Namu Bentengi Diri dari Tambang
Dermaga kayu yang menjorok sekitar 30 meter ke perairan bening dengan dasar berkelir hijau toska itu mengantar pengunjung menginjakkan kaki di daratan. Susunan huruf besar bertuliskan ”NAMU” yang tertancap di pantai menandakan identitas Desa Namu di Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.
Desa kecil itu, sejak awal tahun ini, mendeklarasikan diri sebagai desa wisata. Komunitas pemerhati lingkungan hidup di Sultra bernama Ruruhi Project bersama warga dan aparat desa menginisiasi pembentukan serta pengelolaan desa berbasis pariwisata.
Modal desa itu sangat kuat. Selain pesona pantai yang aduhai, seperti gambaran dalam brosur-brosur wisata tropis dunia, perairan di sekitarnya juga memiliki sejumlah titik menyelam, snorkeling, dan memancing. Daya tarik di daratan pun tak kalah menggoda. Ada air terjun, perkemahan, jalur trekking, hingga lokasi pengamatan anoa (Bubalus sp), fauna endemik Sulawesi.
”Awalnya tak terbayang soal desa wisata,” kata Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Wisata Namu Muhammad Dong.
Desa berpenduduk 481 jiwa itu mayoritas hidup dari berkebun kelapa, jambu mete, cengkeh, pala, dan pinang. Pada saat musim teduh angin barat, sekitar bulan Oktober-April, sebagian warga juga mencari penghasilan tambahan sebagai nelayan.
Lokasi desa itu terpencil di sudut tenggara daratan Sultra. Letaknya di tepi perairan sempit yang memisahkan Pulau Sulawesi dengan Pulau Buton di sebelah selatan, dan Pulau Wawonii di sisi timur.
Akses menuju desa pun hanya bisa lewat laut. Perjalanan darat dari Kendari, ibu kota Sultra, ditempuh sekitar 2 jam dan berakhir di Pelabuhan Feri Amolengo. Perjalanan lalu disambung dengan perahu motor yang banyak disewakan di dermaga rakyat Desa Langgapulu, tak jauh dari Amolengo.
Namun, karena keyakinan akan potensi desa dan semangat untuk memberdayakan masyarakat, Ruruhi Project bersama warga, perlahan mewujudkan konsep desa berbasis wisata itu. ”Ini merupakan pilot project kami,” kata Direktur Ruruhi Project Yasrin Fior.
Bahkan, Fior mengatakan, terbentuknya komunitas dengan anggota dari berbagai latar belakang profesi itu merupakan buah dari pertemuan dengan warga Desa Namu pada Oktober 2016. ”Setelah melihat desa ini, kami kemudian mengumpulkan teman-teman untuk bergabung dalam Ruruhi Project,” ujarnya.
Proteksi
Awalnya, Fior mengatakan, tujuan utama komunitas adalah memproteksi lingkungan dari ancaman tambang. Wisata dipilih karena potensi besar desa itu sekaligus dapat menjadi sumber perekonomian baru yang berkelanjutan bagi warga.
Pengembangan perekonomian berbasis wisata akan mendorong masyarakat untuk secara bersama-sama melindungi kelestarian alamnya dari segala bentuk perusakan, termasuk dari aktivitas pertambangan yang mengabaikan faktor ekologi.
Seperti sebagian besar wilayah daratan di Sultra, penambangan bahan mineral tersebut juga marak di Konawe Selatan, termasuk di Kecamatan Laonti. Desa Namu, bersama dua desa tetangganya, masuk dalam wilayah konsesi perusahaan tambang nikel.
Gani, Sekretaris Desa Namu, mengatakan, perusahaan mulai datang pada 2013 dan pernah mengeksplorasi dengan mengebor sampel di dua titik. Di desa tetangga, perusahaan bahkan telah membebaskan lahan serta memproses pembangunan jalan dan pos. Namun, untuk alasan yang belum diketahui, aktivitas terhenti sampai sekarang.
Dong mengatakan, saat perusahaan baru masuk, warga menolaknya. Warga khawatir lingkungan desa mereka akan rusak seperti daerah-daerah lain yang dimasuki pertambangan nikel. Selain itu, kehadiran tambang juga bisa berdampak terusirnya warga dari tempat tinggalnya.
Arlan (41), warga Namu yang juga terlibat dalam pembentukan desa wisata, bersyukur atas terwujudnya desa wisata. ”Saya tidak mau desa ini menjadi lokasi tambang karena akan merusak lingkungan,” katanya.
Ia belajar dari pengalaman kampung istrinya di Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara, yang lingkungannya rusak akibat tambang. ”Saya berdoa semoga desa wisata Namu cepat dikukuhkan pemerintah daerah,” ujar Arlan.
Swadaya
Relawan Ruruhi Project bersama warga dan aparat desa pun bahu-membahu menata desa dan membangun sejumlah sarana-prasarana secara swadaya. Belakangan, ada pula bantuan dari pemerintah kabupaten dan anggota DPRD setempat untuk pembuatan jalan serta dermaga.
Kini, tengah dibuka akses darat yang menghubungkan Namu dengan Amolengo. Saat selesai, wisatawan akan memiliki alternatif yang lebih murah dan mudah untuk menjangkau desa itu.
Dong mengatakan, meski belum masif, pengunjung sudah berdatangan dan mengenal desa itu. ”Dari buku tamu, sudah ada lebih kurang 5.000 pengunjung yang datang,” ujarnya.
Secara perlahan, perekonomian warga pun bergairah, seperti penyewaan perahu, warung, hingga akomodasi. Saat ini ada 16 rumah warga di empat dusun yang dijadikan homestay untuk penginapan tamu.
Fior menambahkan, penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia untuk mengelola desa wisata juga akan terus ditingkatkan. Pelatihan manajemen dan operasi wisata bagi warga akan digelar.
Pemerintah kabupaten pun mendukung desa wisata ini. Selain pembangunan jalan penghubung, pemkab akan membantu renovasi homestay warga tahun depan. ”Peraturan bupati tentang desa wisata Namu juga akan terbit. Peraturan itu menjadi landasan hukum bagi desa wisata dan retribusi,” ujar Fior.
Peraturan itu pun diharapkan mendorong lahirnya peraturan daerah tentang perlindungan kawasan pesisir Konawe Selatan, sebagai daerah wisata.