Jumlah Perguruan Tinggi Timpang, Kampus Digital Perlu Digalakkan
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah perguruan tinggi antarkawasan di Indonesia tercatat masih sangat timpang. Solusinya, digitalisasi pendidikan perlu didorong untuk mempermudah akses konten pengajaran.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, terdapat ketimpangan jumlah perguruan tinggi (PT) yang terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Di Jakarta, terdapat 316 perguruan tinggi negeri dan swasta, sedangkan gabungan Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat hanya terdapat 113 PT.
Digitalisasi pendidikan dinilai akan mempermudah akses pengajaran PT di kawasan Indonesia timur. Lewat digitalisasi, konten materi pengajaran berupa presentasi dan buku pelajaran bisa dipelajari mahasiswa dari internet.
”Kalau kami mau membantu pendidikan sarjana di kawasan timur Indonesia, tanpa digitalisasi, harus habis berapa?” ujar Danny Natalies, Chief Information Officer (CIO) Universitas Atma Jaya, Senin (20/11), saat diwawancarai di Ritz Carlton Pacific Place, Senayan, Jakarta Selatan. Danny merupakan salah satu pembicara dalam diskusi tentang digitalisasi di bidang pendidikan yang diselenggarakan penyedia infrastruktur teknologi VMWare.
Di Jakarta, terdapat 316 perguruan tinggi negeri dan swasta, sedangkan gabungan Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat hanya terdapat 113 perguruan tinggi.
Menurut Danny, dengan digitalisasi, tenaga pengajar tidak perlu dikirim atau menetap di daerah. Dengan demikian, digitalisasi pendidikan tidak memakan banyak biaya. Hal itu, kata Danny, sudah dilakukan Atma Jaya bekerja sama dengan pemerintah pusat.
Kampus swasta ini memulai digitalisasi pendidikan sejak 2013. Tujuannya, untuk meningkatkan jumlah lulusan sarjana di daerah terpencil. Daerah yang jadi tujuan adalah Waingapu di Nusa Tenggara Timur, Sorong di Papua Barat, dan Mentawai di Sumatera Barat.
Pengajar lokal
Namun, menurut Danny, awalnya digitalisasi tidaklah mudah karena warga di daerah terpencil umumnya masih buta teknologi. ”Jadi harus ada ekosistem yang terbangun,” katanya.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Atma Jaya pun bekerja sama dengan sekolah-sekolah di kawasan bersangkutan yang memiliki laboratorium komputer dan pengajarnya paham teknologi. ”Pengajar itu yang kami didik agar kampus digital bisa berkesinambungan. Apabila mahasiswa kesulitan mengakses informasi, bisa dibantu oleh pengajar-pengajar tersebut. Ini agar semuanya tidak bergantung dari Jakarta,” ucapnya.
Dengan demikian, hanya konten pengajaran yang dikirim dari Jakarta. Adapun sumber daya pengajar bisa berasal dari masyarakat lokal. Lewat cara itu, tingkat literasi dan penguasaan internet di daerah akan meningkat.
Sementara Country Manager VMware Indonesia Cin Cin Go mengatakan, transformasi ke digital akan secara nyata menghasilkan berbagai kemudahan, termasuk di dunia pendidikan. Kesulitan akses dan birokrasi bisa diputus dengan digitalisasi. Oleh karena itu, Cin mendukung transformasi pendidikan ke arah digitalisasi. VMware merupakan penyedia teknologi yang digunakan Universitas Atma Jaya dalam menjalankan kampus digital.
Tatap muka
Pengamat pendidikan Donie Koesoma mengatakan, digitalisasi memang dibutuhkan untuk mempercepat pemerataan pendidikan tinggi antarkawasan. Namun, digitalisasi bukan berarti menghilangkan sama sekali tatap muka antara pengajar dan mahasiswa.
”Tatap muka menjadi hal yang terpenting dalam proses belajar. Di sana terdapat interaksi yang tidak didapatkan dari pengajaran melalui internet,” ucap Donie.
Menurut Donie, sebaiknya pengajar juga merupakan warga lokal. Sebab, hal itu akan mempercepat pendidikan. ”Setiap daerah punya gayanya masing-masing dalam mengajar sesuai pengalaman,” katanya.
Digitalisasi memang dibutuhkan untuk mempercepat pemerataan pendidikan tinggi antarkawasan. Namun, digitalisasi bukan berarti menghilangkan sama sekali tatap muka antara pengajar dan mahasiswa.
Donie menyebutkan, dengan pengalaman dan budaya yang sama, orang yang diajarkan akan lebih cepat menangkap. Contohnya saja, bagaimana menceritakan sebuah kisah di Jakarta dan pedalaman Papua, tentu pendekatannya akan berbeda. Kearifan lokal, dinilai Donie, menjadi faktor sangat penting dalam belajar-mengajar. (DD06)