Aturan sejak Reformasi Berorientasi Memenjarakan Orang
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasal-pasal dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana cenderung masih berorientasi menghukum orang dengan memasukkan mereka ke dalam penjara. Kumpulan aturan yang dihasilkan sejak Reformasi juga menunjukkan tren pemenjaraan yang terus meningkat. Fenomena itu menyumbang pada kepadatan lembaga pemasyarakatan dari tahun ke tahun.
Direktur Teknologi Informasi dan Kerja Sama Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Aman Riyadi, Rabu (15/11) di Jakarta, mengatakan, Ditjen Pemasyarakatan tidak bisa menjadi satu-satunya pihak yang mengemban tanggung jawab untuk mengatasi kapasitas penjara yang kelebihan penghuni. Persoalan ini tidak hanya meliputi urusan kelembagaan, tetapi juga tata laksana pemasyarakatan dan sumber daya manusia.
”Saat ini ada problem kebijakan pidana yang melebihi ketentuan atau overuse. Overuse ini terjadi karena jenis-jenis hukuman lain yang seharusnya bisa dipakai untuk tindak pidana ternyata tidak banyak dipakai, misalnya pidana bersyarat, tahanan rumah, dan tahanan kota. Sekarang semuanya berujung pada pemidanaan di penjara,” tutur Aman.
”Overuse” ini terjadi karena jenis-jenis hukuman lain yang seharusnya bisa dipakai untuk tindak pidana ternyata tidak banyak dipakai, misalnya pidana bersyarat, tahanan rumah, dan tahanan kota.
Kepadatan rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (LP) juga dipicu banyaknya tahanan yang tetap dibiarkan berada di dalam rutan atau LP meskipun masa tahanannya telah lewat. ”Jumlah tahanan yang melebihi masa tahanan ini ribuan orang dan sulit diatasi karena berbagai faktor. Sebagai contoh, Rutan Salemba yang semestinya ditempati hanya 1.000 tahanan kini ditempati 4.000 orang. Kondisi ini memperbesar risiko kekerasan, pelanggaran HAM, gangguan ketertiban, dan penyalahgunaan narkotika di antara napi,” ujar Aman.
Pemerintah melihat upaya permudahan pembebasan bersyarat sebagai salah satu cara untuk mengurangi kepadatan di dalam LP. Sebagai gambaran, biaya makan yang harus ditanggung pemerintah jika 48.653 orang yang seharusnya mendapatkan pembebasan bersyarat tidak dibebaskan sebesar Rp 138.661.050.000. Penghitungan itu berasal dari biaya makan Rp 15.000 per orang dikalikan masa pembebasan bersyarat 6 bulan 10 hari. Biaya yang harus ditanggung pemerintah pun lebih murah apabila napi itu diberi pembebasan bersyarat.
”Biaya pemberkasan untuk pembebasan bersyarat misalnya Rp 100.000 per orang. Maka, negara hanya perlu mengeluarkan Rp 4.865.300.000 untuk mengurus berkas napi agar dia bisa bebas bersyarat. Artinya, negara juga bisa melakukan penghematan yang besar dengan mempermudah pembebasan bersyarat daripada menahannya di dalam LP,” ucap Aman.
Sekarang semuanya berujung pada pemidanaan di penjara.
Namun, upaya pengurangan jumlah napi yang sedang dijajaki pemerintah dengan mempermudah pembebasan bersyarat itu ternyata tidak diimbangi dengan kebijakan hukum yang saat ini dibahas di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pembahasan RKUHP sementara ini di DPR mencatat adanya kenaikan ancaman pidana di RKUHP dibandingkan dengan KUHP lama.
”Ancaman pidana dalam RKUHP naik 30 persen daripada yang sudah diatur di KUHP sekarang. Artinya, semakin besar potensi orang yang melakukan tindak pidana untuk dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini secara langsung akan berkontribusi pada kepadatan penjara,” kata Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
ICJR mencatat, dari 1.251 perbuatan pidana yang diatur dalam RKUHP, 1.154 pidana diancam dengan penjara dan hanya 882 pidana yang diancam dengan denda. Selain itu, ada 37 pidana yang diancam dengan hukuman mati. Pola ini mengindikasikan penggunaan pidana penjara masih merupakan pilihan utama untuk mengontrol perbuatan pidana.
Supriyadi menuturkan, RKUHP masih terlampau sedikit dalam mengadopsi alternatif pidana lain di luar pemenjaraan atau perampasan kemerdekaan. ”ICJR meminta pemerintah agar cermat dan konsisten mengatur ulang soal pembobotan pidana dalam RKUHP. Salah langkah dalam hal ini bisa mengakibatkan beban yang luar biasa bagi negara. Situasi overcrowding yang dialami sebagian besar LP akan sulit dihindari,” ujarnya.
RKUHP juga dinilai gagal dalam mengidentifikasi perbuatan mana saja yang layak dikenai penjara dan tidak. Tindak pidana ringan, seperti pencurian sandal, pencurian ayam, atau pidana umum yang dikategorikan ringan, sebaiknya tidak diancam dengan pidana penjara, tetapi cukup dengan kerja sosial atau denda. Dari catatan ICJR, hanya 59 pidana yang diancam dengan kerja sosial dalam RKUHP, sedangkan ancaman denda sebanyak 822 pidana dan pengawasan 632 pidana.
Kriminalisasi pelanggaran
Pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Anugerah Rizky Akbari, menambahkan, selain masih berorientasi pejara, aturan hukum yang dihasilkan sejak Reformasi juga cenderung menciptakan tindak pidana baru atau kriminalisasi terhadap suatu pelanggaran. Sejak tahun 1998 hingga 2016, ada 563 undang-undang yang disahkan. Dari jumlah itu, 154 undang-undang disertai dengan ketentuan pidana atau ancaman penjara di dalamnya.
Selain masih berorientasi pejara, aturan hukum yang dihasilkan sejak Reformasi juga cenderung menciptakan tindak pidana baru atau kriminalisasi terhadap suatu pelanggaran.
Dari 154 undang-undang yang memiliki ancaman penjara, 112 undang-undang memunculkan tindak pidana baru atau kriminalisasi yang tidak ada dalam aturan sebelumnya. ”Sebagai gambaran, dulu hanya ada 716 macam tindak pidana, tetapi sekarang jumlah tindak pidana itu bertambah menjadi 885. Artinya, ada tindak pidana baru yang diciptakan oleh pembuat regulasi. Sebagian besar dari tindak pidana baru itu sebetulnya hanya berupa pelanggaran administratif, misalnya kelalaian atau alpa dalam mencatatkan pernikahan atau memperpanjang visa,” tutur Rizky.
Tindak pidana baru itu, menurut dia, tidak perlu diancam dengan pidana karena sifatnya hanya kelalaian administratif dan bukan kejahatan. ”Harus dibedakan antara pelanggaran dan kejahatan. Jika masih berupa pelanggaran atau suatu ketentuan, sebaiknya tidak diancam dengan penjara. Beda misalnya dengan kejahatan seperti perampokan, pembunuhan, kekerasan, dan sebagainya yang memang merupakan kejahatan, sekalipun tidak ada aturan yang dilanggar,” ujar Rizky.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.