Masa Depan Generasi Muda Indonesia Terancam Paparan Merkuri
JAKARTA, KOMPAS — Paparan limbah merkuri di sejumlah wilayah Nusantara telah mengorbankan ribuan anak dan dewasa hidup dalam kondisi cacat. Namun, sejauh ini, belum ada penanganan medis yang memadai dan jaminan obat-obatan bagi para korban.
Dalam penelusuran dua pekan terakhir, Kompas mendapati puluhan anak dan dewasa di Cisitu, Banten, dan di Sekotong, Nusa Tenggara Barat, dalam kondisi cacat. Di Sekotong, anak-anak itu mulai dari bayi hingga usia belasan tahun mengalami gangguan organ dan saraf yang menyebabkan tubuh tak berfungsi normal. Sebagian mengalami cacat tubuh atau bentuk tubuh tidak normal, serta tingkat kecerdasannya rendah dengan gejala menderita lumpuh otak (cerebral palsy).
Di Cisitu, sejumlah korban dewasa dalam kondisi tubuh lunglai karena kerusakan saraf, tremor parah, sakit kepala, hingga nyeri tulang.
Lembaga swadaya di bidang peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, BaliFokus, mendapati jumlah korban cacat jauh lebih besar di sekitar lokasi pertambangan emas skala kecil (PESK) bermerkuri. Selain gangguan fisik, anak-anak tersebut menderita kejang berulang, mimisan, sakit kepala, dan demam.
Warga korban merkuri jumlahnya ribuan. ”Mereka tinggal di daerah-daerah miskin dan kondisi lingkungannya rusak,” ujar Larasati Gumilang, Asisten Program BaliFokus, Jumat (17/11).
Temuan itu sejalan dengan penyisiran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 352 titik panas PESK, yang mendapati kontaminasi merkuri melampaui ambang batas. ”Kalau ini dibiarkan, kita berhadapan dengan generasi abnormal yang cacat semua. Ini sangat mengkhawatirkan,” kata Karliansyah, Direktur Jenderal Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan KLHK.
Penelusuran Kompas mendapati puluhan anak dan dewasa di Cisitu, Banten, dan di Sekotong, Nusa Tenggara Barat, dalam kondisi cacat. Di Sekotong, anak-anak itu mulai dari bayi hingga usia belasan tahun mengalami gangguan organ dan saraf yang menyebabkan tubuh tak berfungsi normal. Sebagian mengalami cacat tubuh atau bentuk tubuh tidak normal, serta tingkat kecerdasannya rendah dengan gejala menderita lumpuh otak.
Dari temuan tersebut, tim KLHK memperkirakan bahwa jumlah korban cacat di masa mendatang bakal semakin banyak. Minimal mereka menjadi generasi yang tidak produktif karena menderita gangguan saraf. ”Memang tidak sekaligus terlihat gejalanya. Ada yang menunjukkan gejala awal tremor. Kalau gejala itu dialami ibu hamil, berpotensi anaknya cacat,” katanya.
Dari tujuh anak yang dikunjungi Kompas di Sekotong, rata-rata hanya mendapatkan obat penurun panas dari puskesmas, tetapi tidak mendapatkan obat kejang yang mengandung asam valproate.
Pemimpin Unit Pelaksana Teknis Badan Layanan Umum Daerah Puskesmas Sekotong, drg I Nyoman Adnyana Putra, mengatakan, obat esensial khusus korban merkuri memang belum lengkap. Dalam daftar obat yang tersedia di puskesmas itu hanya terdapat obat penurun panas.
Menurut Yuyun Ismawati, penasihat BaliFokus, para korban yang kondisinya parah memerlukan obat setiap hari. Sayangnya, obat kejang sulit didapatkan sehingga jarang tersedia di rumah-rumah para suspek korban. ”Stoknya hanya ada di Mataram (NTB). Harganya pun mahal, Rp 250.000 per botol, padahal seminggu sudah habis,” ujarnya.
Selain jaminan obat-obat esensial, para suspek juga membutuhkan jaminan pelayanan medis, termasuk tindakan operasi. Kebanyakan para korban ini masih dalam tahap tumbuh dan berkembang sehingga satu kali operasi saja tidak memadai. Karena itu, katanya, pemerintah harus bertanggung jawab penuh atas kehidupan para korban agar mereka tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Di sekitar lokasi PESK Cisitu, para korban merkuri didapati dalam kondisi tidak mampu berobat. Ada warga yang memiliki Kartu Indonesia Sehat, tetapi mereka tidak bisa mendatangi puskesmas karena terkendala biaya transportasi. Sejauh ini belum ada layanan jemput bola dari puskesmas terdekat terhadap para korban.
Kepala Puskesmas Cibeber Erwan Susanto mengakui, apabila warganya berobat dengan keluhan gatal-gatal, staf puskesmas akan memberikannya obat antigatal. Petugas medis tak bisa mengetahui sebab utama penyakit kulit, apakah dari kontaminasi merkuri atau bukan.
Sementara Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak Sukirman telah menginstruksikan para staf puskesmas setempat atau Rumah Sakit Umum Daerah Adjidarmo di Rangkasbitung dapat melayani para korban. ”Kami berupaya agar warga yang terpapar merkuri dibantu pengobatannya,” ujarnya.
Para korban merkuri didapati dalam kondisi tidak mampu berobat. Ada warga yang memiliki Kartu Indonesia Sehat, tetapi mereka tidak bisa mendatangi puskesmas karena terkendala biaya transportasi.
Pemerintah kabupaten di Provinsi Aceh yang daerahnya memiliki tambang emas ilegal belum pernah menguji paparan merkuri pada warga di sekitar tambang. Padahal, pengujian penting agar langkah antisipasi terhadap ancaman penyakit yang dipicu oleh paparan merkuri bisa disiapkan. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pidie Muslim mengatakan, uji paparan merkuri pada warga baru akan dilakukan tahun depan.
Di Pidie, lokasi pertambangan emas skala kecil berada di Kecamatan Geumpang. Aktivitas tambang emas di sana mulai marak sejak 2007. Petambang menggunakan merkuri untuk memurnikan emas. Limbah merkuri mengalir ke sungai. Air dan makanan yang terkontaminasi merkuri membahayakan kesehatan jika dikonsumsi manusia.
Kepala Dinas Kesehatan Aceh Hanif belum menemukan atau mendapat laporan adanya warga sakit dipicu oleh paparan merkuri. Tidak adanya laporan menyebabkan pihaknya tak membuat kebijakan khusus penanganan korban. ”Belum ada. Biasanya dampak baru terlihat waktu jangka panjang,” kata Hanif.
Meski belum ada laporan korban sakit karena paparan merkuri, penelitian di kawasan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, membuktikan bahwa puluhan warga terpapar merkuri telah melampaui ambang batas.
Sebenarnya pada 2014, Pemerintah Provinsi Aceh pernah berencana memeriksa warga yang tinggal di sekitar tambang emas. Namun, rencana itu belum terealisasi hingga kini. Belakangan Lembaga Ombudsman Provinsi Aceh merekomendasikan Pemprov Aceh agar melakukan uji kualitas air dan warga sekitar tambang.
Namun, kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Saminuddin, untuk tahun ini belum bisa dilakukan uji paparan merkuri sebab tidak tersedia anggaran. Pihaknya akan mengusulkan pengujian paparan merkuri pada air dan warga tahun depan.
Sementara Dinkes Solok Selatan tengah menyiapkan obat di puskesmas dan rumah sakit untuk 155 diagnosis penyakit, termasuk akibat merkuri. ”Kami mengharuskan puskesmas dan rumah sakit untuk menyiapkannya. Obat itu misalnya antitremor, kejang, termasuk untuk lambung, dalam bentuk cairan, tablet, dan suntikan,” kata Novirman, Kepala Dinkes Solok Selatan.
Hal serupa juga disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Dharmasraya Rahmadian. Wilayah Dharmasraya yang dilintasi Sungai Batang Hari yang hilirnya menjadi lokasi PESK Solok Selatan rawan terpapar merkuri. Karena itu, pihaknya menyiapkan obat antikejang yang biasanya dibutuhkan korban. ”Dampak merkuri itu akumulasi. Jangka panjang seperti cacat atau tremor hebat. Selain obat untuk mengurangi dampak, yang bisa kami lakukan mengimbau warga untuk waspada,” kata Rahmadian.
Di Kabupaten Musi Rawas Utara, sejumlah warga mengeluh gatal-gatal saat menggunakan air di Sungai Muara Tiku. Belum diketahui sebabnya, tetapi Kepala Desa Muara Tiku Dedi Samdepi mengatakan, PESK marak di sepanjang sungai itu.
Dari Bogor dipastikan dinkes setempat belum mengadakan obat bagi penderita krononis akibat merkuri. Yang tersedia adalah obat-obat mengatasi mual, pusing, atau muntah yang merupakan gejala akibat keracunan.Sampai saat ini, kata Kepala Seksi Farmasi Dinas Kesehatan Bogor, Runny Pulungan, belum dilakukan pengadan obat ultramuskolar dimerkaptrol atau penisilamin. Kedua obat tersebut untuk menonaktifkan merkuri yang terserap tubuh.
Tahun 2007, katanya, pernah dilakukan penelitian tentang kesehatan masyarakat terkait paparan merkuri oleh Dinkes Provinsi Jawa Barat pada masyarakat Pongkor di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. ”Namun, saat itu hasil kandungan merkuri pada warga masih di bawah ambang batas,” katanya.
Belum paham
Di Maluku, dua kabupaten yang marak aktivitas tambang liar, yakni Buru dan Seram Bagian Barat, belum melindungi warganya dengan obat-obatan. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buru Anwar Prawira mengatakan, pihaknya tidak menyiapkan obat khusus bagi warga di lokasi tambang. Alasannya, belum terlihat dampaknya meskipun sejumlah sumber air bersih diketahui sudah tercemar merkuri. ”Kami belum terlalu paham mengenai bahaya merkuri dan obat apa saja yang harus diberikan,” katanya.
Asisten Bidang Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat Poli Pical mengatakan, tidak ada anggaran khusus untuk pencegahan bahaya merkuri. ”Itu, kan, tambang liar jadi tidak bisa dikontrol. Syaratnya harus ditutup,” ujarnya.
Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Imran Agus mengakui, obat-obat esensial untuk para suspek korban merkuri belum merata di semua puskesmas. Sebagai contoh, di UPTD Badan Layanan Umum Daerah Puskesmas Sekotong, obat-obat yang diperlukan tidak tersedia, padahal penderita keracunan merkuri cukup besar di sana.
Namun, pihaknya berencana memasukkan sosialisasi dan peningkatan kesadaran untuk seluruh puskesmas terkait dengan masalah ini. Program ini masuk ke dalam rencana aksi nasional dari Kementerian Kesehatan.
(ITA/BAY/RTS/FRN/ISW/AIN/ZAK/RAM)