Akhir Tragis Dokter Lety di Tangan Suami
Isak tangis tak terbendung dari keluarga dan kerabat Dokter Lety Sultri (46) saat jenazah mulai dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Kemiri, Jakarta Timur. Lety merupakan korban penembakan yang dilakukan suaminya sendiri, Dokter Helmi. Menurut kesaksian keluarga, semasa hidupnya, Lety menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Afifi Bachtiar (48), pria asal Bengkulu, kakak kandung Lety, mengatakan, adiknya dan Helmi baru lima tahun menjalani pernikahan. Awalnya, kedua pasutri ini saling berkenalan di Facebook. Keluarga Lety mengenal Helmi sebagai sosok calon suami yang baik. Namun, ketika pernikahan baru dua tahun berjalan, mulai ada yang tidak beres dari hubungan rumah tangga mereka.
Awalnya, kedua pasutri ini saling berkenalan di Facebook. Keluarga Lety mengenal Helmi sebagai sosok calon suami yang baik. Namun, ketika pernikahan baru dua tahun berjalan, mulai ada yang tidak beres dari hubungan rumah tangga mereka.
”Dua tahun setelah menikah, badan adik saya banyak luka memar. Awalnya adik saya belum mau mengakui kalau ia menjadi korban kekerasan rumah tangga. Namun, akhirnya adik saya mau menceritakan bahwa dirinya sering dipukul oleh Helmi,” kata Afifi di rumah duka, di Jalan Sunan Ampel, Rawamangun, Jakarta Timur, Jumat (10/11).
Percekcokan rumah tangga tersebut diakibatkan karena kesibukan Lety sebagai dokter kecantikan di Klinik Azzahra, Cawang, Jakarta Timur. Menurut pengakuan Afifi, Lety sering pulang malam dan membuat Helmi sering naik pitam. Lety dan Helmi tinggal di rumah kontrakan di daerah Budi Asih, Cawang, Jakarta Timur. Setelah menikah, mereka juga belum dikaruniai seorang anak.
”Puncaknya, Lety bercerita bahwa Helmi sempat ingin membakar adik saya ketika di rumah kontrakan. Kemudian adik saya sempat diseret ke jalan dan kembali dipukuli. Pak RT dan warga sekitar yang melihat kejadiannya,” tutur Afifi.
Afifi menjelaskan, Helmi saat ini memang sedang menganggur. Sebelumnya, Helmi sempat bekerja di Klinik Amalia, tetapi dipecat. Selama menganggur, Helmi hidup bergantung dari penghasilan istrinya.
Helmi saat ini memang sedang menganggur. Sebelumnya, Helmi sempat bekerja di Klinik Amalia, tetapi dipecat. Selama menganggur, Helmi hidup bergantung dari penghasilan istrinya.
Afifi juga menyarankan agar Lety melakukan visum dan melaporkan kejadian kasus kekerasan dalam rumah tangga ini ke pihak kepolisian. Akhirnya, Lety mengikuti saran kakaknya. Namun, seiring berjalannya waktu, akhirnya Lety mencabut laporannya dan meminta bercerai dengan Helmi. ”Terakhir kali saya menghubungi Lety pada Rabu (8/11) malam untuk menanyakan kelanjutan perceraiannya yang tinggal menunggu putusan,” kata Afifi.
Afifi tak menyangka, ternyata ajal menjemput adiknya pada Kamis (9/11). Lety tewas ditembak suaminya di Klinik Azzahra, dengan senjata api rakitan. ”Ia tewas dengan enam luka tembak di tubuhnya. Ada tiga peluru menembus tubuhnya,” kata Afifi.
Maya Safira (42), adik kandung Lety, tidak menyangka kakaknya akan pergi dengan cara tragis seperti ini. Sebelumnya, Lety sempat bercerita kepada Maya bahwa ia bermimpi dijemput oleh almarhum ayahnya.
”Saya katakan kepadanya bahwa itu cuma mimpi. Namun, ia mengatakan bahwa ayah datang hanya menjemput dia, tidak bersama dengan adik atau kakak-kakaknya,” kata Maya sambil terisak.
Maya menjelaskan, ia sempat diajak kakaknya untuk pergi ke Bandung akhir-akhir ini, tetapi tampaknya hal tersebut sudah tidak mungkin terealisasikan. Ia juga sempat menyarankan agar kakaknya segera berpisah dari suaminya.
Klinik ditutup
Saat ini, Klinik Azzahra yang menjadi lokasi penembakan telah ditutup. Berdasarkan pantauan Kompas, Jumat (10/11), tidak ada garis polisi di klinik tersebut. Meski ditutup, masih ada beberapa petugas yang tampak menyapu parkiran mobil di Klinik Azzahra.
Yanto (53), petugas kebersihan di klinik tersebut, mengatakan, ia mendengar suara tembakan sebanyak enam kali. ”Ruangan Bu Lety ada di lantai dasar, suaranya terdengar jelas sampai depan pintu klinik,” kata Yanto.
Harianto (42), pedagang mi ayam yang sehari-harinya berjualan di depan klinik, mengaku melihat pelaku ketika masuk ke dalam. Pelaku datang dengan ojek daring sekitar pukul 14.00 dan keluar sekitar pukul 14.30.
”Pelaku menggunakan masker dan tampak membawa senapan ketika keluar dari klinik. Warga yang melihat tidak berani untuk mendekati pelaku,” kata Harianto.
Pemeriksaan bertahap
Secara bertahap, polisi memeriksa Helmi. Tersangka sejauh ini cukup kooperatif dengan menjawab pertanyaan polisi mengenai motif dan kronologi kejadian. Kendati demikian, dia belum mengungkapkan dari mana asal dua senjata api yang dibawa pada saat penembakan terjadi.
”Polisi tidak bisa memeriksa langsung secara maraton, tetapi bertahap. Kami tetap memberikan ruang bagi tersangka untuk beristirahat,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya yang baru Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono, di Jakarta, Jumat. Pendalaman mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kasus masih terus dilakukan.
Polisi sejauh ini menilai belum perlu untuk melakukan tes medis dan kejiwaan karena tersangka menjawab pertanyaan penyidik pada saat pemeriksaan dengan lancar.
Tersangka, ujar Argo, telah diperiksa urinenya saat ditahan, kemarin. Hasil menunjukkan adanya penggunaan obat penenang, tetapi polisi masih mendalami obat tersebut.
”Soal senjata api, tersangka belum menjawab didapat dari siapa sampai sekarang,” ujar Argo. Tersangka membawa dua senjata api ilegal saat kejadian, yaitu senjata jenis revolver yang dibeli seharga Rp 25 juta dan senjata api jenis FN dengan harga Rp 20 juta. Polisi masih memeriksa apakah peluru yang digunakan organik atau tidak.
Tersangka membawa dua senjata api ilegal saat kejadian, yaitu senjata jenis revolver yang dibeli seharga Rp 25 juta dan senjata api jenis FN dengan harga Rp 20 juta. Polisi masih memeriksa apakah peluru yang digunakan organik atau tidak.
Polisi juga masih merangkai urutan peristiwa. Mereka juga telah memeriksa empat saksi, termasuk dua saksi yang ada saat kejadian.
Menurut Argo, tindakan tersangka mengindikasikan tindak kejahatan yang sudah dipersiapkan. Tersangka saat ini dikenai Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Pembunuhan, dengan ancaman penjara paling lama 15 tahun dan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana dengan ancaman paling lama 20 penjara. Selain itu, dia juga ditahan dengan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 atas kepemilikan senjata ilegal.
Tersangka mengaku telah mempersiapkan senjata sebelum ke klinik. Sebelum sampai, pistol diisi dengan peluru.
Dari keterangan saksi, yaitu pegawai Azzahra Medical Centre, Nabila (23) dan Abdul Kadir (27), tersangka datang ke klinik ketika Lety sedang bersama mereka sekitar pukul 14.00. Tersangka ingin mengobrol empat mata di ruang pemeriksaan dokter, tetapi korban menolak. Para saksi kemudian mendengar pertengkaran antara keduanya. Helmi lalu mengeluarkan pistol dari tas.
Lety lalu meminta tolong. Nabila menghampiri Lety dan melihat pelaku membawa senjata api. Karena ketakutan, Nabila dan Abdul keluar klinik. Korban lari ke ruang administrasi dan mengunci pintu. Tersangka sempat menendang pintu. Gagal mendobrak, tersangka akhirnya membidik korban dari loket pendaftaran hingga menghabiskan peluru.
Warga dan saksi mendengar suara letusan senjata api sekitar enam kali. Para saksi lalu masuk dan menemukan Lety yang memakai celana panjang hijau dan kemeja abu-abu telah telentang di lantai.
Warga dan saksi mendengar suara letusan senjata api sekitar enam kali. Para saksi lalu masuk dan menemukan Lety yang memakai celana panjang hijau dan kemeja abu-abu telah telentang di lantai.
”Warga kemudian melaporkan kejadian itu ke Polsek Kramatjati,” kata Kasubag Humas Polres Metro Jakarta Timur Wasiem. Jasad Lety kemudian dibawa ke RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.
Sementara itu, tersangka telah keluar dari tempat kejadian dan pergi menggunakan ojek daring menuju Polda Metro Jaya. Polisi menemukan dua pucuk senjata api dalam tas ketika diperiksa di pintu masuk sekitar pukul 16.00.
Tidak terima
Berdasarkan keterangan pelaku, penembakan terjadi karena tersangka tidak ingin diceraikan istrinya. Sekitar Juni 2017 tersangka melakukan KDRT sehingga Lety melaporkan kejadian itu ke Polres Metro Jakarta Timur.
Penembakan terjadi karena tersangka tidak ingin diceraikan istrinya. Sekitar Juni 2017, tersangka melakukan KDRT sehingga Lety melaporkan kejadian itu ke Polres Metro Jakarta Timur.
Pada Juli 2017, Lety mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Jakarta Timur setelah membina rumah tangga selama lima tahun karena sering cekcok. Laporan KDRT kemudian dicabut Lety pada September sehingga polisi menghentikan penyidikan kasus itu. Menurut rencana, pada 21 November nanti pengadilan akan memutuskan hasil sidang gugatan cerai itu.
Sejak tanggal pengajuan cerai sampai hari kejadian, tersangka tidak dapat menghubungi korban. Hal inilah yang membuat tersangka mendatangi klinik istrinya.
Fenomena unik
Kriminolog Universitas Indonesia, Josias Simon, melihat penyiapan senjata sebelum penembakan Lety dan penyerahan diri tersangka kepada polisi menunjukkan pelaku telah memperhitungkan cara penyelesaian masalah dan akibat hukumnya. Dia menilai, dengan menggunakan senjata, pelaku telah sampai pada suatu titik ketika tidak lagi ditemukan solusi.
Sementara itu, tembakan sebanyak enam kali yang dilontarkan pelaku merupakan suatu ekspresi dari begitu peliknya persoalan yang dia hadapi sehingga melampiaskannya dengan jumlah tembakan sebanyak itu.
”Pelaku bekerja sebagai dokter sewajarnya memiliki pemahaman dan pendidikan yang cukup baik. Melihat penggunaan senjata api di kalangan profesional dan intelektual merupakan fenomena yang unik karena senjata digunakan sebagai alat penyelesaian masalah,” tutur Josias.
Kasus penembakan ini menimbulkan pertanyaan mengapa ekspresi emosi lewat senjata tumbuh di kalangan profesional. Apalagi, penembakan ini terjadi tempat publik.
Selain itu, jelas Josias, kasus penembakan ini menimbulkan pertanyaan mengapa ekspresi emosi lewat senjata tumbuh di kalangan profesional. Apalagi, penembakan ini terjadi tempat publik.
”Ini menunjukkan tidak ada jalan keluar yang bisa ditempuh pelaku sehingga tidak lagi memperhatikan norma-norma,” kata Josias. Mengenai maraknya penggunaan senjata api di kalangan sipil di Indonesia, menurut Josias, itu timbul dari lemahnya penegakan hukum dan mudahnya akses untuk mendapatkan atau merakit senjata. Ditambah lagi terjadi banyak kasus penggunaan senjata sebagai alat penyelesaian masalah sehingga ditiru orang. (DD05/DD13)