JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan tren urbanisasi yang terjadi secara global harus selaras dengan ketersediaan fasilitas agar terbentuk sebuah kota pintar yang ideal. Kolaborasi dari pemerintah, swasta, dan masyarakat diperlukan untuk mengatasi masalah dalam menyediakan fasilitas dan mendorong peran serta masyarakat guna membangun komunitas yang solid.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2014 menyebutkan, 54 persen populasi dunia tinggal di daerah urban atau kawasan perkotaan yang diperkirakan akan meningkat menjadi 66 persen pada 2050. Kota terbesar di dunia tidak lagi terletak di negara Barat, tetapi di negara di Asia, seperti China, India, Indonesia, Vietnam, Korea Selatan, Thailand, dan Filipina. Populasi daerah urban di Asia diperkirakan akan naik hingga 75 persen pada 2050.
Sergio Grassi, Resident Director Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia, menyatakan, urbanisasi yang terjadi meningkatkan kebutuhan akan perumahan, transportasi umum, akses pendidikan dan kesehatan, energi, air, manajemen sampah dan polusi, fasilitas publik, teknologi digital, keamanan, dan partisipasi publik.
”Konsep pembangunan kota pintar (smart city) ditekankan pada konektivitas jaringan bagi komunikasi, perencanaan kota, kolaborasi, dan pelayanan publik dengan sistem daring (e-government),” kata Grassi pada pembukaan Regional Conference Social City: Aspiration of an Urban Transformation in Asia #SocialCityAsia, di Jakarta, Selasa (21/11). Adapun hal itu membuat pembangunan kota pintar cenderung ditekankan pada kepentingan teknologi dan infrastruktur semata.
Konsep pembangunan kota pintar (smart city) ditekankan pada konektivitas jaringan bagi komunikasi, perencanaan kota, kolaborasi, dan pelayanan publik dengan sistem daring (e-government).
Selain itu, pembangunan selama ini juga menggunakan konsep transformasi neoliberal, yaitu paham yang mengutamakan sistem kapitalis perdagangan bebas dan pengurangan peran pemerintah. Konsep ini perlu ditinjau karena kini semakin mendesak untuk mengutamakan pembangunan yang sosial dan inklusif bagi masyarakat.
Hal tersebut, ujar Grassi, dinilai perlu dilakukan karena fungsi kota yang seharusnya menjadi tempat sosial mulai bergeser. Ini terlihat dari tingginya permintaan akan berbagai fasilitas, tetapi tidak selalu tersedia. Misalnya, kebutuhan rumah yang layak huni tidak sejalan dengan yang tersedia bagi kalangan menengah ke bawah. Masyarakat dipaksa untuk mencari rumah di pinggiran kota sebagai gantinya. Apalagi, keberadaan mal dan tempat perbelanjaan kerap menggantikan taman, ruang bermain, dan trotoar.
Singapura berusaha membangun sebuah model kota yang bukan hanya pintar, melainkan juga sosial. Perkembangan teknologi digital membantu dan memengaruhi cara masyarakat hidup dan berinteraksi.
Dosen Senior Fakultas Ilmu Sosial Singapore University, Rita Padawangi, mencontohkan, Singapura berusaha membangun sebuah model kota yang, bukan hanya pintar, melainkan juga sosial. Perkembangan teknologi digital membantu dan memengaruhi cara masyarakat hidup dan berinteraksi.
Meningkatnya kebutuhan rumah membuat pembangunan apartemen di Singapura lebih efisien dengan keberadaan teknologi. Rita menambahkan, teknologi digunakan dalam membangun sebuah apartemen untuk mengetahui sudut yang akan terkena panas dan radiasi serta desain gedung yang ideal. Saat ini, lebih dari 80 persen penduduk Singapura dari 5 juta populasi tinggal di perumahan rakyat.
”Jakarta juga memiliki portal smart city. Yang perlu diingat adalah penduduk adalah jantung inovasi, bukan dari teknologi. Hati-hati dengan ketergantungan pada teknologi mutakhir agar justru tidak melemahkan masyarakat,” ujar Rita.
Pembangunan yang mengutamakan kepentingan masyarakat dapat terwujud dengan kolaborasi dari pembuat kebijakan, swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, dapat tercipta suatu keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, pembangunan perkotaan yang inklusif, dan manajemen lingkungan yang berkelanjutan.
Sementara itu, profesor dari Urban and Regional Planning Dankook University Myung-Rae Cho, yang diwakili Elisa Sutanudjaja, Executive Director Rujak Center for Urban Studies, menjabarkan, pembangunan kota Seoul, Korea Selatan, berfokus pada lima hal, yaitu penyertaan partisipasi publik, keadilan yang merata, keramahan, lingkungan, dan pemerintahan yang progresif.
Peran pemerintah bergeser
Marco Kusumawijaya, Co-Founder Rujak Center of Urban Studies, menyebutkan, pemerintah, swasta, dan masyarakat harus bergerak dengan visi yang sama. Peran masyarakat tidak lagi sekadar berpartisipasi, tetapi lebih kepada kolaborasi. Masyarakat diharapkan tidak lagi hanya menunggu pelaksaanaan program pemerintah pusat dalam membangun perkotaan. Dengan demikian, terjadi desentralisasi kekuatan dalam membangun suatu kota, yang selama ini hanya dipegang pemerintah.
Dia menyebutkan, hal ini terlihat dari mulai banyaknya inisiatif masyarakat dan tokoh lokal yang muncul dalam membawa perubahan bagi daerah asalnya. ”Pemerintah pusat kini memiliki peran yang berbeda. Pemerintah tidak lagi memegang komando penuh dalam pembangunan, tetapi tetap perlu mengakomodasi masyarakat yang mulai mandiri,” kata Marco.
Dengan demikian, pemerintah perlu memperkuat kapasitasnya dalam mewadahi kolaborasi masyarakat. ”Pemerintah yang kuat berbeda dengan pemerintah yang otoriter,” ujar Rita.
Perubahan paradigma
Paradigma mengenai pembangunan yang selama ini melekat di pikiran masyarakat dianggap perlu untuk dilihat kembali. Marco menyatakan, masyarakat perlu untuk mengubah cara berpikir bahwa kota hanya merupakan tempat bekerja, bukan tempat tinggal. ”Pusat kota sebagai tempat berdagang yang membuat mahalnya transportasi. Ini sering dianggap wajar,” tuturnya.
Selain itu, Rita menambahkan, masyarakat perlu berhenti berpikir bahwa kedatangan penduduk dari daerah ke kota hanya akan menambah beban. Penduduk di sekitar area perkotaan tidak bisa disalahkan untuk hijrah ke kota karena pembangunan di Indonesia masih belum merata. Apalagi, menurut Rita, wilayah perkotaan sebenarnya bergantung secara sosial dan ekonomi pada daerah sekitarnya. Alasannya, kota tidak lagi memiliki area pertanian dan sumber air.
”Mirisnya, tanah untuk membangun apartemen dihargai lebih mahal dari tanah pertanian di daerah. Terjadi urban bias yang merupakan political and social construction tanpa menyadari kota sebenarnya tidak bisa berdiri sendiri,” kata Rita. (DD13)