Ekspor Meningkat, tetapi Surplus Perdagangan Menyusut
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski terjadi peningkatan ekspor, pemerintah tetap harus waspada karena surplus neraca perdagangan menurun. Ini berarti peningkatan impor lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekspor. Kondisi ini terjadi karena ketergantungan terhadap bahan baku impor masih tinggi.
Badan Pusat Statistik melaporkan, nilai ekspor Indonesia pada Oktober 2017 mencapai 15,09 miliar dollar AS, sedangkan nilai impornya mencapai 14,19 miliar dollar AS. Dibandingkan dengan September 2017, nilai ekspor Oktober meningkat sebesar 3,62 persen, sedangkan nilai impor meningkat sebesar 11,04 persen.
Bhima Yudistira Adinegara, ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef), mengatakan, peningkatan ekspor terjadi lebih karena naiknya harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia. Harga minyak mentah naik dari 52,47 dollar AS per barrel menjadi 54,02 dollar AS per barrel selama Oktober 2017.
Nilai ekspor Indonesia pada Oktober 2017 mencapai 15,09 miliar dollar AS, sedangkan nilai impornya mencapai 14,19 miliar dollar AS.
Oleh karena itu, Bhima menilai, kenaikan ekspor dari industri pengolahan bersifat semu. ”Jumlah ekspor kita tampak begitu tinggi karena CPO (minyak sawit mentah) dimasukkan ke dalam industri olahan,” kata Bhima, saat dihubungi Kompas, Rabu (15/11).
Di sisi lain, lanjut Bhima, ketergantungan industri kita terhadap bahan baku impor masih cukup tinggi. Sektor farmasi, misalnya, sekitar 70 persen bahan bakunya berasal dari impor. Industri lainnya yang memerlukan bahan baku impor yang tinggi adalah tekstil dan plastik.
”Kalau kita terlalu bergantung, itu tidak baik untuk ekspor. Harga kita otomatis jadi lebih mahal dan tidak kompetitif di pasar dunia,” ucap Bhima.
Negara-negara utama yang menjadi tujuan ekspor nonmigas Indonesia adalah China, Amerika Serikat, dan Jepang. Ketiga negara itu berperan sebesar 36,74 persen terhadap total ekspor Indonesia.
Selama periode Januari-Oktober 2017, China menjadi negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai mencapai 16,91 miliar dollar AS, Amerika berada di peringkat ke-2 dengan nilai 14,21 miliar dollar AS, diikuti Jepang sebesar 11,89 miliar dollar AS. Bhima menjelaskan, permintaan China meningkat karena industri manufaktur mereka sedang berkembang.
Menurut sektornya, industri pengolahan menjadi kontributor ekspor terbesar dengan persentase sebesar 74,48 persen senilai 103,13 miliar dollar AS selama periode Januari-Oktober 2017.
Negara-negara utama yang menjadi tujuan ekspor nonmigas Indonesia adalah China, Amerika Serikat, dan Jepang.
Produksi tumbuh
Febrio Kacaribu, ekonom dari Universitas Indonesia, menilai, tingginya impor bahan baku menunjukkan industri pengolahan sedang bertumbuh di Indonesia.
”Tentu kita mengharapkan nantinya menggunakan bahan baku dari dalam negeri. Yang harus diawasi adalah agar angka impor bahan baku tetap di bawah ekspor manufaktur,” ujar Febrio.
Golongan bahan baku atau penolong menjadi barang yang terbesar diimpor dengan persentase sebesar 75,89 persen, senilai 10,77 miliar dollar AS. Barang modal mengikuti setelahnya dengan persentase 15,29 persen, sebesar 2,17 miliar dollar AS. Adapun impor barang konsumsi sebesar 8,82 persen atau sebesar 1,25 miliar dollar AS.
Dalam periode Januari-Oktober 2017, impor ketiga jenis barang itu meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Bahan baku atau penolong meningkat sebesar 16,32 persen, barang modal meningkat sebesar 9,54 persen, sedangkan barang konsumsi meningkat sebesar 13, 48 persen. (DD16)