Bernapas Sebaiknya Lewat Hidung atau Mulut?
Pertanyaan menggelitik: saat olahraga, haruskah bernapas lewat hidung atau mulut? Pernapasan perut atau dada? Jawaban atas pertanyaan sederhana tersebut tidaklah pernah ”hitam-putih”.
Sistem respirasi (terkait dengan proses mengisap udara ke dalam tubuh dan mengeluarkannya kembali) memiliki fungsi utama memasok oksigen ke dalam darah dan mengeluarkan karbon dioksida keluar tubuh lewat sistem sirkulasi darah. Secara alamiah, manusia bernapas, mengisap udara, dengan menggunakan hidung atau mulut.
Bernapas lewat hidung memberikan sejumlah keunggulan dan keuntungan. Udara yang diisap akan lebih dahulu dihangatkan saat melewati saluran hidung dan kelenjar sinus sehingga ketika bergerak mencapai paru-paru, suhu udara telah relatif disesuaikan dengan suhu dalam tubuh.
Selain itu, debu serta kotoran yang menyertai udara yang diisap akan tersaring oleh bulu-bulu hidung dan mukus atau lendir yang menjaga kelembaban dan melindungi bagian dalam saluran hidung. Kemampuan-kemampuan tersebut membuat kita merasa nyaman dengan pernapasan hidung.
Tentu saja, bernapas lewat mulut saat kita berlari atau bersepeda melintasi daerah yang kering penuh debu bukan pilihan yang bisa dilakukan.
Namun, udara yang mampu diisap lewat hidung tidaklah sebanyak yang bisa disedot lewat mulut dalam satuan waktu dan upaya yang sama. Hal ini menjelaskan mengapa seorang pelari yang sudah merasa lelah—baca tubuh membutuhkan lebih banyak oksigen dan lebih segera—otomatis akan juga bernapas lewat mulut.
Batang tenggorokan yang langsung menjadi saluran udara setelah diisap lewat mulut memang tidak memiliki rambut-rambut halus seperti dalam rongga hidung. Hanya, kita tidak harus takut berlebihan untuk bernapas lewat mulut saat berolahraga. Pasalnya, tubuh kita sudah memiliki mekanisme perlindungan terhadap kuman yang menumpang masuk. Ludah yang ada di rongga mulut, misalnya, punya kemampuan membunuh kuman yang menumpang tersebut.
Tentu saja, bernapas lewat mulut saat kita berlari atau bersepeda melintasi daerah yang kering penuh debu bukan pilihan yang bisa dilakukan. Namun, bukankah saat berolahraga, kita pasti memilih lokasi dan lintasan yang baik dengan udara yang segar, dengan waktu yang paling nyaman? Misalnya pagi hari saat lalu lalang kendaraan bermotor belum ramai.
Bernapas saat renang
Contoh pernapasan lewat mulut dalam olahraga yang sama sekali tidak menjadi masalah dapat kita lihat di renang. Bernapas lewat hidung tidak akan pernah berhasil dalam renang. Pasalnya, hidung tidak memiliki katup seperti epilogtis di pangkal tenggorokan sehingga jika perenang menghirup sedikit saja air saat mencoba bernapas dengan hidung, lomba sudah berakhir bagi dirinya.
Si perenang pasti akan sibuk untuk mengatasi rasa sakit akibat tetesan air yang menggenangi kelenjar sinus dan rongga hidungnya. Bahkan, perenang sekaliber I Gede Siman Sudartawa yang langganan juara SEA Games pun selalu menutup lubang hidungnya rapat-rapat dengan noseclip saat berlomba. Padahal, Siman adalah spesialis gaya punggung yang wajah dan lubang hidungnya selalu menghadap ke atas dan tidak pernah masuk ke dalam air kecuali saat start, pembalikan, dan entakan terakhir di finis.
Paru-paru kita sendiri bukanlah organ yang memiliki otot untuk berkontraksi sehingga tidak dapat mengembang dan mengempis secara mandiri. Saat bernapas, paru-paru mengandalkan pembesaran dan penyusutan rongga dada. Hal itu dilakukan oleh diafragma, otot di ”lantai” rongga dada yang berbentuk kubah dan otot di antara tulang-tulang rusuk.
Saat mengisap udara, kubah diafragma akan berkontraksi menjadi datar. Di saat yang bersamaan, otot-otot tulang rusuk akan berkontraksi mengangkat dan mendorong tulang-tulang rusuk tersebut. Kombinasi aktivitas ini berdampak pada meningkatnya volume rongga dada.
Adapun volume tidal yang terjadi sebesar 5.000 mililiter atau 10 kali lipat dibandingkan saat kita bernapas dalam kondisi santai.
Dengan volume yang meningkat, paru-paru juga meregang dan volumenya pun meningkat. Peningkatan ini membuat tekanan dalam paru-paru menjadi lebih kecil dibandingkan dengan tekanan udara di luar. Udara pun masuk ke dalam paru-paru. Hal yang sebaliknya berlangsung dalam proses mengembuskan napas.
Dalam keadaan santai, paru-paru orang dewasa akan berisi sekitar 3.000 mililiter udara begitu selesai menarik napas. Saat kita mengembuskan napas, masih tersisa sekitar 2.500 mililiter udara lama dalam paru-paru kita. Volume udara sebanyak 500 mililiter yang kita isap dan embuskan ini disebut volume tidal.
Saat beristirahat, rata-rata kita bernapas (mengisap dan mengembuskan udara, disebut laju napas) 12 kali per menit. Jumlah udara yang kita isap dan embuskan dalam kurun itu—disebut ventilasi per menit, minute ventilation—cukup banyak, 6.000 mililiter atau 6 liter udara (jumlah volume tidal dikali jumlah laju napas).
Lebih banyak oksigen
Saat berolahraga, tubuh membutuhkan energi yang lebih banyak yang dihasilkan oleh pembakaran zat gula dan lemak. Untuk memenuhinya, tubuh memerlukan lebih banyak oksigen. Maka, saat berolahraga berat, volume paru-paru orang dewasa dapat mengembang hingga 6.000 milimeter pada titik puncak pengisapan udara.
Adapun volume tidal yang terjadi sebesar 5.000 mililiter atau 10 kali lipat dibandingkan saat kita bernapas dalam kondisi santai. Laju napas atau laju respiratori pun menjadi lebih banyak, hingga 20 kali per menit, yang membuat ventilasi per menit menjadi 100 liter per menit atau 16 kali lipat lebih dibandingkan ketika kita tengah beristirahat yang hanya 6 liter per menit.
Dengan demikian, janganlah terlalu risau untuk berfokus pada pernapasan perut (kontraksi diafragma) atau pernapasan dada (kontraksi otot tulang-tulang rusuk). Yang jelas, kita membutuhkan aktivitas keduanya—yang memang secara alamiah berlangsung—untuk memastikan kita memperoleh pasokan oksigen sebanyak yang kita bisa dan butuhkan saat berolahraga.
Bernapas adalah aktivitas naluriah yang sudah dimiliki manusia sejak dilahirkan. Namun memang, sejumlah cabang olahraga mengembangkan teknik bernapas untuk efisiensi dan membantu memaksimalkan kerja bagian tubuh yang lain.
Olahraga lari jarak menengah dan jauh, misalnya, mendorong bernapas dengan ritme yang tetap. Misalnya, menghirup udara dalam tiga kayuhan langkah dan mengembuskan udara dalam dua langkah berikutnya. Irama napas yang teratur mendorong keteraturan dalam degup jantung, keteraturan dalam sistem sirkulasi dan transportasi oksigen, sehingga membantu efisiensi penggunaan energi.
Hal tersebut juga menjadi alat kontrol bagi pelari dalam melatih irama kecepatannya. Dengan terus melatih keselarasan ayunan langkah kaki dan napas, dia sedikit banyak akan ”hafal” dengan kecepatan larinya dan berapa waktu yang diperlukan untuk mencapai jarak tertentu. Dalam kondisi normal, bernapas dengan ritme ini lebih nyaman dengan menghirup udara lewat hidung.
Berbeda dari lari, olahraga renang mulai mengembangkan teknik yang disebut power breathing, membuat cara membuang napas yang berangsur-angsur sebagai teknik yang lawas. Power breathing yang lebih dahulu dikembangkan oleh para penerbang pesawat tempur—untuk menjaga aliran darah ke otak dalam tarikan gravitasi yang besar—adalah teknik dengan terus menahan napas di dalam air dan baru mengembuskan ”seluruh” udara dengan cepat sesaat sebelum wajah diangkat ke atas air untuk menghirup udara.
Manuver valsalva membuat fluktuasi tekanan darah yang berbahaya: peningkatan tekanan darah yang cepat diikuti penurunan yang juga cepat.
Dengan menahan udara tetap berada dalam paru-paru, perenang diyakini memperoleh daya apung yang lebih baik sehingga kemampuan luncurnya menjadi lebih bagus pula karena dapat menjaga posisi tubuh tetap dalam keadaan streamline terhadap air.
Adapun olahraga resistensi, seperti angkat besi dan latihan beban, mengembangkan teknik manuver valsalva, yaitu menahan napas dengan menekan banyak otot terkait pernapasan. Meski seorang lifter membebankan kerja mengangkat barbel pada otot-otot tertentu—katakanlah tangan, bahu, kaki—pada praktiknya berat barbel yang diusung diupayakan terdistribusi pada sebanyak mungkin otot. Dengan kata lain, sebanyak mungkin otot yang saling bekerja untuk menopang otot-otot utama yang mengangkat barbel akan membuat kerja seorang lifter semakin mudah.
Hanya, manuver ini tidak pernah dilakukan dalam tempo yang lama. Sebab, manuver valsalva membuat fluktuasi tekanan darah yang berbahaya: peningkatan tekanan darah yang cepat diikuti penurunan yang juga cepat. Menahan napas terlalu lama bakal membuat seorang lifter hilang kesadaran, blackout, karena jantung tidak dapat memompa darah ke otak dengan cukup. Oleh karena itu, begitu barbel berhasil sempurna diangkat di atas kepala, seorang lifter akan berupaya untuk mengakhiri manuver valsalva. Mengembuskan napas secara hati-hati yang dikenal dengan istilah exhale with effort di antara mereka.
Sumber pustaka:
1. MacMillan Health Encyclopedia, MacMillan Publishing Company, 1993
2. Encyclopedia of Sports Science, John Zumerchik, MacMillan Library Reference, 1997
3. Target 26: A Practical, Step by Step Preparatory Guide to Running Marathon, Skip Brown, John Graham, Collier Books, 1979