JAKARTA, KOMPAS -- Komitmen pemerintah dalam mengurangi dampak perubahan iklim dinilai masih lemah. Hal mendedsak yang bisa dilakukan untuk menguatkan komitmen tersebutadalah dengan mengalihkan penggunaan energi batubara dengan energi terbarukan.
Pada 2030, Indonesia menargetkan penurunan gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan sebesar 41 persen dengan dukungan internasional. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nur Hidayati mengatakan, jika tidak ada langkah konkret dari pemerintah dalam perubahan iklim, target tersebut tidak dapat tercapai.
“Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus konkret. Perubahan iklim ini sudah berdampak bagi masyarakat Indonesia,” ujarnya dalam bincang iklim terkait dengan Pertemuan Para Pihak atau COP Ke-23 Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim, di Jakarta, Selasa (14/11).
Hidayati mengatakan, pengadaan penggunaan energi batubara menjadi salah satu yang perlu disoroti. Hal ini terkait dengan rencana pembangungan listrik 35.000 megawatt (MW) sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang ditargetkan selesai 2019. Dari target tersebut sebanyak 20.000 MW berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap dengan sumber energi batu bara (PLTU-B).
Dalam kesempatan yang sama, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Hindun Mulaika mengungkapkan, pembangunan PLTU-B ini akan berdampak buruk bagi lingkungan, kesehatan, kondisi sosial ekonomi, dan keuangan negara.
“Pemerintah seharusnya merevisi rencana pembangunan PLTU ini,” katanya.
Polusi Batubara
Tahun 2015 Greenpeace Indonesia bersama Harvard University menulis laporan terkait tambang batubara. Dalam laporan itu disebutkan, beberapa penyakit seperti stroke, kanker paru-paru, penyakit pernapasan, dan penyakit yang terkait jantung lainnya dapat bertambah dua kali lipat akibat polusi batubara.
Selain itu, Walhi mencatat, total kerugian kesehatan yang akan timbul sebesar Rp 315 triliun jika PLTU-B beroperasi. Kerugian finansial pun pada 2040 berpotensial mencapai Rp 219 triliun.
Untuk itu, tambah Hindun, penggunaan energi terbarukan perlu didesak untuk menggantikan penggunaan energi batubara yang masih tinggi saat ini.
“Kita perlu cepat melakukan transisi dari energi batubara menjadi energi terbarukan. Dukungan negara maju memang dibutuhkan, tetapi keinginan Indonesia juga harus kuat,” ucapnya.
Hindun menyampaikan, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar. Ia mengatakan, berbagai sumber tersedia, seperti panas bumi, angin, matahari, dan air.
“Indonesia harusnya siap meninggalkan penggunaan batubara. Apalagi Indonesia termasuk salah satu negara yang menandatangani Kesepakatan Paris dalam mengurangi gas rumah kaca,” ujar Hindun.
Komitmen
Dalam Kesepakatan Paris, sebanyak 196 negara yang telah meratifikasi kesepakatan tersebut berkomitmen membatasi kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat Celsius. Selain itu, perlu dilakukan upaya keras menahan kenaikan suhu global sampai 1,5 derajat celsius pada 2030 dibandingkan dengan suhu rata-rata pada era praindustri.
Peneliti Genetic Resources Action International (GRAIN) Asia Kartini Samon mengatakan, pihak pegiat lingkungan berharap pemerintah dapat memastikan komitmen dalam Kesepakatan Paris dapat dijalankan. Ia mengatakan, berbagai dampak perlu diperhatikan jika PLTU-B dioperasi. Dampak tersebut seperti hak asasi manusia, keamanan dan kedaulatan pangan nasional, serta ekosistem lingkungan.
“Integrasi program juga perlu agar komitmen tersebut bisa terlaksana,” katanya. (DD04)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.