Kampung Vietnam yang Hampir Meninggalkan Perang
Kampung Yomakan, Distrik Rumberpon, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat pernah dijuluki sebagai Kampung Vietnam karena penduduknya yang gemar menangkap ikan menggunakan bom atau bopis. Kini kebiasaan itu berangsur hilang karena muncul kesadaran pelestarian lingkungan.
Sepuluh anak berusia 3-7 tahun duduk menyimak cerita Kepala Bidang Perpustakaan Teluk Wondama Anneke R Morin atau Mama Morin tentang legenda Kampung Yomakan, pertengahan Agustus lalu. Legenda ini bercerita tentang Sawasemaria, nenek moyang warga Yomakan, saat mengajak makan warga, termasuk dari marga lain.
“Yo makan, yo makan. Akhirnya kampung ini diberi nama Yomakan,” kata Mama Morin mengakhiri ceritanya.
Cerita tersebut mengandung makna tentang kebersamaan warga Yomakan serta kelimpahan sumber daya alam di darat dan di laut yang lebih dari cukup untuk menghidupi seluruh warga. Sebagian besar warga di kampung yang berada di pinggir pantai di Taman Nasional Teluk Cenderawasih tersebut menggantungkan hidupnya pada laut dengan menjadi nelayan. Mereka memancing dan menombak.
“Kami tidak perlu pergi jauh-jauh ke tengah laut. Ikan-ikan datang sendiri ke tepi pantai. Kami tinggal pancing atau tombak,” kata Lambertus Yomaki (53), warga Yomakan mengulang kisah yang dituturkan ayah dan kakeknya.
“Kami tidak perlu pergi jauh-jauh ke tengah laut. Ikan-ikan datang sendiri ke tepi pantai. Kami tinggal pancing atau tombak.”
Selain memancing dan menombak, ada satu-dua warga yang mencoba cara lain, yaitu menggunakan bom atau bopis. Ini mereka lakukan setelah melihat beberapa tentara Belanda melakukan hal itu.
“Mereka mengambil mesiu dari granat atau misil yang tidak terpakai saat perang,” kata Andres Torai (54), tokoh masyarakat sekaligus Ketua Kelompok Pengawasan Masyarakat Yomakan.
Itu terjadi di awal-awal masa kemerdekaan. Pengeboman ikan semakin luas setelah pendatang dari luar daerah tiba di Teluk Wondama pada 1970-an dan menangkap ikan menggunakan bopis. Masyarakat Yomakan pun ramai-ramai mengikuti cara itu hingga hampir semua nelayan mahir merakit bopis.
Bak medan tempur
Puncak pemakaian bopis terjadi pada kurun waktu 1990-an hingga 2005. Pada saat itu, kata Lambertus, para nelayan yang hendak melaut seperti hendak maju ke medan tempur. Satu perahu yang berisi 10 orang, masing-masing membawa bopis, lalu secara bergantian melemparkannya ke laut.
Belum selesai mereka mengambil ikan yang mati terkena ledakan, terdengar suara bopis lain dari kanan, kiri, belakang, dan depan mereka. Suasananya mirip sekali dengan pertempuran.
“Makanya dulu Yomakan disebut Kampung Vietnam karena setiap hari seperti perang di Vietnam,” katanya.
"Makanya dulu Yomakan disebut Kampung Vietnam karena setiap hari seperti perang di Vietnam.”
Mesiu bukan barang sulit di dapat. Mereka bisa membeli mesiu hingga sampai 50 kilogram di Manokwari. Itu bisa menjadi 100-140 bom.
Sekali mengebom, mereka bisa mengeruk hingga 2 ton ikan, jika memancing atau menombak paling-paling hanya mendapat 100 kilogram. Uang melimpah dengan cara sangat mudah.
Lambertus mengingat, kala itu dia bisa memegang uang Rp 5 juta-Rp 10 juta dalam sehari. Tetapi yang dia heran, uang itu cepat sekali habis, seperti alkohol yang menguap.
“Ya kalau banyak uang kami mabuk-mabukan atau beli barang-barang yang sebenarnya tidak kami butuhnya. Apalagi waktu itu masih lajang,” kata laki-laki yang mencari ikan dengan bopis sejak usia 18 tahun.
“Ya kalau banyak uang kami mabuk-mabukan atau beli barang-barang yang sebenarnya tidak kami butuhnya. Apalagi waktu itu masih lajang.”
Penggunaan bopis meluas di beberapa kampung lain seperti Sombokoro, Distrik Windesi, Kepualauan Auri, hingga Kampung Napan Yaur dan Kwatisore di Kabupaten Nabire. Menggunakan bopis hemat dan efektif, tetapi merusak terumbu karang di Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Kerusakan ini sebenarnya tidak sebanding dengan hasil yang didapat.
Seperti kebanyakan warga di Teluk Cenderawasih lainnya, rumah Lambertus berdinding papan dengan penerangan yang mengandalkan tenaga matahari. Ketika malam merayap semakin larut, satu per satu rumah warga galap-gulita karena kehabisan energi matahari. Belasan anak bertelanjang kaki, dan sebagian bertelanjang dada, keluyuran di dermaga atau jalan-jalan depan rumah.
Di siang hari, anak-anak pergi sekolah tanpa alas kaki. Pakaian lusuh karena tak punya ganti. Beberapa anak tak berhenti menggaruki sekujur badannya yang dipenuhi kudis dan kurap. Kemiskinan memeluk erat kampung Yomakan. Uang yang melimpah dari hasil mengebom tadi sama sekali tak berbekas.
Warisan anak-cucu
Lambertus sebenarnya sudah diingatkan adiknya, Yosias Yomaki (46), yang menjadi kader konservasi Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Yosias berulang kali mengatakan bahwa bopis merusak lingkungan dan memiskinkan warga. Namun Lambertus terlalu mabuk dengan jutaan rupiah dan tidak menemukan bangunan logika antara mengebom ikan dan kemiskinan warga. Bagaimana bisa miskin kalau mendapat jutaan rupiah.
Dalam waktu bersamaan, sebenarnya WWF juga gencar mengkampanyekan penyelamatan lingkungan laut di perairan Yomakan dengan meminta warga menghentikan bopis. Kampanye ini antara lain terangkum dalam Education for Sustainable Development (ESD) dan Pendidikan Lingkungan Hidup. Salah satu tujuannya memberi pemahaman dan perspektif menjaga kelestarian lingkungan pada orang dewasa maupun anak-anak.
Lama-kelamaan Lambertus pun menyadari bahwa menggunakan bopis merusak lingkungan. Pada 2008, Lambertus berhenti mengebom dan kembali memilih cara memancing dan menombak setelah bersentuhan dengan WWF.
“Sekarang ini, menombak dan memancing hanya bisa dapat ikan 20 kilogram atau 30 kilogram. Ini karena ikan-ikan su habis dibom. Kalau bom meledak, bukan hanya ikan besar yang mati, telur-telur juga hancur. Karang-karang tempat ikan bertelur juga hancur,” kata Lambertus.
“Sekarang ini, menombak dan memancing hanya bisa dapat ikan 20 kilogram atau 30 kilogram. Ini karena ikan-ikan su habis dibom."
Kesadaran itu membuat Lambertus aktif dalam gerakan pemulihan terumbu karang dengan cara mencangkok terumbu karang. Dia belajar cara mencangkok terumbu dan menyelam. Meskipun butuh waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk bisa memulihkan terumbu karang yang rusak, tetapi bagi itulah cara menebus dosa selama dia mengebom ikan dan terumbu karang.
Peraturan kampung
Saat ini, hampir seluruh warga Yomakan bersedia menghentikan pengeboman ikan dan sepakat membuat Peraturan Kampung tentang pelarangan pencarian ikan dengan cara mengebom. Perkam ini muncul lantaran masih ada setidaknya delapan keluarga yang tetap menggunakan bom untuk menangkap ikan. Jumlah penduduk Yomakan kini mencapai 86 keluarga yang terdiri dari 13 marga.
Petang itu warga berkumpul di dermaga membahas perkam. Ketegangan sempat memayungi pertemuan itu lantaran beberapa warga menolak menyetujui perkam jika tetangganya yang masih menggunakan bopis tidak dihadirkan dalam pertemuan. Setidaknya ada tiga keluarga yang masih menggunakan bopis absen malam itu.
Lambertus termasuk orang yang paling gigih memperjuangkan pemulihan lingkungan. Karena itu, dia juga menjadi orang yang paling gemas ketika ada warga yang tak mau mengikuti aturan. Dia beberapa kali melaporkan warga yang masih nekad menggunakan bom. Pada Desember 2016, warga itu akhirnya ditangkap polisi dan diminta menandatangani surat perjanjian untuk tidak kembali mengebom ikan.
Aparat kampung dan tetua adat berulang kali menggunakan pendekatan kultural agar warga berhenti mengebom. “Kami akan memanggil warga yang masih menggunakan bom untuk bicara baik-baik. Kalau nanti masih mengebom, biar polisi yang maju,” kata Hans Paiki, Sekretaris Kampung Yomakan.
Hari-hari ini di perairan Teluk Cenderawasih relatif tenang, sehingga anak-anak bisa jenak belajar seperti saat mendengar dongeng Mama Morin tadi.
“Anak-anak, boleh tidak lempar bopis ke laut?” tanya Mama Morin.
“Tidaaak..!” jawab anak-anak serentak.
Orangtua dan anak-anak pun sadar untuk menjaga keutuhan alam.