BOGOR, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menginginkan perubahan aturan tentang pendidikan. Presiden menginginkan adanya penambahan jurusan-jurusan baru di pendidikan menengah hingga perguruan tinggi sesuai kebutuhan zaman saat ini. Langkah tersebut dibuat sekaligus untuk membuka peluang berdirinya perguruan tinggi asing di Indonesia.
Keinginan itu disampaikan saat memimpin rapat terbatas tentang pendidikan vokasi di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (16/11) sore. ”Undang-undang yang mengatur tentang pendidikan agar ada revisi sehingga perguruan tinggi dari luar negeri bisa berdiri di Indonesia,” kata Presiden di hadapan peserta rapat.
Presiden menyoroti stagnasi pengembangan jurusan di perguruan tinggi. Lebih dari 30 tahun, menurut Presiden, tidak ada perubahan pada jurusan-jurusan di fakultas ekonomi. Dalam rentang waktu itu, nama-nama jurusan yang ada biasanya adalah akuntansi, manajemen, atau ekonomi pembangunan. Sementara pada saat yang sama, dunia berubah begitu cepat.
Lebih dari 30 tahun, menurut Presiden, tidak ada perubahan pada jurusan-jurusan di fakultas ekonomi.
Presiden mempertanyakan, mengapa tidak ada jurusan yang lebih dibutuhkan dunia kerja saat ini. Beberapa yang dimaksud di antaranya jurusan digital ekonomi, manajemen ritel, logistik manajemen, atau jurusan lain.
”Di sinilah perlu adanya perubahan yang kita butuhkan,” kata Presiden. Terkait aturan yang membuka peluang berdirinya perguruan tinggi dari luar negeri di Indonesia, menurut Presiden, hal itu dibutuhkan untuk membuka kompetisi antaruniversitas. Keberadaan perguruan tinggi asing di sisi lain dapat dipandang sebagai pembanding yang baik bagi lembaga pendidikan serupa di dalam negeri.
Prinsipnya, perubahan aturan tentang pendidikan diperlukan dalam rangka menyiapkan 58 juta tenaga terampil yang dibutuhkan pasar kerja tahun 2030. Mereka, kata Presiden, akan diandalkan untuk mendukung target pemerintah memajukan peringkat ekonomi nasional pada posisi tujuh dunia. Dengan demikian, kata Presiden, pembangunan sumber daya manusia dapat mengikuti perubahan yang terjadi di dunia.
Berdasarkan indeks modal manusia Forum Ekonomi Dunia (WEF), Indonesia berada di urutan ke-65 dari 130 negara. Posisi ini masih berada di bawah Vietnam yang berada di posisi ke-64 dan Malaysia di posisi ke-33.
Perubahan aturan tentang pendidikan diperlukan dalam rangka menyiapkan 58 juta tenaga terampil yang dibutuhkan pasar kerja tahun 2030.
Selain Presiden dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, rapat terbatas ini diikuti oleh sejumlah menteri terkait. Bahkan, rapat terbatas juga diikuti pendiri aplikasi Go-Jek Indonesia, Nadiem Makarim, dan pendiri Ruangguru, Adamas Belva Syah. Presiden memberi kesempatan kepada mereka di awal rapat untuk menyampaikan gagasan-gagasannya terkait pendidikan vokasi di hadapan peserta rapat.
”Nadim dan Belva silakan bicara, masing-masing dua menit saja,” kata Presiden. Setelah rapat, Nadiem menyatakan, perubahan-perubahan yang akan terjadi di masa mendatang perlu diantisipasi saat ini. Karena itu, untuk menyiapkan sumber daya manusia 15-20 tahun ke depan, kurikulum pendidikan dan cara mengajar harus harus jauh lebih dinamis.
Penyelarasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy memprediksi akan ada banyak perubahan yang tidak terduga di masa depan. Karena itu, perlu landasan dan strategi yang menjadi payung di dunia pendidikan. ”Agar dapat menjawab aspirasi dan tantangan zaman saat ini,” kata Muhadjir.
Adapun perubahan aturan terkait pendidikan harus mengubah UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Pendidikan Tinggi, serta UU Guru dan Dosen. Hal ini dilakukan karena semua aturan itu saling terkait satu sama lain. Jadi, kalau ingin melakukan perubahan radikal, harus ada penyelarasan pada semua aturan itu,” kata Muhadjir.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J Supit mengatakan, pasar kerja membutuhkan angkatan kerja terdidik terampil. Salah satu cara untuk mencapai hal ini, kata Anton, adalah melalui pendidikan vokasi sistem ganda yang melibatkan dunia industri secara aktif melatih generasi muda dengan pola 70 persen berlatih di tempat kerja dan 30 persen di sekolah.
”Kita membutuhkan lulusan pendidikan siap kerja yang kompeten sesuai kebutuhan dunia usaha sehingga produktivitas dan daya saing nasional pun meningkat," ujar Anton.