Merkuri Papar Jutaan Warga
Di Banten, tambang bermerkuri marak di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Di Bogor, petambang juga ditangkap karena memiliki 200 kilogram merkuri, pekan lalu. ”Kami masih menyelidiki asal merkurinya,” kata Ajun Komisaris Besar AM Dicky Pastika Gading, Kepala Kepolisian Resor Bogor. Polisi juga mendapati aktivitas pengolahan sinabar (bahan baku merkuri) menjadi merkuri di sisi selatan Bogor dan utara Sukabumi.
Batu sinabar
Setiap bulan, sekitar 300 ton batu sinabar ditambang dari Gunung Tembaga, Pulau Seram, Provinsi Maluku. Dari tempat itu, sinabar dibawa antara lain ke Pulau Ambon dan Pulau Buru, serta ke Bogor dan Sukabumi melalui pelabuhan Surabaya dan Jakarta.
Sinabar dimasak menjadi merkuri, lalu diedarkan ke beberapa daerah. Sebagian diekspor ke banyak negara di Asia hingga Amerika. Temuan sinabar di Gunung Tembaga mengubah posisi Indonesia, dari pengimpor merkuri terbesar menjadi produsen merkuri terbesar.
Di Aceh, pemakaian merkuri juga banyak terjadi. Aktivitas tambang bermerkuri itu tersebar di Kabupaten Aceh Jaya, Pidie, Aceh Selatan, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Tengah. Di Aceh Jaya, 800 lubang tambang aktif dioperasikan dan memanfaatkan 192 ton merkuri per tahun.
Kondisi serupa terpantau di Sumatera Barat, Jambi, dan Sumatera Selatan. Razia Kepolisian Resor Solok Selatan, dua bulan lalu, mendapati 1 kilogram merkuri di toko emas. Kepala Polres Solok Selatan Ajun Komisaris Besar M Nurdin juga menghentikan aktivitas tambang sebagai konsekuensi Konvensi Minamata. ”Tetapi, masih ada petambang nekat beroperasi,” katanya.
Di Provinsi Jambi, penggunaan merkuri marak di Kabupaten Merangin, Bungo, Sarolangun, Tebo, dan Kabupaten Batanghari, serta mengakibatkan pencemaran pada anak-anak Sungai Batanghari.
Tahun lalu, Laboratorium Balai Besar Air Tawar Jambi mendeteksi sampel air Sungai Pangkalan Jambu, di Kabupaten Merangin, salah satu area tambang rakyat terparah di Jambi. Hasilnya, kandungan merkuri 5,045 ppb (0,005045 ppm) telah melampaui ambang batas. Nilai ambang batas merkuri untuk air baku 0,001 ppm.
Faktor ekonomi
Petambang beralasan faktor ekonomi yang memicu maraknya pertambangan emas skala kecil. Di lokasi tambang Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, ada sekitar 5.000 petambang beroperasi dalam lubang-lubang berkedalaman hingga 300 meter. Meski ada ancaman longsor, mereka bertahan karena tergiur penghasilan tinggi hingga Rp 400 juta per bulan.
Sekretaris Kasepuhan Adat Cisitu Yoyo Yohenda yang kampungnya dekat dengan aktivitas penambangan emas mengatakan, sudah 70 pekerja tambang emas tewas di Cibeber, Cilograng, dan Bayah. Yang terparah akhir 2016, ketika 11 pekerja tewas di Cibeber tertimbun tanah longsor.
Menurut Kepala Dinas Perindustrian, Energi, dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Sukabumi Adi Purnomo, masih ada celah untuk penggunaan merkuri. ”Dilarang di tambang, tetapi masih digunakan di industri kesehatan dan kosmetik, maka kemungkinan bocornya masih tinggi,” katanya.
Berdampak luas
Direktur Jenderal Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan MR Karliansyah mengatakan, dampak tambang rakyat bermerkuri sudah terlalu luas. Selain merusak lanskap alam, juga mencemari lingkungan di air, udara, dan sedimen. ”Hasil pemantauan sejak 2010 di Aceh, Sumatera Barat, dan Jambi menunjukkan kadar merkuri dalam air sungai melewati ambang batas,” ujar Karliansyah.
Menurut Syafei, peredaran merkuri untuk pertambangan emas skala kecil diwarnai praktik mafia. Kondisi itu menempatkan tambang rakyat seolah sumber masalah. ”Rakyat tidak mengerti ada mafia bermain. Yang penting bagi rakyat, barangnya ada,” kata Syafei.
Kementerian ESDM juga telah membuat Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Penggunaan Merkuri pada Pengolahan Emas 2014-2018. Namun, lanjut Syafei, pelaksanaan RAN mandek di tengah jalan.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama pada Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, penertiban usaha pertambangan sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah. Pemerintah pusat turut terlibat dalam hal pengawasan dan koordinasi, termasuk pelibatan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap izin usaha pertambangan di seluruh wilayah Indonesia.
”Sejak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terbit, kewenangan penerbitan izin berikut tata kelolanya ada di pemerintah daerah (provinsi). Pemerintah pusat hanya bersifat supervisi dan koordinasi,” kata Dadan.
(BAY/SEM/AIN/ZAK/ITA/RAM/FRN/ICH/ISW/RTS/APO)