Goresan dari yang Muda untuk Kota Tua
Kawasan Kota Tua jauh dari kata ”belia”. Namun, siapa sangka di usianya yang lebih dari seabad tiba-tiba dia terlahir kembali seperti remaja. Dari luar tak ada beda. Akan tetapi, di dalamnya ada cipratan jiwa seniman muda yang memberi nuansa segar bagi pengunjungnya.
Sebelumnya, tidak ada yang menyentuh Gedung Cipta Niaga di kawasan Kota Tua dengan seni kontemporer ala anak muda. ”Ini baru pertama kalinya,” kata Managing Director Konsorsium Kota Tua Jakarta Eddy Sambuaga saat ditemui Kompas selepas pembukaan Artotel Week, Rabu (8/11).
Pameran seni ini tak mengubah tampilan luar Gedung Cipta Niaga. Di dekat pintu masuk ada papan dari seng yang ditempeli sobekan-sobekan poster acara. Begitu masuk, mata akan menangkap warna-warni dari pameran dalam gedung tua ini.
Eddy mengatakan, dia menghargai pameran seni yang mampu menyulap gedung yang dulunya merupakan kantor dan berdiri sejak 1820 ini. Ini sesuai dengan visi pihaknya, yakni melestarikan Kota Tua sebagai ikon destinasi pariwisata Jakarta. Ditambah lagi, Kota Tua masuk dalam daftar 10 destinasi wisata prioritas nasional bersama Kepulauan Seribu. ”Upaya melestarikan gedung ini, dengan dimanfaatkan kembali sehingga dapat menarik banyak pengunjung,” ucapnya.
Artotel Week berlangsung dari 8 hingga 11 November 2017 di Gedung Cipta Niaga, kawasan Kota Tua, Jakarta. Selain menghadirkan buah tangan dari 12 seniman muda, pameran ini juga menyajikan panggung musik dan bazar seni.
Artotel Week berlangsung dari 8 hingga 11 November 2017 di Gedung Cipta Niaga, kawasan Kota Tua, Jakarta. Selain menghadirkan buah tangan dari 12 seniman muda, pameran ini juga menyajikan panggung musik dan bazar seni.
Bebas, lepas
Kurator Artotel Week Safrie Effendi mengatakan, tidak ada tema yang mengikat untuk pameran ini. ”Biar para seniman yang langsung sikat. Kami hanya memberi ruang dan membebaskan mereka untuk berekspresi,” katanya.
Sebisa mungkin, Safrie ingin membuat Artotel Week lepas dari kesan kaku dan konvensional. Kebebasan ini dianggapnya sebagai dobrakan yang melawan arus utama pameran. Tujuannya, untuk menciptakan kesegaran dalam gedung yang berusia tua.
Bagi Safrie, kebebasan seniman muda untuk berekspresi dalam Gedung Cipta Karya menjadi citra baru Kota Tua. ”Kami mengemas gedung bersejarah dengan kreasi pemuda,” katanya.
Karena itu, sisi zaman dulu atau jadul Gedung Cipta Karya tetap ditampilkan. Bahkan, sejumlah instalasi pameran menggunakan reruntuhan sisa-sisa bahan bangunan yang ada di sana.
Merasakan kolaborasi
Salah satu pengunjung Artotel Week sekaligus pemerhati seni, Bob Wardhana, mengungkapkan kesalutannya pada respons seniman muda ini terhadap bangunan tua. Dia mengatakan, gedung yang sudah lama berdiri memiliki material, arsitektur, dan interior yang khas. Adanya karya anak muda seolah memberikan jiwa yang meremajakan gedung itu.
Gedung yang sudah lama berdiri memiliki material, arsitektur, dan interior yang khas. Adanya karya anak muda seolah memberikan jiwa yang meremajakan gedung itu.
Bob pun merasakan karya anak-anak muda dalam pameran ini seolah melengkapi gedung tua yang tadinya kosong. ”Ketika seseorang ke sini, dia tidak hanya masuk ke pintu sejarah, tetapi juga melangkah ke dalam penghargaan seni,” katanya.
Konsultan Seni Artovale Pamuji Slamet yang juga seorang pengunjung mengatakan, ide pameran ini menarik. ”Setiap kota memiliki sisi kunonya. Pemanfaatan seperti ini menarik lagi orang-orang untuk menikmati sisi kuno Jakarta,” ucapnya.
Menurut Pamuji, Kota Tua tidak harus identik dengan kesan tua. Karena itu, hadirnya seniman muda dengan kebebasan kreasi membuat Kota Tua tetap relevan pada zaman sekarang.
Pameran ini sungguh kreatif. Saya mendapatkan sudut pandang lain terkait pemanfaatan gedung bersejarah seperti ini.
Deputi Direktur Erasmus Huis Kedutaan Besar Belanda JJM Joyce Nijssen kagum saat melihat-lihat karya dalam pameran ini. ”Pameran ini sungguh kreatif. Saya mendapatkan sudut pandang lain terkait pemanfaatan gedung bersejarah seperti ini,” ujarnya.
Pengunjung lain, Nurul Idzmi (23), juga merasakan sisi seni jalanan Kota Tua dalam pameran. ”Benar-benar kolaborasi yang ciamik,” katanya.
Dari diri
Kebebasan yang diberikan oleh kurator menjadi kesempatan bagi sejumlah seniman untuk merefleksikan dirinya sendiri dalam karyanya. Sebutlah Mahendra Nazar (31), Bunga Fatia (27), dan Atreyu Moniaga (29).
Mahendra berkontemplasi dengan rasa kehilangan yang ada dalam dirinya. Permenungan ini dilatarbelakangi oleh wafatnya sang ibu pada pertengahan 2017.
Rasa kehilangan itu dimaknainya secara luas. Karena itu, dia menuliskan kalimat ”Ruang ini terlalu luas tanpa dirimu”. ”Kehilangan bukan hanya soal sosok, melainkan juga nilai dan hak kita sebagai manusia,” katanya.
Salah satu karya Mahendra berupa kardus susu satu liter yang dia cat dengan warna hitam dan bertuliskan ”Nutrition”. Di dekat kotak susu itu, ada tulisan ”Equal”. Dia mengatakan, karya ini mewakili kesenjangan yang terjadi antarmanusia. ”Kita ini sama-sama manusia. Namun, tidak semuanya mendapatkan perlakuan yang sama, terlebih karena status ekonomi. Kesenjangan adalah bentuk kehilangan akan keadilan,” katanya.
Sementara itu, karya yang dipamerkan oleh Atreyu merupakan curahan hatinya. ”Saya ini tidak bisa mengekspresikan perasaan-perasaan tidak menyenangkan melalui kata-kata atau tindakan. Namun, semuanya saya tumpahkan lewat gambar saya,” katanya.
Dia menunjukkan karya satu-satunya yang tidak dijual sebagai contoh ungkapan perasaannya yang paling kelam. Judulnya Betrayal Tree. Gambar itu dilatarbelakangi oleh kesedihannya saat ”ditusuk dari belakang” oleh orang-orang yang dia percaya.
Di samping itu, Atreyu juga menyediakan pojok swafoto dengan latar gambar-gambar hasil eksperimennya yang ditempel di dinding. ”Supaya seru,” ucap seniman yang turut ”melukis” Kompas edisi 28 Oktober 2017 itu.
Terkait perasaan, Bunga pun mengekspresikannya lewat warna-warna yang dia gambar di dinding dan kanvas. ”Warna merah muda untuk perasaan menyenangkan, kalau biru sebaliknya,” ujarnya.
Hotel nyeni
Artotel Week diadakan di Gedung Cipta Niaga karena bangunan itu akan diubah menjadi Art Hotel. ”Nota kesepahamannya baru ditandatangani,” kata CEO Artotel Group Erastus Radjimin.
Erastus mengatakan, dia tidak akan mengubah bangunannya secara arsitektur. ”Kami yang akan beradaptasi dengan gedung ini agar sisi historisnya tidak pudar,” katanya.
Tidak hanya itu, Erastus mengatakan, hotelnya kelak akan bersifat inklusif. Pengunjung Kota Tua yang hanya ingin mampir dan tidak menginap diperbolehkan menikmati gedung di dalamnya.
Keistimewaan historis Gedung Cipta Niaga terletak dari salah satu muka bangunannya menghadap Sungai Kali Besar. Eddy mengatakan, sungai itu berandil besar dalam perekonomian Batavia pada zamannya. ”Kali Besar sedang direvitalisasi agar lebih bersih dan enak dilihat,” katanya.
Sebagai kawasan kuno milik Jakarta, Kota Tua tengah beradaptasi agar magnetnya abadi bagai remaja di masa pubertas. Semua orang tergila-gila dan jatuh cinta padanya. Tentu dengan daya tarik seperti ini, kekayaan sejarah Ibu Kota akan selalu dikenang rakyatnya.
Sebagai kawasan kuno milik Jakarta, Kota Tua tengah beradaptasi agar magnetnya abadi bagai remaja di masa pubertas. Semua orang tergila-gila dan jatuh cinta padanya. Tentu dengan daya tarik seperti ini, kekayaan sejarah Ibu Kota akan selalu dikenang rakyatnya. (DD09)