Banyuwangi, Gairah Baru di Pelabuhan Tanjung Wangi
Pelabuhan Banyuwangi yang terletak di ujung Jawa Timur kini sepi. Kapal-kapal besar tidak bisa berlabuh karena pelabuhannya dipenuhi endapan lumpur sungai dan pasir laut. Kunjungan kapal yang semula rata-rata 400 kapal per tahun kini hanya tersisa kurang dari 10 persennya.
Padahal, di masa jayanya tiga tahun lalu, kapal samudra, kapal lokal, dan kapal Nusantara masih bisa berlabuh dan menurunkan muatan. Pada masa jaya itu, lebih dari 10.000 ton muatan kapal dibongkar dan ditampung di gudang pelabuhan.
Berita dengan judul ”Matinya Sebuah Pelabuhan” itu dimuat harian Kompas yang terbit 10 Agustus 1973 atau tepat 44 tahun lalu. Dari arsip Kompas, terlihat bahwa pendangkalan di Pelabuhan Banyuwangi sudah terjadi sejak tahun 1965 atau setidaknya delapan tahun sebelum pelabuhan itu tak lagi dioperasikan.
Kompas, 15 Oktober 1965, menulis, masyarakat pedagang di Banyuwangi dan sekitarnya sedih karena biasanya mereka bisa mengirimkan barang dagangannya sampai 60 ton per hari. Namun, akibat pendangkalan di pelabuhan, barang yang bisa diangkut dalam sehari hanya 40 ton.
Padahal, Banyuwangi termasuk salah satu daerah penghasil beras, yang kemudian didistribusikan ke berbagai tempat. Apabila pengangkutan dilakukan lewat jalan darat, selain memakan waktu lebih lama, biayanya mahal.
Pelabuhan Banyuwangi sempat direhabilitasi pada 1966. Agar tak mengganggu kapal masuk-keluar pelabuhan, dilakukan pengerukan pasir dan lumpur serta dibuat tanggul sepanjang 60 meter sebagai penahan arus air laut (Kompas, 16 Maret 1966). Akan tetapi, upaya itu tak sepenuhnya berhasil.
Ditutupnya Pelabuhan Banyuwangi pada 1973 tak berarti kota yang terletak di ujung timur Pulau Jawa itu kehilangan pelabuhan. Matinya Pelabuhan Banyuwangi segera digantikan dengan pelabuhan samudra yang baru. Letak pelabuhan baru itu di Kampung Meneng, sekitar 7,5 kilometer sebelah utara Banyuwangi (Kompas, 9 November 1973).
Sebelum Pelabuhan Banyuwangi ditutup, Pelabuhan Meneng sudah digarap sejak tahun 1972. Pelabuhan ini selesai dibangun pada Maret 1973 (Kompas, 24 November 1987) dan diresmikan pada November 1973 (Kompas, 29 April 1978).
Pelabuhan Meneng dilengkapi dermaga sepanjang 150 meter dan gudang seluas 1.000 meter persegi. Kampung Meneng dipilih karena lokasinya di teluk, dengan kedalaman air lebih dari 12 meter.
Pelabuhan Meneng juga bebas dari endapan lumpur sungai dan pasir laut karena tak ada sungai yang bermuara di pelabuhan ini. Berbeda dengan Pelabuhan Banyuwangi yang mendapat limpahan pasir laut dan lumpur dari Kali Lo.
Sayang, dalam perjalanannya, fasilitas Pelabuhan Meneng tak bisa mengikuti perkembangan arus bongkar muat dan hilir mudiknya kapal-kapal. Misalnya, pada 1977/1978 ditargetkan 101.915 ton lebih beras diangkut dari Pelabuhan Meneng. Ternyata realisasinya hanya 50.631 ton. Hal itu terjadi karena prasarana yang ada kurang mendukung (Kompas, 27 Maret 1978).
Gudang terbuka yang dimiliki Pelabuhan Meneng seluas 14.000 m persegi dan hanya ada sebuah forklift sehingga bongkar muat memerlukan waktu lama. Dermaga juga hanya bisa disandari satu kapal besar atau dua kapal kecil. Akibatnya, waktu tunggu bongkar muat bisa 2-5 hari. Bahkan, ada kapal yang terpaksa batal sandar di Pelabuhan Meneng (Kompas, 29 April 1978).
Tol laut
Pada 2015 Presiden Joko Widodo mewujudkan program tol laut dengan memberangkatkan kapal berisi 41 peti kemas dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, ke Indonesia bagian timur. Kapal ini menempuh jarak 5.222 mil (sekitar 9.672 km) dengan rute Tanjung Priok-Biak-Serui-Nabire-Wasior-Manokwari-Wasiro-Nabire-Serui-Biak-Tanjung Priok (Kompas, 5 November 2015).
Sementara kapal lainnya mengangkut 36 peti kemas dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Rutenya adalah Tanjung Perak-Tual-Fakfak-Kaimana-Timika-Kaimana-Fakfak-Tual-Tanjung Perak. Kapal ini menempuh jarak 3.668 mil (sekitar 6.793 km).
Tol laut adalah program pemerintah untuk membangun konektivitas nasional, mengefisienkan distribusi logistik, dan upaya mengurangi disparitas harga antara wilayah Indonesia bagian barat dan bagian timur. Pemerintah memberi subsidi biaya pengiriman barang per kontainer dari Rp 17 juta menjadi Rp 10 juta (Kompas, 20 Oktober 2017).
Apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla itu sebenarnya sudah diupayakan sejak tahun 1978 atau 37 tahun yang lalu lewat Pelabuhan Meneng. Sayang, kesungguhan untuk mewujudkannya tak memadai sehingga kebijakan tersebut tidak kunjung terlaksana. Barulah pada masa pemerintahan Jokowi-Kalla perhatian terhadap Indonesia bagian timur terwujud antara lain lewat tol laut.
”Sungguh satu kerugian karena Pelabuhan Meneng bertugas untuk ikut melancarkan pengiriman beras ke wilayah Indonesia bagian timur,” demikian ditulis Kompas, 29 April 1978. Banyuwangi dan sekitarnya pada 1977 berhasil mengumpulkan beras sekitar 75.000 ton. Oleh karena itu, Banyuwangi dijadikan penyangga untuk Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Irian Jaya, Kendari, dan Ambon.
Namun, Pelabuhan Meneng tak mampu karena fasilitas dermaga dan forklift-nya terbatas. Jumlah tenaga buruhnya terdata 250 orang, tetapi yang bisa digerakkan hanya sekitar 150 orang. Menjadi buruh di pelabuhan bagi warga Meneng tak menguntungkan karena rendahnya penghasilan.
Sehari dengan delapan jam kerja, buruh angkut Pelabuhan Meneng mendapat Rp 500, sedangkan sebagai penangkap ikan nener mereka bisa memperoleh Rp 2.000-Rp 3.000.
Semua kendala itu membuat Pelabuhan Meneng sulit berkembang. Padahal, Pelabuhan Meneng dibangun antara lain untuk menjadi pelabuhan kedua di Jawa Timur setelah Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Selain beras, komoditas lain yang bongkar muat di Pelabuhan Meneng antara lain semen dan pupuk (Kompas, 6 Juli 1981).
Sementara peti kemas dalam program tol laut Jokowi-Kalla berisi barang kebutuhan pokok, seperti gula, beras, terigu, minyak goreng, telur, bawang, besi baja, tripleks, dan semen. Sekadar perbandingan, tarif normal angkutan laut tujuan Biak sekitar Rp 48 juta per peti kemas.
Dengan program tol laut, tarifnya hanya Rp 8 juta per peti kemas. Biaya angkut yang murah tersebut diharapkan bisa menurunkan harga di Indonesia bagian timur sampai sekitar 30 persen (Kompas, 5 November 2015).
Indonesia bagian timur
Sampai berusia 10 tahun, Pelabuhan Meneng tetap menjadi pelabuhan untuk bongkar muat, terutama bagi kapal-kapal dengan rute Indonesia bagian timur. Meskipun fasilitas pelabuhan ini sangat terbatas. Pada 1981 sempat ada wacana untuk merevitalisasi Pelabuhan Meneng.
Kompas, 17 Juli 1981, mengutip Bupati Banyuwangi Susilo Suharto SH menyatakan, dermaga Pelabuhan Meneng akan ditambah 150 meter lagi. Jalur kereta api dari Kabat sampai Meneng juga akan ditingkatkan sepanjang sekitar 15 kilometer.
Pertamina pun akan menambah tiga tangki baru sehingga jumlah seluruhnya ada delapan tangki. Masing-masing tangki berkapasitas 2,5 juta liter.
Namun, sampai tahun 1983 wacana itu tak kunjung terwujud. Bahkan, untuk mendapat giliran merapat di dermaga Pelabuhan Meneng, kapal bermuatan pupuk dan beras harus menunggu 17-30 hari. Kompas, 15 Januari 1983, menulis, ”Semua pihak tahu peranan Pelabuhan Meneng sangat menentukan, tetapi mengapa fasilitas untuk itu tidak disediakan?”
Biaya transportasi laut menjadi mahal karena lamanya waktu kapal harus menunggu di luar pelabuhan. Masalahnya jelas, fasilitas bongkar muat tidak memadai sehingga prosesnya menjadi panjang.
Namun, pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah bongkar muat tak kunjung berupaya mengatasinya. Setali tiga uang, jalur kereta api antara Kecamatan Kabat dan Pelabuhan Meneng pun masih dinyatakan ”akan dibangun” (Kompas, 24 Januari 1984).
Baru pada 1987, Pelabuhan Meneng (14 tahun setelah diresmikan) disebut menjadi pintu gerbang Jatim kedua, setelah Pelabuhan Tanjung Perak. Dengan fasilitas dermaga pelabuhan sudah diperpanjang 260 meter, lapangan penumpukan 3.000 meter persegi, dan dua gudang berkapasitas 3.000 ton. Ada lagi gudang PT Jakarta Lloyd berkapasitas 5.000 ton (Kompas, 1 Mei 1987).
Semua fasilitas itu membuat Pelabuhan Meneng mulai ramai. Untuk pengiriman beras, misalnya, lewat Meneng lebih hemat sekitar Rp 1,6 miliar per tahun dibandingkan dari Tanjung Perak. Pengiriman tembakau ke Bremen, Jerman, juga mulai beralih dari Tanjung Perak ke Meneng. Lewat Meneng pula pupuk PT Pusri dikirim ke NTT dan NTB.
Berubah
Lewat Surat Keputusan Menteri Perhubungan tertanggal 12 Mei 1995, Pelabuhan Meneng berubah nama menjadi Pelabuhan Tanjung Wangi. Dibuka pada 2002, Pelabuhan Tanjung Wangi memiliki dermaga sepanjang 518 meter dan kedalaman 14 meter (Kompas, 19 Mei 2010). Namun, kapasitas tersebut belum sepenuhnya digunakan secara optimal.
Untuk menarik eksportir, pengusaha dan pemilik kapal menggunakan Pelabuhan Tanjung Wangi, Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf sampai tiga kali melakukan peluncuran. Entah mengapa, upaya itu tampaknya tak berhasil sepenuhnya.
Kompas, 30 Mei 2014, mencatat, kegiatan ekspor-impor di Pelabuhan Tanjung Wangi diaktifkan kembali mulai Juni 2014. Meskipun sudah bisa digunakan kapal besar, belum ada kapal barang yang berlabuh.
Memang kapal dari Singapura sudah mempunyai jadwal berlabuh di Tanjung Wangi, tetapi hanya untuk mengangkut semen. Sementara kapal kontainer yang siap mengangkut barang dari Tanjung Wangi belum ada.
Kapal barang enggan berlabuh di Tanjung Wangi antara lain karena tak ada barang yang dibawa ke pelabuhan tersebut. Selain itu, jumlah barang yang hendak diangkut dari Tanjung Wangi pun belum memenuhi kuota minimal kapal sehingga biayanya tinggi.
”Misalnya satu kapal membawa muatan 1 ton. Ternyata barang yang hendak dikirim hanya setengahnya. Jadi, biaya pengapalan akan lebih mahal karena, mau tak mau, (pemilik barang) harus membayar seluruh biaya pengapalan,” kata Hengky Pratoko, Ketua Dewan Pengurus Wilayah Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia seperti dikutip Kompas, 24 Januari 2015.
Tampaknya tak ingin bernasib seperti Pelabuhan Banyuwangi pada 1973, Pelabuhan Tanjung Wangi membuka diri untuk kapal pesiar. Kompas, 21 Oktober 2016, mencatat, kapal pesiar Silver Discoverer berlabuh di Tanjung Wangi pada Kamis, 20 Oktober 2016.
Kapal tersebut membawa 88 wisatawan dan disambut dengan kesenian hadrah. Meningkatnya daya tarik Banyuwangi sebagai tujuan wisata membuat kapal pesiar tersebut berlabuh di Tanjung Wangi. Diharapkan kapal-kapal pesiar yang lain pun akan segera berlabuh di Tanjung Wangi.
Selain membuka diri untuk kapal pesiar, Tanjung Wangi tetap melayani pelayaran biasa, di antaranya untuk pulau-pulau kecil di Jawa Timur dengan rute Tanjung Wangi-Sapeken-Kangean-Kalianget-Keramean-Masalembu-Surabaya (Kompas, 28 Mei 2017).
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas pun berusaha menarik kapal barang ke Tanjung Wangi, antara lain dengan melobi pabrik kertas Basuki Rahmat agar mau memanfaatkan pengiriman lewat kapal sehingga bisa menambah kuota muatan kapal (Kompas, 24 Januari 2015).
Presiden Jokowi pun mengingatkan, dua pertiga dari luas wilayah Indonesia adalah air dan ada sekitar 17.000 pulau. Oleh karena itu, tol laut penting untuk melayani kebutuhan sekitar 250 juta penduduknya (Kompas, 11 November 2015).
Adanya program tol laut diharapkan bisa membuat kegiatan bongkar muat di Tanjung Wangi lebih bergairah. Semoga....