CIREBON, KOMPAS — Rencana Pemerintah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menyiapkan lahan 10.000 hektar untuk zona industri menuai protes. Zona industri yang akan dicantumkan dalam revisi rencana tata ruang wilayah itu dinilai akan menggerus sentra garam nasional di Cirebon.
”Pengembangan zona industri akan mengancam sentra garam di Cirebon,” ujar Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia (Apgasi) Jawa Barat Mohammad Taufik, Jumat (10/11), di Cirebon.
Zona industri seluas 10.000 hektar tersebut sebagian besar berada di wilayah timur Kabupaten Cirebon yang selama ini menjadi daerah penghasil garam.
Saat ini saja, lanjut dia, lahan garam sekitar 600 hektar di Cirebon sudah dibebaskan untuk pembangunan dua pembangkit listrik tenaga uap dan sejumlah pabrik. Luas lahan garam juga dilaporkan terus berkurang beberapa tahun terakhir.
Kalau lahan garam terus tergerus industri, bagaimana nasib petani garam ke depannya?
Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Cirebon, lahan garam dalam dua tahun terakhir terus menyusut. Saat ini, luas tambak garam 3.010 hektar. Jumlah ini jauh berkurang dibandingkan pada 2015 yang mencapai 3.858 hektar.
Kondisi ini juga berdampak pada menurunnya produksi garam. Pada 2016, ketika kemarau basah, produksi garam di Cirebon hanya 1.640 ton.
Angka tersebut sangat anjlok dibandingkan produksi pada 2015 yang mencapai 440.503 ton. Tahun lalu, produksi garam nasional hanya 144.009 ton atau 4,8 persen dari target 3 juta ton.
”Kalau lahan garam terus tergerus pembangunan industri, bagaimana nasib petani garam ke depannya?” ucapnya. Menurut Taufik, dengan asumsi 1 hektar lahan digarap dua petani, maka sebanyak 1.200 rumah tangga petani dapat kehilangan pekerjaannya tahun ini.
Apgasi Jabar mencatat 6.000 rumah tangga bergantung pada garam di wilayah Cirebon. Sementara data DKP Cirebon menyebutkan terdapat 5.306 rumah tangga petani garam.
Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Cirebon Dede Sudiono, beberapa waktu lalu, mengatakan, penyediaan lahan 10.000 hektar sudah tercantum dalam revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon.
Dorong industri
Regulasi yang disepakati Pemkab dan DPRD Cirebon ini merevisi Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 7 Tahun 2011 tentang RTRW 2011-2031.
”Saat ini, revisi tersebut sudah di Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Kami masih menunggu hasil evaluasi kementerian terkait,” ujar Dede.
Cirebon berpotensi menjadi kawasan industri karena masih memiliki lahan yang luas.
Menurut dia, Cirebon berpotensi menjadi kawasan industri karena masih memiliki lahan yang luas. Saat ini, lahan untuk industri di pesisir utara itu baru seluas 2.000 hektar.
Ketersedian lahan ini, lanjutnya, yang semakin sulit didapatkan di kawasan industri, seperti Kabupaten Karawang dan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) yang sudah padat.
Apalagi, infrastruktur di Cirebon sudah memadai, seperti beroperasinya Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) sejak pertengahan 2015. Jalan tol ini mampu memangkas waktu tempuh Jakarta-Cirebon yang dahulu lebih dari 5 jam menjadi hanya 3 jam.
Selain itu, Bandara Internasional Jabar di Kertajati, Kabupaten Majalengka, juga akan mempercepat mobilitas manusia dan barang pada Juni 2018.
Menurut Dede, saat ini, sekitar 10 perusahaan asal Jabodetabek menyatakan ketertarikannya berinvestasi di Cirebon. Perusahaan tersebut berminat berinvestasi juga karena upah buruh yang lebih murah di Cirebon.
”Jika kawasan industri ini berjalan, banyak tenaga kerja lokal yang akan terserap,” ujarnya.
Berdasarkan data DPMPTSP Kabupaten Cirebon, pada 2014, nilai investasi di Cirebon mencapai lebih dari 775 miliar dengan serapan 2.310 tenaga kerja.
Investasi bahkan melonjak hingga Rp 12 triliun pada 2015. Hingga akhir Oktober 2017, nilai investasi di Cirebon mencapai Rp 824 miliar. Investasi itu didominasi industri pengolahan dan sektor perdagangan.