Politik Identitas Bakal Semarak di Pilkada 2018 dan Pilpres 2019
JAKARTA, KOMPAS – Kecenderungan intoleransi politik dalam dua terakhir meningkat di Indonesia. Merujuk hasil survei Lembaga Survei Indonesia, isu politik identitas khususnya yang berkaitan dengan agama dan kesukuan sangat dimungkinkan terjadi pada pemilihan kepala daerah serentak 2018, pemilu, serta pemilihan presiden 2019.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Kuskridho Ambardi menilai, isu politik identitas yang berkaitan dengan agama dan kesukuan sangat dimungkinkan terjadi pada pilkada serentak 2018 hingga pemilu serta pilpres 2019. Hal itu menjadikan pertarungan politik tidak lagi berupa adu gagasan untuk membangun, melainkan berlomba-lomba menjual identitas yang berdampak kepada terpecahnya hubungan sosial di masyarakat.
“Para elite (kandidat) cenderung pragmatis, yang mereka inginkan hanya kemenangan semata. Tidak peduli caranya cenderung memecah belah masyarakat. Jika sudah terpecah, maka pemimpin yang menang akan melakukan rekonsialisasi di masyarakat. Ini hal yang terus berulang dilakukan, apalagi setelah kasus di Pilkada DKI kemarin,” tutur Ambardi usai melakukan konferensi pers terkait temuan LSI “Korupsi, Religiusitas, dan Intoleransi” di Jakarta, Rabu (15/11).
Para elite cenderung pragmatis, yang mereka inginkan hanya kemenangan semata. Tidak peduli caranya cenderung memecah belah masyarakat
Temuan survei LSI tahun 2017 antara lain mengungkapkan, kecenderungan warga muslim yang keberatan akan keberadaan pemimpin non muslim di tingkat, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional seluruhnya meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Sebanyak 47,4 persen responden keberatan apabila seorang non muslim menjadi bupati/walikota. Pada tahun sebelumnya, jumlah responden yang menyatakan keberatan hanya 39,3 persen.
Pada tingkat provinsi, responden yang menyatakan keberatan apabila gubernurnya seorang non muslim sebanyak 48,2 persen. Hal itu meningkat bila dibandingkan di tahun sebelumnya, yaitu 40,3 persen responden yang mengaku keberatan akan kehadiran gubernur non muslim.
Keberatan akan keberadaan pemimpin nonmuslim lebih tinggi pada tingkat nasional. Sebanyak 49,6 persen responden keberatan bila nonmuslim menjadi seorang wakil presiden. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 41,4 persen warga yang keberatan. Adapun di tingkat presiden, sebanyak 53,2 persen responden keberatan apabila presidennya seorang non muslim. Di tahun sebelumnya, jumlahnya hanya berkisar 48 persen.
Pertarungan politik tidak lagi berupa adu gagasan untuk membangun, melainkan berlomba-lomba menjual identitas yang berdampak terpecahnya hubungan sosial di masyarakat
Namun Ambardi menilai, isu agama atau kesukuan yang digunakan saat pertarungan elektoral tidak dapat memastikan kemenangan, akan tetapi memengaruhi perolehan suara. Ia mencontohkan, saat pilpres 2014. Pada tiga bulan sebelum perhelatan pilpres 2014, dari hasil survei elektabilitas pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla lebih 20 persen lebih banyak dibandingkan pasangan capres-cawapres pesaing mereka. Namun demikian, jarak 20 persen terus terkikis, hingga akhirnya elektabilitas Jokowi-JK hanya terpaut sekitar enam persen dengan pesaingnya.
“Penggunaan isu SARA (Suku, Agama, dan Ras) tidak menjamin kandidat tersebut akan menang. Akan tetapi, itu akan memengaruhi perolehan suara yang cenderung akan menambah suara kandidat,” ujar Ambardi.
Menurut Ambardi, kecenderungan intoleransi politik masyarakat Indonesia yang terus meningkat dipengaruhi oleh para kandidat itu sendiri. Kandidat politik seharusnya dapat memilih cara yang etis dan sesuai dengan nilai-nilai pluralisme Indonesia dalam meraih kemenangan. Politik identitas hanya akan menjauhkan esensi pertarungan politik, yaitu mencari pemimpin terbaik berdasarkan program-program pembangunannya.
Politik identitas hanya akan menjauhkan esensi pertarungan politik, yaitu mencari pemimpin terbaik berdasarkan program-program pembangunannya
Ambardi menyarankan harus ada upaya jangka panjang untuk meredam intoleransi politik. “Peningkatan kesejahteraan dan pendidikan itu akan menentukan. Akan tetapi, pekerjaan itu bukan pekerjaan satu dua hari, melainkan jangka panjang,” ujar Ambardi.
Namun demikian, temuan LSI terkait kecenderungan intoleransi dalam hal hubungan di masyarakat cenderung menurun. Hal itu dapat dilihat dari data yang menunjukkan bahwa hanya sekitar 35,6 persen penduduk muslim yang keberatan apabila non muslim mengadakan acara keagamaan atau kebaktian di lingkungannya. Jumlah itu menurun, karena pada tahun 2016 persentase responden yang keberatan, yaitu 39,6 persen.
Sementara itu, sebanyak 48,2 persen responden muslim merasa keberatan ketika non muslim membangun tempat ibadah di lingkungannya. Jumlah itu juga menurun dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 52 persen responden yang merasa keberatan.
Isu politik identitas yang berkaitan dengan agama dan kesukuan sangat dimungkinkan terjadi pada pilkada serentak 2018 hingga pemilu serta pilpres 2019
Integritas
Sementara itu dalam soal pemberantasan korupsi, mayoritas responden dalam survei LSI menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah serius dalam melawan korupsi dengan jumlah persentase 55,9 persen. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2016, yaitu hanya 49 persen responden yang menilai pemerintah serius dalam melawan korupsi. Hanya 19,5 persen masyarakat yang menilai pemerintah tidak serius melawan korupsi. Jumlah itu pun menurun dibandingkan tahun 2016, yaitu 21 persen.
Namun demikian, dari optimisme masyarakat akan komitmen pemerintah melawan korupsi, mayoritas masyarakat masih menilai tingkat korupsi di Indonesia saat ini jumlahnya meningkat. Sebanyak 54 persen responden menilai korupsi semakin meningkat, sedangkan hanya 19,3 persen responden yang menilai korupsi semakin menurun.
Akan tetapi jumlah masyarakat yang merasa korupsi meningkat jumlahnya menurun dibandingkan tahun 2016. Tahun 2016, 70 persen responden merasa korupsi meningkat, sementara 18 persen di antaranya merasa tingkat korupsi menurun.
Integritas lembaga hukum dalam hal perilaku korupsi menjadi sorotan dalam temuan survei LSI kali ini. Pihak kepolisian dan pengadilan dinilai masyarakat paling sering meminta imbalan
atau hadiah saat memberikan pelayanan. Dua lembaga tersebut juga paling sering menjadi sasaran suap warga.
Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menilai, temuan LSI tersebut menjadi penanda bahwa institusi hukum masih harus melakukan reformasi birorkasi. Temuan ini dinilainya ironis, karena sesungguhnya penegak hukum harus memberikan contoh teladan bagi masyarakat.
Menurut Topan, pemberian efek kejut terhadap oknum pelaku koruptif harus terus dilakukan secara berkelanjutan. “Saberpungli misalnya, harus terus digencarkan, tidak boleh berhenti. Di samping itu, juga harus ada tim yang meninjau proses administrasi yang telah ada. Pungutan liar terjadi tidak jauh dari proses administrasi. Apakah proses administrasinya memungkinkan untuk timbul perilaku koruptif atau tidak,” ujar Topan.
Perilaku koruptif yang terus terjadi di masyarakat menimbulkan efek yang memprihatinkan. Temuan LSI menunjukkan bahwa sebanyak 30,4 persen masyarakat menganggap wajar ketika memberikan imbalan atau hadiah saat berhubungan dengan instansi pemerintah. Hanya 63,3 persen yang menilai hal tersebut tidak wajar.
Sementara itu, Direktur Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara KPK Cahya Hadianto Harefa mengatakan, temuan survei LSI akan dijadikannya pertimbangan dalam menjalankan program pencegahan korupsi di KPK. Selain itu ia menaruh harapan besar terhadap generasi muda dalam hal pencegahan korupsi.
“Saya percaya anak muda memiliki kemauan dan tekad yang kuat dalam upaya pencegahan korupsi, di seluruh daerah,” tutur Cahya.