Masa Depan yang Kita Inginkan
Ketika berbagai penyakit aneh melanda ribuan warga di sekitar Teluk Minamata, Prefektur Kumamoto, Jepang, setengah abad silam, belum banyak orang memahami bahwa penyebabnya adalah merkuri. Ratusan ton merkuri yang dibuang ke teluk itu oleh sebuah perusahaan pupuk dan petrokimia Chisso Corporation telah berakibat fatal. Sebanyak 1.784 warga tewas. Sedangkan sisanya dari total 2.265 korban dalam kondisi cacat (Kompas, 20 September 2017).
Butuh 12 tahun sejak paparan dahsyat merkuri terjadi, pemerintah Jepang mengakui bahwa penyakit aneh yang belakangan disebut sebagai penyakit minamata itu disebabkan pencemaran merkuri organik dari perusahaan tersebut, Chisso. Penyakit itu misalnya tremor parah, kejang-kejang, dan organ tubuh melemah.
Jika limbah merkuri yang dibuang ke Teluk Minamata—berjumlah 200 hingga 600 ton—telah mengorbankan nyawa ribuan warga, bagaimana dengan di Indonesia?
Berdasarkan data Mercury Watch, limbah merkuri alias air raksa yang mengontaminasi lingkungan di Nusantara ini mencapai 200 ton per tahun. Lebih dari setengahnya berasal dari aktivitas pertambangan emas skala kecil (PESK). Adapun, PESK mulai masif dalam 10 tahun terakhir. Jika dihitung rata-rata penggunaan merkuri dalam jumlah sama setiap tahun, maka setidaknya 2.000 ton limbah merkuri telah menyebar.
Berdasarkan data Mercury Watch, limbah merkuri alias air raksa yang mengontaminasi lingkungan di Nusantara ini mencapai 200 ton per tahun
Sebagai catatan, aktivitas PESK tersebar pada 850 titik di 197 kota dan kabupaten di 32 provinsi. Hampir seluruh wilayah Nusantara ini tak luput dari ancaman keracunan merkuri.
Dalam peta dunia tentang pencemaran lingkungan akibat merkuri, Indonesia telah masuk ke dalam zona merah, yang artinya tinggal di negeri ini sebenarnya tidak aman lagi.
Salah satu zona merah merkuri di Indonesia, yakni Cisitu, Banten, bahkan telah direkomendasikan agar seluruh penduduknya direlokasi. Cisitu merupakan sentra besar PESK yang menggunakan merkuri untuk aktivitas pemurnian emasnya.
Zona merah bearti kawasan sangat berbahaya untuk ditinggali. Paparan merkuri di Cisitu, diukur oleh peneliti dari BaliFokus, lembaga yang bergerak di bidang peningkatan kualitas kesehatan masyarakat dan lingkungan. Hasil pengukuran menunjukkan paparan merkuri tidak hanya meracuni petambang dan orang-orang yang terlibat langsung dalam bisnis itu, tetapi juga warga sekitar, mulai dari bayi sampai orangtua. Dari ibu rumah tangga sampai pemilik toko emas.
Pengukuran itu dilakukan pada kolam, alat pengolah batu dari tambang, toko, pembakaran emas, hingga rambut warga di wilayah itu. Kandungan merkuri sangat tinggi. Pada salah satu toko pembelian emas, sebesar 55.817 nanogram per meter kubik. Kandungan merkuri dinyatakan berbahaya untuk kesehatan jika melebihi 10.000 nanogram per meter kubik.
Kandungan merkuri juga ditemukan di tempat pembakaran emas, sebesar 38.143, serta alat pengolah batu dari tambang dengan kandungan hingga 38.107.
Menurut Pemangku Adat Cisitu, Mochammad Okri, sejak 2005, kawasan itu dinyatakan masuk zona merah alias tak layak huni. Namun, kenyataannya, relokasi tak kunjung dilakukan.
Hasil survei Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2016 juga menemukan, pengukuran konsentrasi merkuri di udara pada sejumlah desa di Sukabumi oleh KLHK, rata-rata hasilnya 102,07 mikrogram per meter kubik. Padahal, ambang baku mutu merkuri di udara adalah 100 mikrogram per meter kubik.
Kadar merkuri yang telah melampaui ambang batas juga ditemui pada 11 daeah lainnya di Sumatera Barat, Jambi, Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, serta sejumlah daerah di Sulawesi, Kalimantan, hingga Papua.
Penelitian Leonardo Trasande dari Department of Environmental Medicine NYU School of Medicine, New York, Amerika Serikat, telah menghitung, Indonesia mengalami kerugian Rp 12 miliar hingga Rp 24 miliar per tahun karena pencemaran merkuri. Kerugian dihitung dari hilangnya potensi ekonomi akibat penurunan tingkat kecerdasan masyarakat sekitar penambangan emas yang terpapar merkuri.
Lalu, mungkinkan tambang rakyat berjalan tanpa menggunakan merkuri?
Di sejumlah wilayah pedalaman Jambi, tradisi mendulang emas turun menurun berjalan, dan masih dilakukan hingga kini. Warga mendulang dengan menggunakan kayu bulat berbentuk seperti caping. Untuk memisahkan emas dari mineral kuarsa, warga cukup memutar-mutarkan alat dulang beberapa waktu. Perputaran dengan sendirinya akan meminggirkan kuarsa ke tepian, sedangkan emas di bagian tengah.
“Langsung dipisahkan, dapatlah emasnya,” kata Iskandar, warga Rantau Panjang, Kabupaten Merangin. Tradisi mendulang emas tradisional, katanya, sudah sejak berjalan lebih dari tiga abad.
Direktur Pusat Teknologi Sumberdaya Mineral, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dadan M Nurjaman, mengatakan telah menguji coba inovasi pengolahan emas tanpa merkuri pada PESK. Ia menuturkan pada tahun 2014 Kementerian ESDM memiliki rencana aksi nasional penghilangan merkuri pada pengeolahan emas tambang rakyat.
“Focal point ASGM (Artisanal and Small Scale Gold Mining atau penambangan emas skala kecil) itu Kementerian ESDM. Tapi focal point keseluruhan penghilangan merkuri ada di KLHK. Kami ada di dalam program itu untuk menangani teknologi,” katanya.
BPPT menawarkan teknologi pengolahan emas tanpa merkuri sesuai dengan tipe endapan pasir. Teknologinya menyesuaikan dengan kondisi endapan pasir di lokasi tambang.
Ia mengatakan endapan emas tipe sekunder dengan ukuran partikel besar yang biasanya diolah dengan pendulangan di sungai bisa mengunakan peralatan model fisika gravitasi. Lalu, emas yang didapat bisa dicampur borax untuk menurunkan temperature lelehnya.
Pada endapan emas tipe primer yang berukuran partikel sangat halus/lempung atau di bawah 100 mesh tidak bisa menggunakan pengolahan sistem gravitasi. “Bisa menggunakan teknologi perlindian secara kimia, tidak ada cara lain.” kata dia.
Dalam perlindian itu, menggunakan pelarut kimia yang bisa ekonomis mengikat emas dan dihancurkan dengan mudah. Ia mengatakan pelarut sianida memiliki tingkat recovery emas mencapai 90 persen.
Sifat lethal sianida kata dia, bisa didestruksi dengan proses perlindian. Metode yang ditawarkan BPPT bisa menurunkan sianida dari 200ppm (bagian per juta) menjadi 5 ppm. Untuk mencapai baku mutu lingkungan 0,5 ppm, dilakukan pelan-pelan dengan memanfaatkan sinar matahari dan pengenceran. “Paling tidak membutuhkan waktu sebulan sudah mencapai 0,5 ppm. Ini sudah aman,” kata dia.
Dadan memberi catatan proses pengolahan emas ini harus sepaket dengan pengolahan limbah. Karena kata dia, kecenderungan PESK yang menggunakan sianida tidak melakukan destruksi pada sianida itu. Praktik ini sangat berbahaya dan bisa mematikan.
Terkait pemulihan lahan bekas tambang yang terkontaminasi merkuri, kata dia, mau tak mau kandungan merkuri harus dikumpulkan. Pilihan termudah, lapisan tanah diambil lalu dibakar pada suhu 370 derajat celcius untuk memisahkan merkurinya. Namun langkah ini akan sangat mahal pada areal yang sangat luas.
Pilihannya, bisa dengan memanfaatkan beberapa spesies tanaman dengan konsekuensi proses penyerapan merkuri tidak bisa cepat. Selain itu, kata dia, harus dipikirkan penyimpanan tanaman-tanaman yang telah mengandung merkuri ini agar tak kembali terlepas ke alam.
Dadan pun mengingatkan agar penambangan emas yang menggunakan merkuri tidak langsung beralih ke sianida. Ini akan membuat efek merkuri dan sianida menjadi lebih mematikan. “Jadi merkuri harus dibersihkan dulu baru boleh (pakai sianida),” kata dia.
Penerapan inovasi ini sesuai dengan penekanan Presiden Joko Widodo bahwa tambang rakyat tidaklah dilarang. Adapun, yang dilarang penggunaan merkuri pada tambang, demi keselamatan bersama dan seluruh makhuk hidup di negeri ini. Demi masa depan yang kita inginkan. (ICH/BAY)