Utamakan Pemberantasan Korupsi
JAKARTA, KOMPAS — Semangat pemberantasan korupsi dan penuntasan kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik seharusnya diutamakan daripada memperuncing suasana gaduh yang mungkin timbul antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara RI terkait dengan terbitnya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan terhadap dua unsur pimpinan KPK. KPK dan Polri diharapkan lebih fokus untuk menuntaskan perkara-perkara korupsi dan memperkecil risiko pertentangan antarlembaga yang kontraproduktif.
Pengajar hukum Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, Jumat (10/11), di Jakarta, mengatakan, baik KPK maupun Polri sebaiknya fokus pada upaya pemberantasan korupsi daripada membuka potensi kegaduhan.
”SPDP (surat pemberitahuan dimulainya penyidikan) yang dikeluarkan Polri terhadap dua unsur pimpinan KPK patut diduga merupakan upaya untuk mencari-cari kesalahan yang tidak substansial. Polri juga harus jeli dalam menyidik kasus ini. Sebab, publik juga bertanya-tanya kenapa laporan dari kuasa hukum Novanto cepat ditindaklanjuti, sedangkan laporan dari warga biasa cenderung lama,” kata Bivitri.
Bivitri mengatakan, upaya yang dilakukan kuasa hukum Setya Novanto yang melaporkan dua unsur pimpinan KPK, yakni Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua Saut Situmorang, merupakan hal yang bisa dipahami. Menurut Bivitri, laporan hukum terhadap komisioner KPK sering kali terkesan aneh dan tidak substansial.
”Kuasa hukum pasti melakukan segala upaya untuk membela kliennya. Tetapi, Polri juga harus memahami hal ini dan tidak serta-merta memproses laporan itu tanpa bukti-bukti jelas. Sebab, berkaca pada pengalaman terdahulu, seperti kasus cicak vs buaya, dan kriminalisasi terhadap Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, perkara yang dilaporkan memang sering kali aneh-aneh dan tidak substansial,” katanya.
Penerbitan SPDP kepada dua unsur pimpinan KPK oleh Polri itu dilakukan berdasarkan laporan polisi bernomor LP/1028/X/2017 Bareskrim yang dilakukan oleh Sandy Kurniawan, advokat dari kantor hukum Yunadi & Associates yang merupakan kuasa hukum Ketua DPR Setya Novanto. Laporan terkait dengan dikeluarkannya surat pencegahan ke luar negeri terhadap Novanto yang diduga terlibat dalam korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Permintaan pencegahan oleh KPK itu diajukan pada 2 Oktober 2017 untuk masa enam bulan ke depan.
Berkaca pada pengalaman terdahulu, seperti kasus cicak vs buaya dan kriminalisasi terhadap Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, perkara yang dilaporkan memang sering kali aneh-aneh dan tidak substansial
Berdasarkan hukum
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pencegahan seseorang ke luar negeri adalah tindakan yang sah secara hukum, bukan penyalahgunaan wewenang, apalagi pemalsuan surat. Tindakan tersebut juga dinilai penting untuk memperlancar penanganan kasus korupsi, terutama memastikan, saat saksi atau tersangka dipanggil, maka mereka sedang tidak berada di luar negeri.
”Oleh karena itu, kami ingatkan agar para saksi dan tersangka yang dipanggil mematuhi aturan hukum yang berlaku, terutama dalam pemenuhan kewajiban hukum untuk datang jika dipanggil sebagai saksi,” kata Febri.
Pencegahan terhadap Novanto didasarkan landasan hukum, antara lain, Pasal 12 Ayat 1 Huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, Pasal 91-103 UU No 6/2011 tentang Keimigrasian, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 64/PUU-IX/2011 tentang uji materi atas UU No 6/2011 tentang Keimigrasian.
Dalam penanganan perkara KTP-el, KPK telah melakukan pencegahan terhadap sejumlah saksi dan tersangka, yakni Vidi Gunawan, Dedi Prijono, Made Oka Masagung, Irvanto Hendra Pambudi, Esther Riawaty Hari, Setya Novanto, Inayah, Raden Gede, dan Anang Sugiana Sudihardjo.
Pencegahan seseorang ke luar negeri adalah tindakan yang sah secara hukum, bukan penyalahgunaan wewenang, apalagi pemalsuan surat.
Dihubungi secara terpisah, kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi, menuturkan, pihaknya telah memiliki saksi dan bukti yang kuat terkait dengan dugaan pemalsuan surat pencegahan terhadap kliennya. Pihak Novanto berharap polisi tidak menghentikan kasus itu dan membawanya ke pengadilan.
”Kami tidak hanya punya dua bukti, tetapi 10 bukti, dan ada enam saksi ahli hukum yang semuanya kompeten. Kalaupun KPK beralasan pencegahan terhadap Novanto itu berdasarkan hukum, kami akan menanti pembuktiannya di pengadilan,” ungkap Fredrich.
Selain melaporkan dua unsur pimpinan KPK, Novanto juga menggugat Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Saat ini perkara di PTUN itu telah memasuki tahapan pemeriksaan. Pada sidang selanjutnya, 14 November, pihak penggugat (Novanto) akan membacakan gugatannya dan tergugat (Ditjen Imigrasi) diharapkan bisa langsung menyampaikan jawaban.
Fredrich berpendapat, putusan MK telah mengeliminasi kewajiban Ditjen Imigrasi untuk mengikuti perintah KPK dalam pencegahan terhadap seseorang. Namun, pendapat itu berbeda dengan KPK.
Febri mengatakan, putusan MK itu tidak mengurangi kewenangan KPK yang diatur di Pasal 12 Ayat (1) Huruf b UU No 30/2001 tentang KPK untuk memerintahkan instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri dalam tingkat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
”Pasal 12 Ayat (1) Huruf b tidak mengatur apakah seseorang itu harus tersangka, terdakwa atau tidak. Ini merupakan ketentuan yang bersifat khusus,” kata Febri.
Ditjen Imigrasi sebagai pelaksana UU Keimigrasian harus mengikuti ketentuan yang ada. KPK adalah lembaga yang disebutkan di dalam UU Keimigrasian bisa memberikan permintaan pencegahan seseorang.
Kepala Bagian Humas Ditjen Imigrasi Agung Sampurno mengatakan, pihaknya sebagai pelaksana UU Keimigrasian harus mengikuti ketentuan yang ada. KPK sebagai salah satu lembaga yang disebutkan di dalam UU Keimigrasian bisa memberikan permintaan pencegahan seseorang memiliki kekhususan dibandingkan dengan lembaga lainnya, seperti Kementerian Keuangan, kepolisian, kejaksaan, dan Badan Narkotika Nasional (BNN).
”Kami hanya menjalankan apa yang diperintahkan UU. Sifat permintaan KPK itu adalah perintah sehingga harus dijalankan,” katanya.
Proses di PTUN akan diikuti oleh Ditjen Imigrasi sebagaimana mestinya. Agung optimistis pihaknya akan memenangi gugatan itu karena UU Keimigrasian dan UU KPK telah secara jelas menyatakan Ditjen Imigrasi sebagai pelaksana permintaan penegak hukum dan sejumlah lembaga dalam permintaan pencegahan.