Hemat Beli Kopi demi Membeli Rumah
Masih bicara soal rumah. Di Indonesia, dengan kecenderungan penurunan suku bunga kredit pemilikan rumah, dan harga sewa rumah yang tidak terpaut jauh dengan harga cicilan kredit, membuat keputusan mencicil rumah lebih baik daripada menyewa. Dengan mencicil, akhirnya rumah itu menjadi milik kita.
Namun, membicarakan kebiasaan konsumsi anak muda dalam rentang usia 19-35 tahun—atau yang biasa disebut generasi milenial—sungguh menarik. Maklum, mereka merupakan kelompok penduduk paling besar di planet ini.
Di China, generasi milenial mencapai 27 persen dari total penduduk, sementara di Amerika Serikat ada 23 persen penduduk dalam rentang usia ini.
Di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik, dari 225 juta penduduk, diperkirakan ada 32 persen atau sekitar 84 juta jiwa penduduk merupakan generasi milenial. Jumlahnya mencapai 50 persen dari penduduk berusia produktif antara 16 dan 64 tahun yang jumlahnya 166 juta orang.
Memiliki rumah ternyata tetap menjadi kebutuhan anak muda. Meski beberapa survei di AS, seperti yang dilakukan bank investasi Goldman Sachs, menemukan bahwa ada kecenderungan anak muda untuk lebih lama tinggal dengan orangtuanya.
Mengapa? Sebagian besar dari mereka ternyata menunda pernikahan. Kebutuhan rumah untuk membina keluarga pun bergeser menjadi lebih lambat dari generasi sebelumnya. Kemudian—ini yang terpenting—harga rumah menjadi semakin mahal.
Kemudian—ini yang terpenting—harga rumah menjadi semakin mahal.
Data dari laman Apartement List yang dikutip laman CNBC menunjukkan 80 persen dari anak milenial sebenarnya ingin membeli rumah. Hanya saja, mereka tidak memiliki uang untuk membayar uang muka.
Di Indonesia, generasi milenial ini jumlahnya banyak sekali. Persoalan yang dihadapi sesama milenial di Amerika juga mereka hadapi. Kenaikan harga properti, terutama di kota besar, secara umum selalu mengalahkan kenaikan gaji tahunan, termasuk gaji anak muda ini. Memiliki rumah, seolah menjadi impian yang semakin sulit digapai.
Berhemat dan prioritas
Siapa pun yang berencana membeli rumah dalam radius 5 kilometer dari kantor mereka di Jakarta dengan gaji Rp 5 juta, misalnya, sungguh tidak realistis.
Rumah di dalam kota, seperti Jakarta, jelas makin mahal dan kebanyakan tidak terjangkau oleh anak muda. Bahkan, boleh jadi rumah-rumah itu tidak juga terjangkau oleh orangtua mereka atau generasi orangtua mereka.
Lebih rasional bagi generasi milenial untuk membeli rumah di pinggir kota. Lagi pula, mulai tersedia akses transportasi berbasis rel atau bus yang nyaman untuk menjangkau pinggir kota. Dalam beberapa tahun mendatang, boleh jadi transportasi itu makin nyaman.
Lagi pula, mulai tersedia akses transportasi berbasis rel atau bus yang nyaman untuk menjangkau pinggir kota.
Rumah pertama, harus disadari, juga belum tentu perwujudan rumah ideal. Bisa jadi rumah pertama adalah rumah kecil di pinggir kota yang jaraknya 60 kilometer dari tempat kerja. Walau terbeli di lokasi tengah kota, mungkin juga sekadar berbentuk studio dengan ukuran 21 meter persegi di sebuah rumah susun.
Secara emosional, mungkin Anda tidak terpuaskan. Namun, Anda sebaiknya berpikir rasional bahwa kenaikan harga rumah, secara umum, jauh di atas kenaikan pendapatan. Jadi, menunda pembelian rumah akan makin memupuskan impian untuk membeli rumah.
Salah satu pengembang besar di pinggiran Jakarta, misalnya, menawarkan rumah dengan luas tanah 65 meter persegi dan bangunan seluas 60 meter persegi seharga Rp 900 juta pada 2016. Pada tahun ini, rumah yang sama dihargai Rp 1,1 miliar di pasar sekunder meski bangunannya belum jadi.
Ketimpangan antara pasokan rumah dan kebutuhan membuat harga rumah semakin mahal. Pertanyaan terbesarnya adalah apakah dalam beda waktu satu tahun Anda bisa menabung Rp 200 juta sebagaimana selisih harga jual rumah itu?
Apakah dalam beda waktu satu tahun Anda bisa menabung Rp 200 juta?
Mengumpulkan uang muka rumah jelas langkah awal untuk mewujudkan pembelian rumah. Uang muka ini pun harus diperhitungkan dengan cermat.
Tentu, ada banyak cara untuk mengumpulkan uang muka pembelian rumah. Menghemat uang makan merupakan salah satu caranya. Makan siang di perkantoran di kawasan bisnis Jakarta dapat menghabiskan minimal Rp 50.000. Belum termasuk secangkir kopi yang juga seharga Rp 50.000.
Apabila dihitung, untuk kebutuhan dua cangkir kopi dalam sehari, termasuk biaya makan, dapat mencapai Rp 150.000. Atau, sebesar Rp 3,9 juta per bulan jika hanya menghitung hari kerja.
Membawa makan siang dari rumah, menyeduh kopi hitam racikan sendiri di pantry kantor, dapat menghemat biaya makan. Seandainya satu hari dapat dihemat Rp 50.000, dalam satu bulan terkumpul dana sebesar Rp 1,3 juta. Satu tahun, sudah menjadi Rp 15,6 juta. Itu hanya dari penghematan uang makan.
Anak-anak muda juga cukup banyak mengeluarkan biaya untuk hangout bersama teman-temannya. Satu atau dua kali dalam satu bulan tidak berkumpul dengan teman tentu akan menghemat. Atau, bila biasanya membeli kopi dengan merek terkenal cobalah mengonsumsi kopi dari warung-warung alternatif.
Menurut perhitungan agen properti Strutt & Paker di Inggris sana, tidak hangout satu kali dalam satu pekan akan menghemat uang sebesar 6.000 pounds per tahun atau sekitar Rp 107 juta bagi keluarga muda di London.
Memangkas uang makan dapat menghemat 2.640 pounds atau sekitar Rp 47 juta. Ini penting karena anak muda di London harus banyak berhemat dan mengencangkan ikat pinggang karena harga rumah di pinggiran kota yang semakin mahal.
Bagaimana dengan kebiasaan bepergian? Anak muda kekinian sering kali diasosiasikan senang bepergian. Paparan sosial media juga membuat generasi ini dikenal sangat suka bepergian, antara lain, untuk menggunggah fotonya di sejumlah sosial media serta untuk mengeksplorasi tempat baru. Perjalanan atau liburan tentu memerlukan biaya besar.
Jadi, apabila ada prioritas untuk membeli rumah dengan berupaya mengumpulkan uang muka, perjalanan yang memerlukan biaya besar tentu dapat ditunda. Dapat diganti dengan perjalanan yang memerlukan biaya lebih kecil tanpa mengurangi esensinya.
Penghematan-penghematan yang tampak kecil ternyata berdampak besar jika kita sudah memiliki prioritas dan fokus terhadap satu tujuan. Memiliki rumah bukan hanya impian lagi. Yang dibutuhkan hanyalah punya prioritas dan fokus!