa depan, pembangunan LP dengan pengamanan maksimum (maximum security) atau dikenal juga dengan LP high risk diharapkan bisa memutus rantai kekerasan di dalam LP. Pemindahan napi narkoba dan terorisme ke LP high risk juga dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan LP lain di Indonesia. Napi yang akan dipindahkan ke LP high risk harus memenuhi persyaratan utama, yakni berpotensi mengulangi perbuatannya.
Saat ini, pemerintah sedang membangun lima LP high risk, yakni LP Batu dan LP Pasir Putih di Nusakambangan, LP Kasongan di Kalimantan Tengah, LP Pemuda Langkat di Sumatera Utara, dan Rumah Tahanan Gunung Sindur di Bogor. Pembangunan LP itu didasarkan pada Keputusan Menkumham No.M.HH-07.OT.01.01 tahun 2017.
Sekretaris Ditjen Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami mengatakan, kejadian kerusuhan di LP Permisan semakin menguatkan tekad Ditjen Pemasyarakatan untuk menuntaskan LP high risk.
”Ada kesadaran bahwa napi dengan risiko tinggi itu ada dan karenanya harus ditangani dengan perlakuan khusus, termasuk dengan menempatkannya di LP khusus,” ucap Sri.
Kelima LP high risk itu nantinya akan dilengkapi dengan berbagai perlengkapan teknologi canggih, seperti pagar kejut listrik, sensor benda terlarang, unit pengenalan wajah, hingga sungai buatan yang nantinya menyuplai kebutuhan air minum dan tenaga listrik LP.
Selain kelima LP high risk yang sedang dibangun itu, Ditjen Pemasyarakatan saat ini juga membangun satu LP high risk lain yang mendekati saat operasional tahun 2018, yakni LP Karanganyar di Nusakambangan.
Sri mengatakan, petugas yang akan menjaga napi di LP high risk itu juga harus melewati penilaian khusus dan memiliki kompetensi lebih tinggi daripada petugas di LP pada umumnya. ”LP high risk ini diharapkan menjadi solusi bagi napi-napi yang bisa membahayakan dirinya, orang lain, dan lingkungannya sebab mereka ditempatkan khusus dan mengurangi potensi ancaman kepada pihak lain,” katanya.
Pembangunan LP high risk itu diakui Sri memerlukan biaya tinggi. Contohnya, untuk LP Karanganyar diperlukan Rp 357 miliar, sedangkan LP Batu Rp 2 miliar, LP Pasir Putih Rp 7,3 miliar, dan Rutan Gunung Sindur Rp 5,2 miliar. ”LP high risk yang murni adalah LP Karanganyar, sedangkan lima LP lain awalnya adalah LP biasa yang kemudian direnovasi untuk menjadi LP high risk sehingga biaya renovasinya lebih murah,” ujarnya.
Pengamat pemasyarakatan Gatot Goei mengatakan, pada masa depan, pendirian LP berpengamanan maksimum bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi napi-napi dengan karakteristik khusus yang berpotensi membahayakan orang lain. Akan tetapi, hal itu bukan satu-satunya cara untuk mengurangi potensi kerusuhan di LP.
”Napi khusus jumlahnya hanya sedikit, sedangkan napi lain yang kerap rusuh sebenarnya adalah napi dari kasus penggunaan narkotika dan napi umum. Untuk memperkecil risiko rusuh, yang harus dipikirkan oleh Ditjen Pemasyarakatan ialah pengurangan tahanan dan napi melalui kemudahan pembebasan bersyarat dan remisi,” tuturnya.