Masa Depan Indonesia Dipertaruhkan
Sejumlah tambang liar di Maluku yang beroperasi dalam enam tahun terakhir telah merusak lingkungan dan mengancam keamanan pangan, baik di darat maupun laut. Jika tidak segera dihentikan, masa depan bangsa ini jadi taruhan.
Tambang dimaksud adalah tambang emas liar yang berada di tiga lokasi di Pulau Buru, yakni Gunung Botak, Gunung Nona, dan Gogorea. Sementara tambang liar lainnya ada batu sinabar di Gunung Tembaga, Kabupaten Seram Bagian Barat.
Tambang emas dengan areal terluas adalah Gunung Botak, sekitar 500 hektar. Lokasi itu mulai dirambah pada November 2015 dengan jumlah petambang melampaui 20.000 orang. Tinggi gunung sekitar 500 meter di atas permukaan laut itu telah hancur akibat digali petambang. Gunung yang semula mulus telah terbelah membentuk jurang dengan kedalaman hingga 250 meter.
Aktivitas penambangan di lokasi itu sempat ditutup pada November 2015. Namun, awal Januari 2017, petambang liar kembali merambah Gunung Botak. Aparat tidak berdaya menjaga lokasi itu. Bahkan, ada oknum aparat yang diduga terlibat melanggengkan praktik tersebut.
Rabu (8/11), Kompas mendatangi lokasi itu. Jumlah petambang yang ada di sana sekitar 2.000 dan diperkirakan akan terus bertambah. Beberapa petambang merupakan pemain lama yang kembali lagi. Ada yang berasal dari Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara. ”Satu hari bisa dapat Rp 1 juta,” ujar Ayep, petambang asal Sukabumi, Jawa Barat. Harga 1 gram emas di sana sekitar Rp 475.000.
Awal Januari 2017, petambang liar kembali merambah Gunung Botak. Aparat tidak berdaya menjaga lokasi itu. Bahkan, ada oknum aparat yang diduga terlibat melanggengkan praktik tersebut.
Mereka mengolah emas menggunakan cairan merkuri yang kini mudah diperoleh. Merkuri didapat dari hasil tambang sinabar di Gunung Tembaga yang mulai beroperasi pada Januari 2013. Jika sebelumnya harga merkuri mencapai Rp 2 juta per kilogram, kini harga merkuri hanya Rp 450.00 per kilogram. Merkuri dijual bebas di Buru.
Distribusi merkuri masuk ke Pulau Buru melalui laut dan lolos begitu saja sebagaimana langgengnya tambang sinabar di Gunung Tembaga. Dalam satu bulan, batu sinabar yang ditambang mencapai 300 ton. Jika kadar merkuri dalam 1 kilogram batu sinabar mencapai 80 persen, merkuri yang dihasilkan dalam satu bulan mencapai 240 ton.
Lokasi pengolahan emas menggunakan merkuri berada di kaki Gunung Botak, tepatnya hutan sagu, dekat areal persawahan dan permukiman penduduk. Kini sudah ada bukti, ratusan hutan sagu sudah mati. Sapi warga juga mati mendadak setelah meminum air di selokan yang tercemar limbah pengolahan tambang.
Apakah warga sudah terpapar merkuri? Dinas Kesehatan Kabupaten Buru belum memiliki data tentang itu. Namun, mereka memiliki laporan bahwa sejumlah sumber air bersih sudah tercemar merkuri.
Kondisi di Gunung Botak tak berbeda jauh dengan Gunung Nona dan Gogorea yang juga dekat dengan areal persawahan. Saat ini, petani di Desa Grandeng mengeluh dengan pencemaran lumpur limbah tambang yang masuk ke areal sawah mereka sejak Gunung Nona beroperasi pada 2014. Sebanyak 326 hektar sawah tenggelam dalam lautan lumpur limbah tambang.
Keamanan pangan
Keamanan pangan di Buru masih dalam tanda tanya. Hingga kini, belum ada hasil penelitian yang menguji apakah pangan di Pulau Buru sudah terpapar merkuri atau belum. Presiden Joko Widodo pernah melakukan penanaman perdana padi di Buru pada Mei 2015. Saat itu, Presiden memerintahkan agar tambang liar ditutup.
Pulau Buru merupakan sentra pangan di Maluku dengan luasan sekitar 7.500 hektar. Menurut data Dinas Pertanian Maluku, pada 2014, produksi padi di Maluku sebanyak 101.836 ton gabah kering giling. Sebanyak 42,33 persen di antaranya berasal dari Buru.
Peletak dasar pertanian di Buru adalah tahanan politik yang dibuang oleh rezim Orde Baru dalam kurun waktu 1969-1979. Kawasan pertanian yang bernama Dataran Waeapo itu lalu dihuni transmigram asal Pulau Jawa.
Saat ini, petani di Desa Grandeng mengeluh dengan pencemaran lumpur limbah tambang yang masuk ke areal sawah. Sebanyak 326 hektar sawah tenggelam dalam lautan lumpur limbah tambang.
Pencemaran merkuri tidak hanya terjadi di darat, tetapi juga di laut. Berdasarkan hasil penelitian Yusthinus T Male, dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pattimura, Ambon, tahun 2014, Teluk Keyeli di Pulau Buru telah tercemar.
Konsentrasi merkuri pada 30 persen sampel sudah melampaui batas atas standar nasional yang hanya 0,5 mg per 1 kg sampel. Temuan pada udang lebih dari tiga kali lipat dibandingkan standar, ikan tujuh kali, kerang enam kali, dan kepiting dua kali.
Teluk tersebut merupakan habitat mangrove yang biasanya menjadi tempat bertelurnya ikan sebelum menetas dan bergerak ke laut lepas. Bisa dibayangkan apabila telur ikan itu sudah tercemar merkuri. Ikan-ikan itu akan tumbuh dengan membawa merkuri di dalam tubuh. Konsentrasi merkuri yang terakumulasi di tubuh ikan diperkirakan 40.000-50.000 kali lipat. Proses itu dinamakan biomagnefikasi.
Apa jadinya jika sektor perikanan yang menjadi primadona negara yang didominasi luas laut ini tercemar merkuri? Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan di Maluku, potensi ikan di Maluku diperkirakan sekitar 3,3 juta ton per tahun atau sekitar 30 persen dari total potensi nasional.
Tanpa disadari, penggunaan merkuri tengah menyimpan bom waktu. Kini tinggal dua pilihan, menutup sekarang atau menyesal lintas generasi.
Kehancuran kini akan menghampiri jika merkuri sudah masuk ke rantai makan. Manusia sebagai penghuni rantai makanan akan terkena imbas. Merkuri menyebabkan kerusakan saraf hingga kematian. Merkuri bisa menembus plasenta. Bayi yang lahir kemungkinan cacat fisik dan mental. Tragedi Minamata di Jepang adalah bukti sejarah kekejaman merkuri.
Di Maluku, kondisi ini sepertinya dianggap biasa saja. Tanpa disadari, penggunaan merkuri tengah menyimpan bom waktu. Kini tinggal dua pilihan, menutup sekarang atau menyesal lintas generasi.