JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Negara Republik Indonesia tetap akan menjalin koordinasi yang baik dengan Komisi Pemberantasan Korupsi terlepas dengan adanya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada dua unsur pimpinan KPK. Polri berkomitmen untuk melakukan sinergi dengan KPK dalam pemberantasan korupsi.
Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin, Kamis (9/11), yang tengah berada di Australia, melalui pesan singkat kepada Kompas, mengatakan, Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian tidak diberi tahu mengenai penerbitan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) yang ditandatangani Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal (Pol) Herry Rudolf Nahak.
Kepala Polri akan meminta penjelasan kepada Bareskrim Polri terkait dengan penerbitan SPDP kepada dua unsur pimpinan KPK, yakni Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
”Pak Kapolri sudah memberikan penjelasan mengenai hal itu (penerbitan SPDP). Jadi, saya tidak perlu ditanya lagi,” kata Syafruddin.
Pak Kapolri sudah memberikan penjelasan mengenai hal itu (penerbitan SPDP). Jadi, saya tidak perlu ditanya lagi.
Penerbitan SPDP kepada dua unsur pimpinan KPK oleh Polri itu dilakukan berdasarkan laporan polisi bernomor LP/1028/X/2017 Bareskrim yang dilakukan oleh Sandi Kurniawan. Laporan tersebut terkait dengan dikeluarkannya surat pencegahan ke luar negeri terhadap Ketua DPR Setya Novanto yang diduga terlibat dalam korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Permintaan pencegahan oleh KPK itu diajukan pada 2 Oktober 2017 untuk masa enam bulan ke depan.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengatakan, kedua unsur pimpinan KPK itu dilaporkan karena diduga membuat surat palsu dan menyalahgunakan wewenangnya dalam penyidikan kasus Ketua DPR Setya Novanto (Kompas, 9/11).
Menanggapi penerbitan SPDP kepada dua unsur pimpinan KPK, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menuturkan, hal itu tidak akan menghentikan penyidikan dalam dugaan korupsi KTP-el. Pemeriksaan kepada sejumlah saksi terus dilakukan. Pada Kamis, diagendakan pemeriksaan terhadap Direktur Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo (ASS) dan beberapa saksi lain untuk penyidikan baru kasus KTP-el.
”KPK memastikan penanganan kasus ini akan terus dilakukan. Karena ini adalah amanat undang-undang dan publik yang sangat dirugikan akibat suatu kasus korupsi,” ujar Febri.
Mengenai komitmen Polri yang akan terus berkoordinasi dengan KPK dalam pemberantasan korupsi, KPK memberikan apresiasi. ”Kami sampaikan juga apresiasi kepada pimpinan Polri yang menegaskan komitmen bersama KPK dan Polri untuk sinergi dalam pemberantasan korupsi,” katanya.
Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar mengatakan, keluarnya SPDP oleh Polri itu diharapkan tidak merusak koordinasi antara Polri dan KPK dalam pemberantasan korupsi.
Simpatisan KPK dan Polri juga sebaiknya menahan diri dan jangan sampai memunculkan lingkungan sosial yang mendukung tumbuhnya pertentangan antarinstitusi.
”Simpatisan KPK dan Polri juga sebaiknya menahan diri dan jangan sampai memunculkan lingkungan sosial yang mendukung tumbuhnya pertentangan antarinstitusi. Sebab, nanti yang dirugikan dari pertentangan antara polisi dan KPK adalah upaya penegakan hukum. Kepastian hukum akan tercederai apabila dua institusi ini bertabrakan,” tuturnya.
Bambang mengingatkan peristiwa Cicak vs Buaya yang mengemuka beberapa tahun lalu. Peristiwa itu terbukti tidak membawa perbaikan bagi upaya pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, baik polisi maupun KPK diharapkan bersikap obyektif dan tidak subyektif dalam memeriksa atau menyidik suatu perkara. Ia juga mendesak kedua pimpinan institusi untuk terus berkoordinasi.
”Jika memang polisi menemukan adanya bukti-bukti menyangkut pelanggaran pidana yang dituduhkan kepada dua pimpinan KPK itu (Agus dan Saut), sebaiknya hal itu diproses dengan obyektif berdasarkan hukum, tidak subyektif,” lanjut Bambang.
Cicak vs Buaya
Penerbitan SPDP kepada pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Saut Situmorang, itu mengingatkan kembali pada peristiwa serupa tahun 2009, yakni ketika Polri menetapkan dua unsur pimpinan KPK ketika itu, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, sebagai tersangka dalam kasus pencegahan terhadap Anggoro Widjojo dan Joko Tjandra.
Arsip pemberitaan Kompas sejak Agustus 2009 mencatat tuduhan kepada Chandra dan Bibit yang dianggap menerima sejumlah uang dalam pencegahan terhadap dua pengusaha tersebut. Polisi di bawah pimpinan Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri ketika itu menilai keputusan pencegahan dan pencabutan pencegahan yang dilakukan kedua tersangka tidak dilakukan secara kolektif.
Pencegahan terhadap Anggoro Widjojo dilakukan oleh Chandra Hamzah, pencegahan terhadap Joko Tjandra oleh Bibit S Rianto, sedangkan pencabutan pencegahan terhadap Joko Tjandra dilakukan oleh Chandra Hamzah. Kedua unsur pimpinan KPK itu juga diduga menerima sejumlah uang terkait imbalan pencabutan pencegahan terhadap dua pengusaha itu.
Istilah fabel Cicak vs Buaya pun mulai berkembang di publik setelah Kepala Bareskrim Polri (ketika itu) Komisaris Jenderal Susno Duadji menggambarkan pertarungan antara KPK dan Polri sebagai cicak versus buaya.
Kini, konstruksi kasus yang mirip menjadi latar belakang dikeluarkannya SPDP oleh Polri kepada Agus dan Saut. Hanya saja, pada kasus yang dituduhkan kepada pimpinan KPK saat ini adalah pemalsuan surat perpanjangan masa pencegahan Novanto ke luar negeri.
Kini, konstruksi kasus yang mirip menjadi latar belakang dikeluarkannya SPDP oleh Polri kepada Agus dan Saut. Hanya saja, pada kasus yang dituduhkan kepada pimpinan KPK saat ini adalah pemalsuan surat perpanjangan masa pencegahan Novanto ke luar negeri.
Perintah pencegahan
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Agung Sampurno membenarkan adanya surat permintaan pencegahan terhadap Setya Novanto, 2 Oktober. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Ditjen Imigrasi tidak punya alasan untuk menolak permintaan dari penyidik KPK tersebut.
UU No 6/2011 tentang Keimigrasian menyebutkan, ada beberapa pihak dan lembaga yang bisa mengajukan permohonan pencegahan terhadap seseorang kepada Ditjen Imigrasi. Pihak-pihak itu ialah kepolisian, kejaksaan, KPK, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Kementerian Keuangan. Namun, sifat permintaan pencegahan yang diatur untuk lembaga-lembaga itu memiliki perbedaan.
”Jika polisi, kejaksaan, kementerian, dan BNN sifat suratnya kepada Ditjen Imigrasi adalah permintaan, tetapi UU Keimigrasian itu memberikan keistimewaan kepada KPK untuk memberikan surat pencegahan yang sifatnya perintah. Artinya, surat permintaan pencegahan dari KPK kepada Ditjen Imigrasi itu bukan permintaan, melainkan perintah. Dengan keistimewaan yang diatur oleh UU, Ditjen Imigrasi tidak memiliki alasan untuk tidak melaksanakan permintaan pencegahan dari KPK karena sifatnya itu perintah,” tutur Agung.
UU Keimigrasian lebih lanjut juga mengatur bahwasanya orang yang dicegah ke luar negeri oleh Ditjen Imigrasi atas dasar perintah KPK itu bisa mengajukan keberatan. Namun, keberatan tersebut harus disampaikan kepada pejabat yang membuat surat permintaan itu, yakni pimpinan KPK.
”Keberatan terhadap pencegahan tidak bisa diajukan kepada kami karena kami hanya menjalankan perintah sesuai dengan permintaan dari pimpinan KPK,” kata Agung.
Tak kabulkan
Sebelumnya, pihak kuasa hukum Novanto pun pernah berupaya mengajukan pembatalan pencegahan Novanto ke luar negeri di dalam proses praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kendati hakim tunggal Cepi Iskandar menyatakan penetapan tersangka Novanto oleh KPK tidak sah, permintaan untuk pembatalan status Novanto yang dicegah ke luar negeri itu tidak dikabulkan.
Mengutip dari putusan Cepi Iskandar yang dirilis situs resmi Mahkamah Agung disebutkan, ”menimbang bahwa dalam petitum no.4 ini kewenangan untuk memerintahkan termohon untuk mencabut penetapan pencegahan terhadap Setya Novanto (pemohon) sejak putusan dalam perkara ini diucapkan dalam hal dilakukan pencekalan terhadap Setya Novanto (pemohon), menurut hakim praperadilan merupakan kewenangan administrasi dari pejabat administrasi yang mengeluarkan penetapan tersebut, oleh karena itu petitum no.4 tidak dapat dikabulkan”.
Berpatokan pada putusan praperadilan tersebut, permintaan pencegahan atau perpanjangan pencegahan kepada Novanto bukan merupakan salah satu permohonan praperadilan yang dikabulkan oleh hakim. Penetapan pencegahan kembali terhadap Novanto menjadi kewenangan pejabat administrasi dan bukan merupakan kewenangan hakim untuk memutuskan.