Menuai Emas, Menyiram Bencana
Merkuri telah merampas kehidupan masyarakat Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten. Logam berat itu hanya sekejap mendatangkan rezeki bagi segelintir petambang, tetapi menyiram bencana bagi seluruh makhluk hidup di sana.
Tuhana (43) pun akhirnya menyerah. Sehari-hari ia hanya bisa merangkak. Jika mencoba berjalan, tubuhnya bergetar hebat.
”Pinggang lemas dan lutut pegal. Kaki juga gatal,” kata petani kecil di Desa Situmulya itu. Rasa gatal menyisakan luka di sekujur kakinya.
Ketika diajak berbicara, Tuhana lambat-lambat bicaranya. Lidahnya terasa keras. Ia kerap mengeluh sakit kepala.
Di pagi hari, gangguan saraf (tremor) bertambah parah. Dinginnya terasa ke jantung sehingga tubuhnya makin gemetar.
Ketidakberdayaan itu membuatnya ditinggal oleh sang istri. Ia kini bergantung hidup pada orangtuanya yang renta.
Pernah satu kali Tuhana berobat ke Puskesmas Cisungsang, Lebak. Setelah dokter memberi obat, tremornya mereda. Namun, ia tidak bisa sering berkunjung ke puskesmas. Kendalanya transportasi. Tidak ada yang mengantar. ”Saya orang miskin,” ujarnya.
Tuhana tidak sendirian. Tak jauh dari rumahnya, Ocih (63) juga tak bisa berjalan normal. Dari dapur, ia harus dipapah anaknya, Selfi Oktaviani (19), hanya untuk menuju ruang tamu.
Sembilan tahun menahan sakit setelah divonis mengalami tremor, tubuh Ocih menyerah setahun terakhir. Tangan kanan dan kirinya tak pernah berhenti bergetar.
Ia juga semakin sulit tidur. Kalau Ocih sudah bisa tidur, Selfi harus membalikkan badannya dua jam sekali karena rasa nyeri menyergap. Hidup Ocih kini sepenuhnya bergantung pada Selfi.
BaliFokus, lembaga swadaya di bidang peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, mengukur kadar merkuri pada masyarakat di Desa Situmulya. Hasil penelitian menyebut tremor Ocih dipicu oleh keracunan merkuri.
Penasihat Senior BaliFokus, Yuyun Ismawati, mengatakan, nilai human biomonitoring (HBM) pada warga setempat sangat tinggi. Sala satu penilaian HBM dilakukan dengan meminta warga terduga keracunan merkuri untuk melakukan beberapa gerakan, misalnya menyentuh hidung dengan jari secara bergantian, memasukkan batang korek api ke dalam kotak, atau berjalan lurus.
Ocih takluk. Dia tak bisa melakukan gerakan-gerakan itu. Yuyun menduga tragedi yang dialami Ocih dan Tuhana sangat terkait oleh maraknya pertambangan dan pengolahan emas di sekitar tempat itu. ”Ocih kemungkinan terdampak paparan merkuri di udara,” kata Yuyun.
Ironisnya, Ocih dan Tuhana bukanlah petambang. Mereka hanya petani kecil yang tak mengenyam madu dari hasil tambang, tetapi petakanya.
Surga tambang
Sejak tahun 1989, Cibeber adalah surga bagi petambang emas skala kecil. Lokasinya yang terletak dalam area Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang berstatus dilindungi tak mengurangi aktivitas tambang.
Diperkirakan jumlah lubang tambang 100 titik dengan kedalaman hingga 300 meter. Setiap lubang diisi 50-60 petambang. Salah satu lubang itu ditambang Subak (70), warga Desa Kujangsari.
Kemiskinan membuatnya memanfaatkan peluang menambang emas di sekitar rumahnya. Dia mulai menjelajahi lubang sempit mencari emas selama periode 1989-1992. Batu berurat emas digali, ditumbuk, dan dicampurkan dengan cairan mengandung merkuri berbahaya untuk memurnikan emas dari bahan mineral lainnya. Telapak tangannya yang rusak memperlihatkan jejak abadi merkuri berbahaya itu.
Petualangan Subak memuncak tahun 2007. Ia terlibat konflik dengan perusahaan penambangan berskala nasional. Dia membantu warga Desa Kujangsari lainnya menolak aktivitas perusahaan itu agar rakyat tetap dapat menambang emas. Pertikaian pun tak bisa dihindari. Subak mengaku ditodong aparat keamanan dengan senjata api. Dia menghalau senjata itu dan menggenggam goloknya. Namun, versi aparat keamanan, Subak-lah yang mengancam keselamatannya. Akibatnya, Subak diadili dan dibui selama lima bulan.
Seusai menjalani sanksi tersebut, derita Subak ternyata belum berakhir. Dua pekan sejak kembali ke rumahnya, Subak tiba-tiba lumpuh tanpa tahu penyebabnya. Lama kelamaan Subak tak bisa berjalan. Saraf wajahnya melemah. Begitu pula tangan kiri tidak bisa digerakkan.
Kini, jika bepergian, dia harus digendong. Kulit Subak keriput dan kakinya terlihat kurus. Subak hanya bisa merangkak saat beraktivitas sendiri.
Tim BaliFokus yang juga mengukur kadar merkuri di desa itu memperkirakan Subak mengalami tremor dan lumpuh akibat keracunan merkuri.
Selain di Cisitu, BaliFokus dan Yayasan Medicuss Group, lembaga yang bergerak di bidang layanan kesehatan, juga melakukan pemeriksaan kesehatan awal dan pengamatan di dua lokasi hotspot pertambangan emas skala kecil (PESK) lainnya pada 2015, yakni Sekotong di Kabupaten Lombok Barat dan Bombana di Sulawesi Tenggara. Pemeriksaan itu mengungkap keberadaan puluhan anak dan dewasa yang diduga keracunan merkuri.
Sebagian orang dewasa didapati mengalami tremor parah dan sudah diderita selama lebih dari 7 tahun. Beberapa bayi dan anak-anak, dari yang berumur 40 hari hingga remaja 15 tahun, menunjukkan gejala parah dari keracunan merkuri. Para korban memerlukan pemeriksaan dan pengobatan yang tepat dan lebih lanjut. Seiring berjalannya waktu, dampak paparan dikhawatirkan makin parah dan meluas.
Saat ini, setidaknya 850 titik PESK menyebar pada 197 kota dan kabupaten di 32 provinsi. Bisa dikatakan, hampir tak ada lagi wilayah di Nusantara yang luput dari ancaman keracunan merkuri.
Di Cisitu, paparan merkuri tidak hanya meracuni petambang dan orang-orang yang terlibat langsung dalam bisnis itu, tetapi juga warga sekitar, mulai dari bayi sampai orang tua. Dari ibu rumah tangga sampai pemilik toko emas.
Tim mengukur paparan merkuri pada kolam, alat pengolah batu dari tambang, toko, pembakaran emas, hingga rambut warga di wilayah itu. Kandungan merkuri sangat tinggi pada salah satu toko pembelian emas sebesar 55.817 nanogram per meter kubik. Kandungan merkuri dinyatakan berbahaya untuk kesehatan jika melebihi 10.000 nanogram per meter kubik.
Kandungan merkuri juga ditemukan di tempat pembakaran emas sebesar 38.143, serta alat pengolah batu dari tambang dengan kandungan hingga 38.107. Kawasan itu pun dinyatakan masuk zona merah alias tak layak huni.
Camat Cibeber Eman Suparman menyatakan terus menyosialisasikan bahaya penggunaan merkuri lewat berbagai media. Baliho mengenai sejumlah warga yang diduga keracunan merkuri serta peringatan akan bahaya merkuri dipasang di depan kantor Kecamatan Cibeber. Sosialisasi dilakukan hingga sekolah-sekolah.
Menurut pemangku adat Cisitu, Mochammad Okri Kini, kehancuran sudah terjadi di depan mata. ”Saya warga asli, lahir dan besar di Cisitu, sangat prihatin dan sedih melihat kondisi masyarakat yang diduga terkena pencemaran merkuri,” ujarnya.
Kekhawatiran sang pemangku adat selayaknya menjadi keprihatinan semua pihak. Jika itu dibiarkan, kilauan emas takkan ada artinya, kecuali nestapa bagi para korban.