KPK Resmi Tahan Setya Novanto
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi resmi menahan Ketua DPR Setya Novanto sejak Jumat (17/11) hingga 20 hari ke depan. Namun, meski resmi menahan Novanto, KPK kemudian memutuskan membantarkan penahanannya karena Ketua Umum Partai Golkar tersebut masih membutuhkan perawatan medis.
Sebelumnya, pada Kamis sekitar pukul 19.00, Novanto mengalami kecelakaan. Mobil yang dia tumpangi menabrak tiang lampu di Jalan Permata Berlian, Permata Hijau, Jakarta Selatan. Novanto kemudian dibawa ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau.
Kamis malam itu juga penyidik mendatangi RS Medika Permata Hijau. Namun, menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, ada sejumlah pihak yang tidak kooperatif kepada KPK. Pada malam itu juga pengacara Novanto, Fredrich Yunadi, mengungkapkan, kondisi Novanto setelah mengalami kecelakaan antara lain kepalanya memar, gegar otak, dan masih pingsan. Tim KPK pun tak bisa serta-merta membawa Novanto untuk diperiksa lebih lanjut.
Baru pada Jumat siang, tim penyidik KPK bersama dokter membawa Novanto ke Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Jakarta, untuk menjalani serangkaian pemeriksaan medis, antara lain tes magnetic resonance imaging (MRI). Febri mengatakan, karena tim dokter menyatakan Novanto harus dirawat inap untuk mengetahui lebih lanjut kondisinya, KPK membantarkan penahanan yang bersangkutan. Dengan demikian, status resmi Novanto saat ini tahanan KPK.
Sekitar pukul 12.48, menurut Febri, tim penyidik dan dokter meninggalkan RS Medika Permata Hijau dan membawa Novanto ke RSCM. Di RSCM dilakukan serangkaian pemeriksaan medis secara umum, antara lain dengan tes MRI.
”Terkait dengan proses penahanan, KPK menahan SN karena berdasarkan bukti yang cukup, SN diduga keras melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan pihak lain dalam kasus KTP elektronik. KPK menahan SN selama 20 hari terhitung sejak 17 November 2017 sampai dengan 6 Desember 2017 di Rutan Negara Kelas 1 Jakarta Timur Cabang KPK,” ujar Febri.
KPK menahan SN selama 20 hari terhitung sejak 17 November 2017 sampai dengan 6 Desember 2017 di Rutan Negara Kelas 1 Jakarta Timur Cabang KPK.
Namun, pihak Novanto, menurut Febri, menolak menandatangani berita acara penahanan (BAP). Sebelum tim berangkat ke RSCM, kata Febri, penyidik KPK memperlihatkan dan membaca surat perintah penahanan untuk Novanto di depan pihak Novanto. Namun, pihak Novanto menolak menandatangani berita acara penahanan sehingga berita acara penahanan ditandatangani penyidik dan dua orang saksi dari RS Medika Permata Hijau.
”Berita acara tersebut diserahkan satu rangkap kepada istri SN. Kemudian, penyidik menyiapkan BAP penolakan menandatangani BAP penahanan. Berita acara ini pun tidak ditandatangani pihak SN, tetapi satu rangkap BAP ini diserahkan kepada istri SN,” kata Febri.
Febri mengatakan, pembantaran penahanan Novanto dilakukan berdasarkan rekomendasi dokter di RSCM.
”Menurut hasil pemeriksaan di RSCM, sampai malam ini masih dibutuhkan perawatan lebih lanjut atau rawat inap untuk kebutuhan observasi, maka KPK melakukan pembantaran penahanan terhadap tersangka SN sehingga lebih lanjut perawatan akan dilakukan di RSCM. Namun, pihak kuasa hukum SN menolak BAP pembantaran penahanan tersebut, karena itu penyidik menyiapkan BAP penolakan penandatanganan BAP pembantaran,” katanya.
KPK menahan SN karena, berdasarkan bukti yang cukup, SN diduga keras melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan pihak lain dalam kasus KTP elektronik.
Selama proses pembantaran penahanan, Novanto ada dalam penjagaan KPK. ”Selama proses pembantaran penahanan tersebut, SN akan berada dalam proses perawatan di RSCM dengan penjagaan tim KPK dan dukungan Polri. KPK akan terus menangani KTP elektronik,” kata Febri.
Lebih lanjut, selama dalam pembantaran penahanan itu, jika ada pihak-pihak yang ingin menjenguk Novanto, mereka harus mengantongi izin dari KPK. ”Jadwal besuk sesuai rumah sakit, tetapi harus seizin KPK,” katanya.
Terkait penahanan Novanto, Febri menjelaskan, penetapan itu dilakukan setelah melalui penilaian obyektif dan subyektif. Secara obyektif, ancaman hukuman yang lama menjadi alasannya. Sementara itu, kekhawatiran penyidik terhadap tersangka yang bisa melarikan diri dan menghilangkan barang bukti menjadi alasan subyektif.
”Bukti yang dimiliki cukup kuat, tersangka diduga keras melakukan tindak pidana korupsi,” ujar Febri.
Kelanjutan kasus
Selanjutnya, Febri mengatakan, pihaknya berencana memanggil istri Novanto sebagai saksi. ”Kami ingin menggali sejauh mana istrinya mengetahui andil Novanto terkait KTP-el,” katanya.
Persidangan kasus KTP-el pun sudah dijadwalkan KPK, pada 30 November nanti. Menurut Febri, tim penyidik KPK tengah berupaya mengumpulkan bukti kuat dengan prinsip efektivitas waktu dan kehati-hatian dalam menangani perkara. Segala berkas disusun dengan argumentasi hukum sekuat-kuatnya. Biro hukum KPK pun sedang mempelajari praperadilan. ”Ini membuat kami berkekuatan hukum,” kata Febri.
Menurut Febri, persidangan penting untuk menguji substansi materi perkara. Dari sidang itu diharapkan pengembalian uang negara bisa dimaksimalkan. Tidak seperti praperadilan yang hanya menguji keabasahan penetapan status tersangka.
Sampai saat ini, Novanto sudah dicek dengan alat magnetic resonance imaging (MRI). Selanjutnya, pemeriksaan dilanjutkan dengan CT-scan.
Jadwal besuk sesuai rumah sakit, tetapi harus seizin KPK.
Mengenai benar tidaknya kecelakaan yang dialami Novanto, Febri mengatakan, KPK tidak bisa berspekulasi. ”Itu bukan kompetensi KPK untuk mengumumkan,” ucap Febri.
Untuk mengusut kecelakaan yang dialami Novanto, KPK sedang berkoordinasi dengan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya yang telah mengolah tempat kejadian perkara.
Sambil fokus menangani perkara KTP-el, KPK akan mendalami orang-orang yang diduga ikut melindungi Novanto saat dia hendak dijemput paksa KPK. Pihak-pihak tersebut bisa dikenai ancaman pidana Pasal 21 UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman paling singkat 3 tahun penjara dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.
Pelanggaran
Sementara itu, pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi menyatakan, meskipun KPK mengatakan telah menerbitkan surat penahanan selama 20 hari terhadap Novanto, KPK tidak memiliki wewenang karena tidak ada Undang-Undang yang mengatur bahwa lembaga tersebut dapat menahan seseorang tanpa pemeriksaan. Apalagi, ketika orang tersebut dalam keadaan sakit.
“Ini berarti pelanggaran hak asasi manusia (HAM) internasional. Kami sudah merencanakan akan menuntut di pengadilan HAM internasional. Saya siapkan dalam waktu segera,” kata Fredrich, dalam sebuah konferensi pers di RSCM, Jumat malam.
Menurut Fredrich,pernyataan KPK bahwa Novanto telah menjadi tahanan adalah pernyataan sepihak. Dia juga menganggap kedatangan KPK pada sore Jumat 17 November di RSCM Kencana merupakan upaya intimidasi karena disertai puluhan orang anggota KPK dan tiga orang polisi bersenjata laras panjang. Alasannya, pada saat itu mereka diberikan lagi surat perintah pembantaran penahanan.
Kalau sekarang mengatakan tiga kali dipanggil lalu dijemput, itu bukan penangkapan, tetapi panggilan dengan upaya dijemput.
”Saya bilang ditahan kapan tidak tahu, silakan disimpan suratnya untuk arsip,” ujar Fredrich. Dia kembali mengulang pernyataan bahwa KPK telah memanggil Novanto sebanyak tiga kali, tidaklah benar.
Dia menyatakan, panggilan baru dilakukan satu kali pada tanggal 13 November dan pada tanggal 15 malam telah dibuat surat penangkapan. “Kalau sekarang mengatakan tiga kali dipanggil lalu dijemput, itu bukan penangkapan, tetapi panggilan dengan upaya dijemput,” tuturnya.
Menurut Fredrich, dokter telah memberikan resep dan obat serta melakukan pengecekan medis secara menyeluruh. Namun, kadar gula Novanto dinyatakan naik drastis. Novanto juga terus mengeluh pusing dan rasa mual.
”Yang menemani dia adalah istri dan ajudan,” ujar Fredrich. Pada pukul 23.00, istri Setya Novanto, Deisti Astriani Tagor, terlihat menaiki lift di lobi RSCM Kencana. Pengacara Novanto mengatakan, hingga kini belum diketahui Ketua DPR RI itu akan dirawat berapa lama.
Bantah rekayasa
Fredrich juga menuturkan, kecelakaan yang dialami kliennya Kamis malam bukanlah sebuah rekayasa untuk mengulur waktu penahanan. "Buktinya ada pengumuman resmi dari Polda Metro Jaya," kata Fredrich.
Novanto juga terus mengeluh pusing dan rasa mual.
Berdasarkan pengumuman resmi dari Polda, kata Fredrich, dan ditetapkannya Hilman Mattauch, pengemudi mobil, sebagai tersangka menjadi sebuah pernyataan kepada publik bahwa kecelakaan yang dialami Novanto adalah murni sebuah insiden. Hilman Mattauch adalah kontributor Metro TV. Sebelum kecelakaan, Metro TV sempat menayangkan pembicaraan telepon Hilman dengan Setya Novanto.
Fredrich juga membantah apa yang terjadi pada Novanto merupakan sebuah pengulangan dari kejadian sebelumnya. Novanto pernah mengajukan praperadilan dan menyatakan tidak bisa menghadiri pemanggilan KPK karena sakit dan dirawat di RS Premier Jatinegara pada bulan September lalu.
”Menurut saya ini adalah kebetulan. Sekarang saya tanya, apakah ada peraturan orang sakit terus tidak bisa mengajukan praperadilan? Tidak ada. Yang menjalankan itu penasihat hukum,” kata Fredrich.
Dia menambahkan, tidak ada aturan yang melarang tersangka dalam daftar pencarian orang (DPO) untuk mengajukan praperadilan. Nama Novanto telah masuk ke DPO sejak Kamis 16 November.
(DD06/DD09/DD13/DD17)