Tragedi Hidup dalam Bayang Maut Merkuri
Di tengah besarnya ancaman nyawa akibat paparan limbah merkuri, masih banyak petambang emas skala kecil tak menyadari bahwa mereka tengah menjalani hidup dalam bayangan maut.
Petambang umumnya mengenal logam berat merkuri (Hg) yang dipakai dalam pemurnian emas lebih sebagai bahan kimia biasa. Mereka pun tak memahami dampak yang timbul ketika tubuh terpapar merkuri.
Kesimpulan ini Kompas dapatkan selama menjelajahi kantong-kantong pertambangan emas skala kecil (PESK) di Nusantara, sepanjang pekan lalu. Mulai dari Sumatera hingga Maluku, para petambang di beragam wilayah itu punya pandangan sama, yakni tak ambil pusing soal dampak merkuri.
”Kalau merkuri itu berbahaya, anak saya pasti sudah mati karena sering kecebur di air yang terkena merkuri,” ujar Teni Ismedi (35), pekerja di PESK Desa Sukamenang, Kecamatan Karang Jaya, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan.
Hal serupa dikatakan Dahlia (47), bekas petambang di PESK Pangkalan Jambu, Kabupaten Merangin, Jambi. Ia malah menanami kubangan bekas tambang dan pencucian emas dengan merkuri itu dengan padi. ”Hasilnya cukup bagus. Padi tumbuh subur,” ujarnya, tanpa khawatir soal kontaminasi merkuri dalam padinya.
Pekerja PESK di Gunung Botak, Maluku, Anggi, sehari-hari pun bekerja memurnikan emas dengan menggunakan merkuri tanpa perlindungan. Ia tak khawatir bersentuhan dengan merkuri. Tanpa masker ataupun sarung tangan yang semestinya dapat menangkal paparannya. Sehari-hari pun ia hanya bertelanjang dada di tempat pencucian emas.
Anggi mengaku tidak tahu bahwa limbah pengolahan itu dapat merusak lingkungan hingga berefek buruk pada kesehatan manusia. Setelah dijelaskan, ia pun mengangguk. Namun, Anggi tetap mengolah emas. ”Kalau mati, itu urusan Tuhan, bukan urusan merkuri,” ujarnya.
Perjalanan merkuri
Air raksa alias merkuri (hydrargyrum, Hg) berasal dari alam. Ia diolah dari batu sinabar (HgS) yang banyak terkandung di dalam gunung. Salah satu yang telah diketahui kandungannya ada di Gunung Tembaga, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Sejak beroperasi awal 2013, pertambangan liar batu sinabar marak di sana.
Sekitar 300 ton sinabar dihasilkan dari kawasan itu. Sinabar kemudian diangkut untuk dimasak di Pulau Ambon, Pulau Buru, dan sejumlah lokasi di Pulau Jawa, seperti Sukabumi dan Bogor. Dari tempat-tempat produksi itulah, merkuri didistribusikan ke berbagai wilayah Nusantara, mulai dari Aceh hingga Papua.
Umumnya pengguna memanfaatkan merkuri untuk aktivitas pemurnian emas di areal PESK. Hasil produksi merkuri bahkan diekspor lewat pasar gelap ke China, India, Amerika Serikat, dan sejumlah negara di Eropa.
Temuan sinabar di Gunung Tembaga akhirnya membawa Indonesia yang semula mengimpor merkuri kini menjadi produsen dan pengekspor merkuri terbesar di dunia. Badan Perdagangan Komoditas Dunia (UN Comtrade) mencatat peningkatan drastis ekspor merkuri dalam tiga tahun terakhir. Pada 2015, volume ekspor sebesar 283,7 ton atau naik dari tahun sebelumnya yang masih 0,8 ton. Tahun 2016, ekspor naik dua kali lipat lebih menjadi 680 ton. Sebagian besar ekspor itu ilegal, tak tercatat dalam data resmi Badan Pusat Statistik.
Di dalam negeri, merkuri sangat mudah didapat. Jual beli merkuri marak di sejumlah situs komersial. Harga jualnya pun terus turun. Tiga tahun lalu, harga merkuri Rp 2 juta per kilogram di Pulau Jawa, kini hanya Rp 450.000 per kilogram.
Ketika memasuki udara, merkuri akan terbawa angin dan akhirnya jatuh kembali ke bumi. Merkuri yang jatuh ke laut atau darat akan menguap, tetapi dapat pula mengikat bahan organik. Sebagian lagi terjebak di dalam gambut atau tanah.
Merkuri tidak dapat dihancurkan. Namun, dalam lingkungan air, unsur merkuri kemungkinan akan berikatan dengan sedimen dan mikroorganisme alami sehingga mengubahnya menjadi metilmerkuri, suatu senyawa logam organik yang lebih beracun dibandingkan merkuri murni.
Metilmerkuri menjadi bagian dari rantai makanan di ekosistem perairan, bersifat bioakumulasi dan biomagnifikasi, serta mudah terbawa oleh migrasi spesies air, seperti ikan dan kerang.
BaliFokus, lembaga swadaya di bidang peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, mengidentifikasi puluhan warga terkontaminasi merkuri tahun 2014. Lokasi penelitian itu ada di tiga hotspot PESK: Cisitu di Kabupaten Lebak, Sekotong di Kabupaten Lombok Barat, dan Bombana di Provinsi Sulawesi Tenggara. Di situlah terungkap betapa mengerikannya dampak kontaminasi merkuri pada tubuh manusia. Anak-anak ditemukan dalam kondisi cacat. Paparan merkuri di wilayah tempat tinggal mereka diketahui dalam kadar yang melampaui ambang batas.
BaliFokus, lembaga swadaya di bidang peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, mengidentifikasi puluhan warga terkontaminasi merkuri tahun 2014. Lokasi penelitian itu ada di tiga hotspot PESK: Cisitu di Kabupaten Lebak, Sekotong di Kabupaten Lombok Barat, dan Bombana di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Direktur Jenderal Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) MR Karliansyah prihatin karena dampak tambang rakyat bermerkuri sudah terlalu luas. Hasil pemantauan sejak tahun 2010 di Aceh, Sumatera Barat, dan Jambi menunjukkan kadar merkuri dalam air sungai melewati ambang batas.
Kajian KLHK di Dharmasraya, Sumbar, sedimen sungai mengandung merkuri di atas baku mutu, yakni 0,5 ppm hingga 86 ppm. Sepanjang aliran Sungai Batanghari itu memang marak aktivitas tambang emas. Limbah merkuri terbuang bebas ke sungai.
Begitu pula di Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya. Kandungan merkuri melebihi baku mutu, 0,593 ppm hingga 4 ppm.
Kadar merkuri pada rambut, darah, dan kuku kebanyakan warga di daerah PESK yang menggunakan merkuri, lanjutnya, menunjukkan adanya paparan melampaui ambang batas kesehatan. Berdasarkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kadar normal merkuri dalam darah antara 0,005 ppm dan 0,1 ppm. Namun, kadar merkuri pada sampel darah masyarakat di wilayah PESK di Maluku, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat mencapai empat kali lipatnya.
Kadar merkuri pada rambut, darah, dan kuku kebanyakan warga di daerah PESK yang menggunakan merkuri menunjukkan adanya paparan melampaui ambang batas kesehatan.
Pihaknya bekerja sama dengan kepolisian untuk mengentikan penggunaan merkuri pada PESK. Menurut Karliansyah, Presiden tidak melarang pertambangan. Namun, pemakaian merkuri dalam pertambangan dan pengolahannya itulah yang dilarang dengan alasan membahayakan kesehatan. Tambang berizin sudah harus menghentikan penggunaan merkuri pada 2020.
Gamang
Meski pemerintah telah meratifikasi Konvensi Minamata pada 13 September lalu, yang menandai penghentian peredaran merkuri secara bertahap, kegamangan masih terjadi di daerah.
Sebagian besar daerah lebih berkutat pada berbagai rangkaian operasi penegakan hukum. Mengenai peta jalan penghapusan merkuri, termasuk upaya pemulihan lingkungan yang hancur akibat terkontaminasi merkuri, daerah belum memilikinya.
Kepala Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi Nova Handayani pun hanya bergeming mengetahui makin luasnya penanaman padi di areal bekas tambang bermerkuri di wilayahnya. Di Pangkalan Jambu, Kabupaten Merangin, yang merupakan daerah terparah aktivitas PESK-nya, kini malah sudah mulai ditanami padi kembali di atas lahan bekas tambang.
Ia tahu persis bahwa butuh waktu dan perlakuan khusus untuk memulihkan lingkungan yang rusak akibat tambang emas bermerkuri. Namun, menurut Nova, pihaknya tak punya kendali mengatasi persoalan itu.
”Kalau kami katakan suatu wilayah sudah terkontaminasi merkuri, lalu (kami) bisa berbuat apa?” ujarnya.
Ia pun enggan mengungkap kondisi kualitas air di Sungai Batanghari yang menjadi jalur pembuangan limbah merkuri hasil tambang emas rakyat. ”Tidak bisa saya berikan datanya. Mohon pahami posisi saya,” lanjutnya.
Padahal, status kecemaran Sungai Batanghari sudah sejak 2011 mencapai kondisi terparah, yakni kategori tercemar berat (Kelas D), dari sebelumnya tercemar sedang (Kelas C). Kondisi tersebut diketahui setelah melalui penelitian sampel air sungai di 16 titik dari hulu hingga hilir. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kekeruhan air sangat tinggi di kawasan hulu, yang diduga penyebabnya adalah maraknya PESK.
Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Zulkarnain Adinegara sudah memetakan peredaran merkuri di kawasan tersebut, mulai dari pemasok hingga petambang. Akan ada operasi khusus untuk memutus peredaran distribusi merkuri dari pemasok ke petambang.
Operasi ini akan melibatkan sejumlah instansi terkait yang memiliki peranan tersendiri. Dalam pelaksanaannya akan dilakukan upaya sosialisasi dan penindakan. ”Namun, kami menekankan agar tetap mengedepankan langkah sosialisasi terlebih dahulu,” ujar Zulkarnain.
Pemutusan rantai pasok tersebut, lanjut Zulkarnain, diharapkan dapat menghentikan kegiatan penambangan emas ilegal di kawasan tersebut. ”Jika mau tetap menambang, harus ada izin dan menggunakan bahan lain selain merkuri,” ujarnya.
Berdasarkan hasil uji laboratorium Dinas Lingkungan Hidup dan Pertamanan (DLHP) Kabupaten Musi Rawas Utara, kandungan merkuri sudah tersebar di sejumlah titik di Sungai Muara Tiku. Kandungan merkuri tersebut diduga mengalir hingga Sungai Rupit, bahkan diduga mengalir ke hilir Sungai Musi.
Berdasarkan hasil uji laboratorium Dinas Lingkungan Hidup dan Pertamanan Kabupaten Musi Rawas Utara, kandungan merkuri sudah tersebar di sejumlah titik di Sungai Muara Tiku. Kandungan merkuri tersebut diduga mengalir hingga Sungai Rupit, bahkan diduga mengalir ke hilir Sungai Musi.
Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan DLHP Imrokie menyebutkan, kandungan merkuri telah ada di hulu hingga hilir Sungai Muara Tiku. Kondisi terparah ada di kawasan tengah dengan kandungan merkuri sudah ada di atas ambang batas yang ditentukan. ”Kandungan merkuri sulit terurai. Jika tidak ditutup, dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang berbahaya bagi masyarakat,” ujarnya.
Untuk itu, sejak dua minggu lalu, pihaknya telah berkoordinasi dengan Polres Musi Rawas untuk menghentikan penambangan liar dimulai dari memutus rantai perdagangan merkuri. ”Kewenangan untuk melakukan penindakan adalah kepolisian, sedangkan kami akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat,” ujarnya.
Identitas pelaku
Polres Tapanuli Selatan juga telah menangkap dua pekerja di tambang emas ilegal di Kecamatan Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Dari kawasan tambang ilegal itu, polisi menemukan dua botol merkuri dan dua gumpalan emas.
”Kami masih terus menyelidiki kasus ini untuk menangkap pemodal yang mengendalikan tambang emas ilegal itu. Kami sudah mengantongi identitas pemodal berinisial HS itu,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Tapanuli Selatan Ajun Komisaris Ismawansa.
Ismawansa mengatakan, pelaku kemungkinan sudah bertahun-tahun melakukan penambangan ilegal. Pasalnya, di sekitar kawasan tambang itu terdapat empat lubang bekas galian berdiameter sekitar 1,5 meter dengan kedalaman mencapai 40 meter. Para pekerja menggali lubang itu secara manual dan tanahnya diangkut untuk diolah dengan mesin gelundung. ”Untuk memisahkan emas dengan batuan mineral, mereka menggunakan merkuri,” lanjutnya.
Limbah merkuri hasil olahan itu pun dialirkan ke sungai kecil yang berada di dekat mesin gelundung. Menurut Ismawansa, sungai dengan lebar sekitar 2 meter itu mengalir ke beberapa desa di Kecamatan Angkola Selatan dan digunakan untuk keperluan minum, memasak, mandi, dan mencuci.
Namun, ia belum memastikan status kawasan tambang ilegal itu. Tambang tersebut berada sekitar 10 kilometer dari permukiman warga terdekat, yakni Desa Dolok Godang. Kawasan itu juga jauh dari ladang warga dan hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki. Keberadaan tambang emas liar telah sangat meresahkan masyarakat karena bahaya merkuri di dalamnya. (NSA/RAM/ICH/BRO/FRN)