HARARE, JUMAT — Rakyat Zimbabwe membutuhkan perubahan setelah Presiden Robert Mugabe dikenai tahanan rumah oleh militer yang mengambil alih kekuasaan di negara itu.
Sekalipun demikian, Mugabe yang telah berusia 93 tahun itu justru menolak untuk mengundurkan diri. Setelah bertemu dengan para jenderal yang mengendalikan pemerintahan, seperti dilaporkan kantor berita AFP, Jumat (17/11), Mugabe mengatakan dirinya masih presiden.
Beberapa sumber mengatakan, pemimpin veteran tersebut ”mengulur waktu” untuk menegosiasikan akhir kekuasaannya yang telah berjalan hampir empat dekade itu.
Perundingan terkait pergantian kekuasaannya telah dilakukan di Harare pada Kamis (16/11) setelah militer mengenakan tahanan rumah kepada Mugabe. Ia dibawa rombongannya dari rumah pribadinya ke Gedung Negara untuk merundingkan akhir kekuasaannya.
Pertemuan itu juga dihadiri utusan blok regional Masyarakat Pembangunan Afrika Selatan (SADC).
”Mereka bertemu hari ini (Kamis kemarin), tetapi dia menolak untuk mundur. Saya berpikir, dia mencoba untuk mengulur waktu,” ujar seorang sumber yang dekat dengan pimpinan militer.
Dari tayangan televisi pemerintah, tampak kepala negara tertua di dunia itu mengenakan blazer biru tua dan celana abu-abu. Ia berdiri di samping Panglima Militer Jenderal Constantino Chiwenga.
Pengambilalihan kekuasaan oleh militer dari Mugabe sebenarnya menandakan lemahnya jaringan keamanan dan intelijen.
Pengambilalihan kekuasaan oleh militer dari Mugabe sebenarnya menandakan lemahnya jaringan keamanan, intelijen, dan patronase yang menopang 37 tahun kekuasaan Mugabe sejak menjadi perdana menteri pada 1980.
Rakyat Zimbabwe dibiarkan terkesima oleh intervensi militer pada Kamis. Namun, sorotan publik kemudian dengan cepat beralih kepada siapa tokoh-tokoh pengganti Mugabe, seperti Grace dan mantan Wakil Presiden Emmerson Mnangagwa (75).
Kesehatan Mugabe sebenarnya semakin buruk. Dalam setiap penampilan publiknya, Mugabe tampak lesu. Energi Mugabe semakin terkuras setelah terjadi persaingan sengit antara istrinya, Grace, dan Mnangagwa yang dipecat Mugabe pekan lalu.
Sebelumnya, Mnangagwa adalah salah satu perwira militer loyalis Mugabe yang telah bekerja sama selama berpuluh-puluh tahun, tetapi melarikan diri ke Afrika Selatan setelah dia dipecat.
Menurut Mnangagwa, Mugabe adalah seorang pemimpin yang berambisi untuk menjadikan Grace, istrinya, sebagai presiden.
Para jenderal sangat menentang kemunculan Grace Mugabe, sementara Mnangagwa memiliki hubungan dekat dengan tentara dan bisa muncul sebagai presiden berikutnya.
Para jenderal Zimbabwe sangat menentang kemunculan Grace Mugabe.
Morgan Tsvangirai, mantan Perdana Menteri Zimbabwe dan lawan lama Mugabe, mengatakan kepada wartawan di Harare bahwa Mugabe harus mengundurkan diri ”demi kepentingan rakyat”.
Dia menambahkan, ”mekanisme transisi” diperlukan untuk memastikan stabilitas.
Tendai Biti, yang menjabat menteri keuangan selama pemerintahan koalisi setelah pemilu 2008, menyebut pengambilalihan oleh militer sebagai ”masa yang sangat sulit bagi Zimbabwe”.
Biti menyebutkan, stabilitas sangat penting. ”Pemulihan itu memerlukan peta jalan dan untuk mengatasi masalah yang telah menyebabkan situasi ini,” lanjutnya.
Smail Chergui, Komisaris AU untuk Perdamaian dan Keamanan, mengatakan, Afrika menaruh kepercayaan pada upaya SADC.
Banyak rakyat Zimbabwe berharap situasi segera pulih agar jalan menuju masa depan yang lebih sejahtera menjadi lebih terbuka. ”Kami butuh perubahan. Situasi sekarang sangat menyedihkan,” ucap Keresenzia Moyo (65), tokoh Zimbabwe.
Blok Afrika Selatan menyerukan diadakannya KTT regional untuk membantu menyelesaikan krisis Zimbabwe melalui cara-cara damai.
Ketua Uni Afrika, Presiden Guinea Alpha Conde, yang sedang berada di Paris, Perancis, mengatakan, Afrika ”takkan pernah menerima kudeta militer” di Zimbabwe. Ia meminta militer Zimbabwe untuk mendukung ”tatanan yang konstitusional”.
Dalam pertemuan di Botswana, SADC menyerukan diadakannya KTT darurat regional untuk membantu menyelesaikan krisis dan mendesak Zimbabwe ”menyelesaikan tantangan politik melalui cara-cara damai”.
Inggris, mantan penguasa kolonial Zimbabwe, mendesak agar pemilihan yang telah dijadwalkan pada 2018 harus terwujud. (AFP/REUTERS)