Berbagi Inspirasi Pendidikan yang Memikat Hati Banyak Anak Muda
Di era digital yang riuh dengan kehidupan bermedia sosial, berbagi inspirasi pendidikan hingga pelosok negeri bukan lagi dianggap pengorbanan. Dengan kerelaan hati, banyak anak muda yang sengaja meninggalkan kehidupan kota yang semarak menuju pulau atau daerah pelosok untuk menyapa anak-anak negeri yang sempat ”terlupakan”.
Menjelajahi pelosok negeri nun jauh, yang bertolak belakang dengan suasana kehidupan kota, tak asing lagi dilakoni anak-anak muda masa kini. Ada yang sekadar datang di akhir pekan, ada pula yang menetap untuk mengabdi. Kedatangan mereka kini dengan misi yang sama, yakni memberi inspirasi bagi anak-anak di pelosok negeri untuk berani menggapai mimpi setinggi langit.
Semangat berbagi bagi pendidikan anak negeri dapat tersalurkan dengan hadirnya sejumlah komunitas peduli pendidikan. Dengan semangat sukarela, mereka merogoh kantong sendiri untuk menyambangi siswa di pulau atau daerah pelosok untuk berbagi kisah soal pekerjaan, bermain bersama, bernyanyi, menari, dan merasakan denyut kehidupan pelosok negeri Indonesia yang sesungguhnya. Tentu tak lupa, pengalaman nyata itu dibagi lewat akun media sosial masing-masing. Dan, keseruan itu mampu menular seperti virus.
Semangat berbagi bagi pendidikan anak negeri dapat tersalurkan dengan hadirnya sejumlah komunitas peduli pendidikan.
Banyak yang sudah mengenal Kelas Inspirasi. Ini jadi kesempatan bagi para profesional menjadi relawan di banyak kota untuk menggelar satu hari masuk ke sekolah (SD). Mereka mengenalkan profesi dan melakukan aktivitas pendidikan yang menginspirasi siswa.
Ada juga komunitas yang khusus mengajak para profesional untuk menyambangi anak-anak yang tinggal di sejumlah pulau kecil. Namanya Komunitas Inspirasi Jelajah Pulau (KIJP). Awalnya dari berbagi inspirasi pendidikan di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, pada 2014. Kegiatan mereka terus berlanjut dengan merekrut semakin banyak relawan inspirasi pendidikan. Tahun ini, kegiatan berbagi inspirasi pendidikan dilakukan di Kepulauan Seribu, Pulau Panjang di Banten, dan Pulau Karimunjawa di Jawa Tengah.
Para profesional yang bergabung mesti ikut seleksi. Mereka yang berminat mengikuti kegiatan ini mesti megirim esai pendek tentang apa yang bisa mereka berikan bagi anak-anak pulau dari profesi mereka. Mereka yang mendapatkan panggilan untuk bergabung harus bersedia ditempatkan di pulau mana saja. Siap-siap untuk bertemu dengan banyak teman baru yang bakal menjadi jaringan pertemanan selanjutnya.
Pengalaman berbagi inspirasi para profesional di Komunitas KIJP salah satunya berlangsung di Pulau Panjang, Kabupaten Serang, Banten, pada 22-24 Oktober 2017. Ketika menjejakkan kaki di dermaga Pulau Panjang, sinar matahari yang menyengat kulit dan membuat tubuh berkeringat tak menyurutkan semangat peserta. Segera, aksi swafoto dengan beragam gaya pun dimulai. Membarui status dan mengunggah foto diri di media sosial seketika dilakukan.
Peserta bakal mengajar di dua SD negeri di Pulau Panjang. Di hari Minggu peserta melakukan penjajakan dengan mengajak para siswa bermain, bernyanyi, dan menonton bersama. Lalu, di hari Senin setiap peserta menjadi ”guru” sehari untuk memperkenalkan profesi mereka dengan cara-cara yang unik dan kreatif serta menyenangkan.
”Meskipun sifatnya relawan, kegiatan ini dilakukan secara profesional. Semua dilakukan dengan kerja bareng dan berbagi tanggung jawab,” kata Domy Aji, profesional bank yang juga pengurus KIJP.
Peserta yang ikut berlayar ke pulau menanggung sendiri biaya perjalanan dan kebutuhan lain. Bahkan, relawan juga dengan serius menyiapkan sejumlah perangkat pembelajaran di kelas untuk memudahkan siswa memahami profesi yang hendak dikenalkan.
Domy yang juga ikut mengajar di SDN Kebalen untuk memperkenalkan profesi bekerja di bank mendapat dukungan tempatnya bekerja. Salah satu bank swasta ini punya kebijakan memberikan satu hari libur bagi karyawan untuk melakukan kegiatan sosial di masyarakat. ”Saya cuma cuti sehari karena satu hari lagi ambil jatah libur melakukan kegiatan sosial,” ujar Domy.
Pengalaman pertama
Sebagian besar peserta yang ikut berlayar ke Pulau Panjang ternyata baru pertama kali bergabung dengan KIJP. Informasi adanya kegiatan mengajar dari kalangan profesional kepada anak-anak pulau umumnya diketahui dari media sosial KIJP. Banyak foto ”berbicara” dari relawan dokumentasi KIJP yang menyentuh hati peserta, membuat mereka tertarik untuk juga bisa terlibat langsung.
”Saya suka travelling yang sifatnya terbuka dengan orang-orang yang belum kenal. Liburan sambil mengajar anak-anak pulau rasanya menyenangkan. Saya senang berbagi,” kata Wiwiek Sulistyowati (30), staf akunting di perusahaan di Bekasi yang juga penulis resep masakan.
Sementara bagi Dyah Amalia Ramadhani, ahli gizi dari Jakarta, berbagi inspirasi kepada siswa SD bagai candu. ”Saya baru kali ini ikut KIJP ke pulau. Sebelumnya pernah ikut Kelas Inspirasi di Jakarta. Mengikuti kegiatan berbagi inspirasi ternyata membuat saya belajar banyak. Saya yang tadinya orang yang tertutup menjadi lebih mudah bergaul dengan orang-orang yang baru kenal,” tutur Dyah yang mengajar di SDN Pulo Panjang.
Mengikuti kegiatan berbagi inspirasi ternyata membuat saya belajar banyak. Saya yang tadinya orang yang tertutup menjadi lebih mudah bergaul dengan orang-orang yang baru kenal.
Bagi Anastasia Anindyasarathi (24), arsitek asal Bandung, pengalaman pertamanya ini sangat mengesankan. Awalnya merasa deg-degan untuk mengajar di dalam kelas. Dia dengan serius mempersiapkan alat peraga dan permainan yang dikreasi dengan mencari inspirasi di internet untuk menarik perhatian siswa.
”Ini pengalaman yang menyenangkan, bisa melihat langsung kehidupan anak-anak di pulau,” kata Anastasia.
Bayangkan keseruan hidup di pulau yang sebenarnya tidak jauh-jauh amat dari ibu kota Jakarta. Listrik hanya hidup dari sore hari hingga pukul 06.00. Sinyal handphone mati-hidup. Belum lagi harus tidur bersama di lantai beralas karpet dan antre kamar mandi mulai dari subuh. Namun, situasi ini tak membuat mereka berkeluh kesah. Berbagi cerita dan tawa menjadi bagian yang mengakrabkan para profesional yang sebagian besar baru pertama kali kenal. Kekompakan yang terjalin di pulau ini memudahkan mereka beradaptasi dengan keterbatasan hidup di pulau.
Berbagi inspirasi
Kedatangan para profesional untuk menyapa anak-anak pulau yang dilakukan relawan KIJP bukan sekadar sambil lalu. Mereka mulai berada di sekolah sejak Minggu siang yang terik untuk mencairkan suasana bersama ratusan siswa di sekolah masing-masing.
Selain bermain dan bernyanyi bersama di halaman sekolah, secara bergantian siswa diajak untuk menonton film. Kegiatan yang tak kalah menarik saat siswa diajak melakukan art and brush, seni menggambar yang membuat kelas jadi berantakan dengan cat warna bertebaran di lantai dan badan. Siswa begitu menikmati saat diminta meniup cat warna cair di kertas putih dengan sedotan plastik untuk menampilkan gambar abstrak.
”Kami ajak siswa untuk bermain-main dengan beberapa kegiatan yang menyenangkan yang mungkin jarang mereka rasakan di sekolah,” kata Takayani Febrianti yang bekerja di bidang teknologi informasi.
Taka pun segera jadi ”guru favorit” siswa SDN Kebalen karena dengan riang mengajari sejumlah siswa untuk menyanyi dan menari. ”Dulu anak-anak sering takut dengan saya. Tapi, saya mencari cara supaya mereka merasa dekat dan nyaman. Sekarang saya merasakan diri saya lebih peduli kepada anak-anak,” ujar Taka.
Berbagi inspirasi yang sebenarnya dilaksanakan pada Senin dimulai sejak pagi. Bahkan, para profesional ini merasakan kembali mengikuti upacara bendera di halaman sekolah.
Seusai upacara, guru kelas menyerahkan sepenuhnya pembelajaran sepanjang hari ini ke tangan para profesional. Pengalaman menjadi ”guru” yang menginspirasi siswa pun dimulai dengan gaya masing-masing. Mereka harus mampu menarik perhatian anak-anak SD yang memang aktif dan punya rasa ingin tahu yang besar.
Taka yang mengenalkan dirinya sebagai tukang komputer memakai dua boneka untuk membawa imajinasi siswa pada suasana di sebuah kantor. Para siswa pun penasaran untuk mencoba boneka tangan secara bergantian.
Sementara itu, Subki Abdul Qadir yanga akrab disapa Uki memperkenalkan karier sebagai presenter televisi. Dengan kamera digital, Uki merekam gambar siswa yang diajarkannya menjadi presenter cilik.
Ada pula relawan yang memperkenalkan profesi insinyur. Ahadiyono memakai pakaian insinyur di lapangan lengkap dengan helm kerja saat berbagi kisah soal pekerjaannya kepada siswa.
Tak kalah seru, siswa di SDN Pulo Panjang antusias belajar bahasa Korea dari Emma Sabatini. ”Annyeonghaseyo...,” kata Emma yang memakai pakaian Korea saat memperkenalkan profesi penerjemah bahasa Korea. Secara bergantian, Emma mengajak siswa untuk berani maju mengucapkan bahasa Korea tersebut.
Anak-anak pulau yang umumnya terbatas wawasannya soal pekerjaan yang kelak bisa dipilih itu merasakan langsung berinteraksi dengan beragam profesi. Mereka mulai tahu ada profesi spesialis lingkungan, pengajar bicara bagi penderita tunarungu atau auditor, atau profesi yang tak pernah diketahui. Para guru pun merasa asing dengan beragam profesi dari relawan.
Ada pula relawan yang memperkenalkan profesi insinyur. Ahadiyono memakai pakaian insinyur di lapangan lengkap dengan helm kerja saat berbagi kisah soal pekerjaannya kepada siswa.
Bahkan, profesi dokter pun belum tentu dijumpai di pulau. ”Saya senang bisa melihat bu dokter. Saya belum pernah ke dokter,” kata Nurmala, siswa kelas IV SDN Pulo Panjang. Di pulau ini memang tidak ada dokter yang melayani di puskesmas.
Koordinator KIJP Pulau Panjang Bagus Eko Nurcahyo yang juga pengusaha mengatakan, setelah relawan datang ke pulau, ada kelanjutan acara bagi anak dan guru di pulau. Kegiatan Camp Anak Pulau digelar setiap tahun untuk memberikan kesempatan satu siswa dan guru dari setiap sekolah yang dilayani KIJP untuk melihat ibu kota Jakarta. ”Mereka berkesempatan untuk melihat secara nyata pekerjaan dan perusahaan dari relawan yang pernah datang ke sekolah,” kata Bagus.
Kapten KIJP Novita Permatasari mengatakan, KIJP yang berbagi inspirasi pendidikan kepada anhak-anak pulau sejak 2014 ini berharap dapat terus menemani anak-anak membangun mimpi mereka, memberi semangat baru, dan lebih membawa manfaat bagi pendidikan anak-anak Indonesia. KIJP berkomitmen terus mewadahi para profesional untuk terjun langsung sebagai relawan dan turut berkontribusi memajukan pendidikan anak-anak Indonesia.
”KIJP juga berkomitmen untuk terus menjalin kerja sama dan bersinergi dengan berbagai pihak agar dapat menebar lebih banyak kebaikan untuk Indonesia,” kata Novita.
Seribu guru
Jika ingin berbagi inspirasi dengan suasana yang lebih rileks, ada pilihan untuk bergabung dengan Komunitas 1000 Guru. Komunitas ini menyelipkan waktu libur peserta yang ingin berwisata ke daerah-daerah Indonesia yang eksotis dengan semangat kepedulian berbagi kepada siswa di daerah yang mereka kunjungi.
Yang bergabung di Komunitas 1000 Guru mulai dari mahasiswa hingga profesional. Secara berkelompok, peserta masuk ke dalam kelas, mengajak para siswa yang terbatas fasilitas pendidikannya di sekolah, dengan beragam aktivitas yang menarik. Siswa diberi topi-topi yang menarik, ada permainan, ada hadiah. Selama beberapa jam, siswa diajak bergembira bersama kakak guru yang datang dari sejumlah daerah di seluruh Indonesia.
Pada September lalu, Komunitas 1000 Guru menggelar kegiatan inspirasi pendidikan bersama restoran cepat saji KFC Indonesia. Kegiatan berbagi inspirasi pendidikan digelar di SDN Mata Wa Matee di Desa Lolowano, Kecamatan Tana Righu, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.
Kakak guru yang berasal dari Jakarta, Bandung, Bali, hingga Kalimantan, mulai dari berprofesi sebagai dokter, bidan, pramugari, seniman, vlogger/blogger, dosen, karyawan KFC Indonesia, hingga mahasiswa, antusias menyaksikan semangat anak-anak. Perjalanan yang cukup jauh dengan mobil menuju sekolah yang ditempuh sekitar dua jam dari ibu kota Tambolaka, Sumba Barat Daya, terbayar dengan keceriaan anak-anak.
Tinggal di desa yang kering, belum dialiri listrik dan sinyal telepon tak membuat anak-anak generasi penerus bangsa di salah satu pelosok negeri ini patah semangat bersekolah meskipun sehari-hari siswa belajar di enam ruang kelas sempit yang dindingnya dari anyaman bambu yang tak sepenuhnya sampai ke atap seng dan daun, bahkan ada yang sudah berlubang. Mereka berbagi duduk di bangku bambu dan menginjak lantai beralaskan tanah. Mereka pun diajar sebagian besar guru honorer, ada yang lulus SMA dan masih melanjutkan kuliah.
Tinggal di desa yang kering, belum dialiri listrik dan sinyal telepon tak membuat anak-anak generasi penerus bangsa di salah satu pelosok negeri ini patah semangat bersekolah.
Suasana akrab segera tercipta saat sekitar 25 kakak guru memperkenalkan diri satu per satu. Saat seorang kakak guru yang berasal dari Jakarta bertanya di mana Jakarta, dengan serempak dan suara lantang, para siswa menjawab, ”Di sana...,” seraya tangan mereka menunjuk ke arah jalan keluar desa.
Pun ketika ditanyakan di mana Kota Bandung, Bogor, atau Kalimantan Timur, misalnya, jawaban siswa tak berubah. ”Di sana....” Jawaban lugu anak-anak ini begitu melekat dalam ingatan kakak guru dalam rombongan KFC-Komunitas 1000 Guru yang datang ke pelosok dengan semangat travelling dan mengajar.
Seusai perkenalan, pengajar dari Komunitas 1000 Guru mengajak siswa masuk ke kelas masing-masing. Lalu digelarlah beragam kegiatan, dari perkenalan profesi, menyanyi, hingga games.
Para siswa senang karena mereka memakai aneka topi bertuliskan nama, mendapat tas sekolah, mendapat hadiah jika berani maju atau menjawab pertanyaan. Di dalam kelas, kakak guru banyak membawa alat peraga, seperti peta Indonesia berukuran besar, gambar planet-planet, lembar kerja siswa yang sederhana dan bergambar, hingga buku bacaan dan alat tulis yang menarik. Anak-anak pedalaman ini diajak bermain dan bergembira dengan kegiatan di luar kelas.
Tak terasa, waktu sekitar tiga jam berlalu. Acara mengajar ditutup dengan membagi makanan bergizi, yakni bubur kacang hijau dan telur rebus, kepada semua siswa yang sudah membawa alat makan dari rumah.
Ketika para kakak guru dan siswa asyik bercengkerama di halaman sekolah sambil berfoto ria dengan telepon genggam atau kamera, sejenak Eka Alfiana Ramasari (25), bidan PNS di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, menyingkir ke salah satu ruang kelas. Dia duduk tertegun dengan mata berkaca-kaca sambil melihat foto-foto bersama anak-anak di kameranya.
”Saya benar-benar terharu dan tersentuh melihat anak-anak yang bersemangat. Mungkin di Kalimantan juga banyak sekolah yang seperti ini, yang anak-anaknya juga tidak beralas kaki ke sekolah. Tapi, ini pengalaman saya yang pertama melihat langsung potret kehidupan dan pendidikan di pedalaman,” kata Eka dengan suara bergetar.
Rasa syukur pun dituturkan Eka untuk liburan bermakna bersama Komunitas 1000 Guru. Eka yang awalnya berencana liburan ke Thailand, lalu tiba-tiba dibatalkan agen perjalanan, lalu beralih ke Yogyakarta, tapi lagi-lagi batal, tak sengaja melihat Instagram story temannya yang menunjukkan soal Komunitas 1000.
”Saya tertarik dengan ajakan untuk libur di pulau yang indah sambil berbagi inspirasi dengan jadi pengajar di sekolah pedalaman. Biarpun hanya ikut seorang diri, ketika bertemu peserta lainnya, saya merasa langsung dekat dan punya teman libur bersama,” tutur Eka.
Byanmara, mahasiswa semester V Institut Teknologi Bandung, sudah beberapa kali ikut Komunitas 1000 Guru berjalan-jalan ke daerah pedalaman seraya menyisihkan waktu untuk menjadi pengajar di SD terpencil. Bahkan, dia jadi relawan untuk regional Bandung.
”Kondisi pendidikan di daerah pelosok sungguh memprihatinkan. Di Jawa Barat pun kami menemukan itu. Meskipun saya hanya bisa melakukan hal sederhana, saya berharap yang kami lakukan memberi inspirasi untuk anak-anak,” kata Byanmara.
Travelling bermakna
Komunitas 1000 Guru digagas Jemi Ngadiono pada 2012 yang ingin menyajikan cara travelling yang bermakna. Menurut Jemi, Komunitas 1000 Guru mengakomodasi anak-anak muda, mulai dari mahasiswa hingga profesional muda, yang hobi jalan-jalan alias travelling, tak sekadar mengeksplor keindahan alam, daerah-daerah pedalaman di Indonesia yang menawarkan pengalaman dan pemandangan eksotis. Kesempatan jalan-jalan ke penjuru Indonesia di akhir pekan juga bisa jadi kesempatan untuk menjadi relawan pendidikan.
Dalam perjalanan mengeksplorasi daerah-daerah pedalaman di banyak tempat di Indonesia, Jemi menemukan banyak anak yang tidak punya tas, tidak bersepatu, dan seragam lusuh saat sekolah. Ada pula anak-anak yang jarang ke sekolah. Pasalnya, mereka tidak sempat sarapan pagi, lalu pulang ke rumah, saat istirahat, dan tak kembali lagi ke sekolah.
Kesempatan jalan-jalan ke penjuru Indonesia di akhir pekan juga bisa jadi kesempatan untuk menjadi relawan pendidikan.
Jemi lalu membuat inisiatif untuk menjadikan semua orang sebagai guru bagi anak-anak pedalaman. Yang diajar bukanlah pelajaran sekolah, tetapi sekadar berbagi cerita soal pekerjaan atau profesi yang mungkin belum pernah didengar atau dibayangkan siswa di pedalaman. Juga soal Indonesia yang luas, permainan yang asyik dan menyenangkan sambil memasukkan materi soal lingkungan hidup, dan banyak aktivitas ringan lainnya.
”Kalau sambil jalan-jalan, orang diajak berdonasi untuk pendidikan dan berbagi untuk pendidikan serasa tidak terpaksa. Banyak yang akhirnya ketagihan dan ikut memberi inspirasi dengan mengajar siswa SD di daerah pedalaman,” kata Jemi.
Di hari terakhir bersama, para pengajar mengucapkan salam perpisahan dengan bertukar kado yang harus diselipkan kata-kata mutiara. ”Biar ada kenangan di antara peserta dan termotivasi untuk berbagi lagi bagi anak-anak pedalaman,” kata Jemi.
Guru muda mengabdi
Ada pula anak-anak muda yang memilih untuk mengabdi secara menetap di pelosok negeri. Mereka menjadi guru bagi anak-anak daerah 3T atau terdepan, terluar, dan tertinggal.
Menginjakkan kaki di pelosok negeri yang dikenal dengan sebutan daerah 3T juga dialami belasan ribu sarjana pendidikan dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia selama enam tahun terakhir. Lewat program Sarjana Mendidik di daerah 3T (SM-3T), mereka ditempa selama satu tahun menjadi guru di sekolah di daerah 3T. Seusai menyandang guru profesional setelah lulus pendidikan profesi guru selama satu tahun, mereka diangkat jadi guru tetap di daerah 3T, salah satunya lewat program Guru Garis Depan.
Guna mempertahankan spirit menjadi pengabdi negeri yang tulus bagi anak-anak bangsa, para alumni SM-3T membentuk Yayasan SM-3T Institute pada 2016. Wadah ini untuk menghimpun kiprah alumni SM-3T agar tetap berbagi kepedulian untuk kemajuan pendidikan dan memberi inspirasi bagi guru, siswa, dan masyarakat di daerah 3T.
Ketua Yayasan SM-3T Institute Akhiruddin Haer mengatakan, alumni SM-3T di sejumlah daerah dengan inisiatif bersama dan mendanai sendiri kegiatan untuk menggelar SM-3T Peduli (membagikan tas, sepatu, alat tulis bagi siswa daerah 3T) dan Mengedukasi Anak Negeri. ”Di akhir pekan, selama 2-3 hari, 20-30 alumnus SM-3T menggelar kegiatan di wilayah mereka, yang fokusnya di daerah yang sangat pelosok. Mereka menyapa para siswa dengan menggelar belajar sambil bermain yang asyik. Tak jarang juga terlibat dengan kegiatan masyarakat dan pelatihan guru,” ujar Akhiruddin yang merupakan alumnus SM-3T angkatan pertama.
Anak-anak muda yang menjadi guru di daerah 3T ini bahu-membahu dengan merogoh kantong sendiri untuk berbagi inspirasi ke banyak daerah pedalaman. Fokus mereka terutama untuk mempekuat program literasi karena kemampuan dasar membaca, menulis, dan menghitung (calistung) siswa masih rendah. Selain juga untuk memperkuat kemampuan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan.
Semangat berbagi inspirasi anak-anak muda generasi milenial, yang tak pelit mengeluarkan dana dari kocek pribadi, sungguh menggugah hati. Ajakan kepada anak muda lainnya untuk peduli berkembang lewat media sosial.
”Kami pun selalu berbagi inspirasi soal Indonesia yang beragam. Dalam setiap kunjungan ke sekolah, kami menampilkan seni budaya dari beragam daerah. Kami ingin mengajak anak-anak didik kami untuk punya semangat toleran dalam kehidupan,” ujar Akhiruddin.
Semangat berbagi inspirasi anak-anak muda generasi milenial, yang tak pelit mengeluarkan dana dari kocek pribadi, sungguh menggugah hati. Ajakan kepada anak muda lainnya untuk peduli berkembang lewat media sosial.
Mereka begitu peduli kepada saudara-saudara sebangsa nun di pelosok negeri meskipun dengan cara dan kontribusi yang sederhana.
Nah, terbuka peluang bagi profesional lain untuk memberi inspirasi kepada anak-anak pulau hingga pelosok negeri.