NUSA DUA, KOMPAS — Memasarkan produk kepada generasi milenial sebenarnya tidak memerlukan taktik rumit. Pemilik merek barang tidak harus mengubah wajah perusahaannya menjadi muda sebagai bentuk penyesuaian diri.
”Cara seperti itu justru membuat sebuah merek menjadi gagal,” ujar Brand Planning Director di Merkley + Partners New York Tim Mottau, di sela-sela AdAsia Bali 2017 hari kedua, Kamis (9/11), di Nusa Dua, Bali.
AdAsia merupakan kongres periklanan tingkat Asia yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali oleh Asian Federation of Advertising Association (AFAA). Kongres periklanan ini sudah berlangsung sejak 30 tahun lalu.
AdAsia Bali 2017 mengambil tema Globalization - Advancing New Possibilities. Tema ini diambil untuk mempelajari tren terbaru industri periklanan dan kasus pemasaran di Asia Pasifik di tengah pesatnya globalisasi serta kemunculan digital. Lebih dari 30 praktisi periklanan serta pemasaran hadir sebagai pembicara.
Pria berusia 36 tahun itu mencontohkan Mercedes-Benz. Pabrikan mobil ini sudah berusia tua, tetapi tetap ingin selalu relevan dengan tren pasar dan tidak kehilangan jati diri.
Salah satu iklan komersialnya berjudul Fable yag digarap bersama Merkley + Partners disebut Nielsen sebagai kampanye iklan otomotif mewah terbaik tahun 2015.
Tim memberikan delapan saran agar pemasaran sebuah produk sukses di mata generasi milenial. Pertama, pemilik merek harus menunjukkan perannya di dalam kegiatan kebudayaan. Alasannya, generasi milenial memang sangat menaruh perhatian pada akar budaya walaupun mereka tergolong adaptif terhadap inovasi digital, memiliki kehidupan dinamis, dan cenderung individual.
Konten pemasaran yang memancing kepedulian mereka akan langsung laku keras.
Saran kedua adalah berani menjadi sesuatu yang dicita-citakan. Milenial selalu mencari inspirasi. Realitas kehidupan mereka tidak melulu dipenuhi dengan ambisi-ambisi tertentu.
Ketiga, pemilik merek barang harus menyediakan alasan untuk peduli terhadap isu tertentu. Menurut Tim, rata-rata anak milenial menyukai hal-hal berbau keberagaman.
Mereka umumnya adalah orang yang memiliki pemikiran terbuka. Jadi, konten pemasaran yang memancing kepedulian mereka akan langsung laku keras.
Saran keempat adalah pemilik merek produk atau jasa harus berpartisipasi dan merangkul langsung komunitas milenial. Perusahaan diharapkan sering berdialog, mendengarkan cerita milenial, dan akhirnya mengetahui apa yang diinginkan oleh pasar milenial.
”Milenial akan tersentuh dengan merek-merek yang memberikan sentuhan personal. Mereka menyukai segala sesuatu yang biasanya memiliki kesamaan dengan pengalaman mereka. Model konten pemasaran naratif sangat disukai,” ujar Tim.
Saran selanjutnya adalah mengenal pribadi. Pemilik merek harus berani melihat cerita-cerita mikro yang dialami oleh milenial. Ini bisa menjadi material pemasaran.
Tentunya, konsekuensi yang ditanggung pengusaha adalah mereka menjadi pihak yang tidak banyak interupsi. Dengan kata lain, porsi idealisme perusahaan dalam sebuah konten iklan akan berkurang.
Keenam, konten pemasaran harus memiliki nilai. Rekomendasi ketujuh masih mirip dengan sebelumnya, yakni harus integrasi dengan nilai yang pernah ada.
”Milenial termasuk generasi yang kaya informasi, tetapi miskin kedalaman makna. Mereka akan sangat menghargai segala sesuatu yang mempunyai nilai dan bahkan mengandung unsur otentik,” kata Tim.
Saran terakhir adalah pemilik merek produk/jasa harus selalu membiasakan diri terhadap hal tak terduga. Ini artinya perusahaan harus selalu fleksibel terhadap segala perubahan yang muncul.
Kaum milenial akan sangat menghargai segala sesuatu yang mempunyai nilai dan mengandung unsur otentik.
Tim mengamati, saat ini sudah banyak pemilik merek ataupun media massa yang menampilkan milenial dari sudut pandang berbeda.
Beberapa waktu yang lalu, mereka selalu memberi label milenial sebagai generasi yang sekadar menggemari teknologi digital, bersenang-senang, suka swafoto, dan berkumpul di kedai kopi modern.
”Tidak semua milenial seperti itu. Saya juga tergolong milenial. Sejumlah orang, seperti saya, justru memilih tidak menghabiskan hidup cuma dengan bersenang-senang,” kata pria yang sebelumnya pernah bekerja sebagai digital content integration manager di Toyota Motor Corporation Australia itu.